Catatan Kecil : Salafiyah Paling Ditakuti NU Sejak Awal

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Salafiyah Paling Ditakuti NU Sejak Awal

Abdurrahman Wahid menyebutkan, di antara motivasi didirikannya NU adalah untuk wadah kaum tradisional yaitu kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri.

Belakangan, di tahun 2000 terjadi suatu peristiwa demonstrasi langsung ke Istana menghadapi Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan kelompok itu menamakan diri Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena selama ini NU yang sering mengklaim bahwa pihaknya lah yang Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan sering disingkat dengan Aswaja, maka para pendemo Gus Dur yang ke Istana membawa pedang namun berbaris rapi tanpa menimbulkan kerusuhan itu tidak diakui oleh NU sebagai orang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Tentunya sebagaimana istilah Gus Dur, maksudnya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri, yaitu versi NU.

Di luaran, kelompok pendemo itu tadi dikenal sebagai bagian atau satu kelompok dari kaum Salafiyah, walau tidak mewakili secara keseluruhan. Dan sebenarnya, Salafiyah memang Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bedanya dengan Ahlus Sunnah yang dikembangkan di Indonesia selama ini adalah yang Asy’ariyah, yang diteruskan oleh Imam Al-Ghazali, yang bercampur tasawuf dan berbau filsafat, dan memakai ta’wil. Sedang yang Ahlus Sunnah Salafiyah itu adalah aqidah empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi.i, dan Hanbali) yang dibangkitkan oleh Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Rasyid Ridha dan lain-lain, tidak menerima filsafat dan ta’wil, dan membersihkan tasawuf.

Berhubung pembicaraan ini telah membahas seluk beluk Ahlus Sunnah yang versi sendiri (versi NU) secara fenomenatik, maka perlu ditampilkan pula apa sebenarnya Ahlus Sunnah Salafiyah yang oleh Deliar Noer disebut sebagai dijadikan satu istilah yaitu “Wahabi” ketika orang NU menghasut di tahun-tahun awal berdirinya NU. Dan faham inilah sebenarnya yang paling “ditakuti” oleh orang NU, sehingga mereka kirim surat dan utusan sejak awal berdirinya NU, untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud, walau harus menunggu di Saudi Arabia sampai 2 bulan, April sampai Juni 1928. Kalau yang ditakutkan dulu masih berada di Makkah dan sekitarnya, yaitu di Hijaz, maka di tahun 2000 justru sudah sampai di Istana berhadapan langsung dengan pemimpin kharismatik NU. Walau bentuknya justru NU sebagai penguasa, sedang sebagian orang Salafiyah sebagai komponen rakyat. Maka gejala baru ini perlu dikenali pula, agar masyarakat tahu, di mana posisi Ahlus Sunnah versinya sendiri (NU) dan Ahlus Sunnah yang Salafiyah. Berikut ini uraian tentang Salafiyah.

Salafiyah atau faham Salaf adalah satu kenyataan sejarah yang hidup dan berkembang sampai sekarang. Bahkan faham itu bangkit, berkembang, dan sampai pula di Indonesia. Akhir-akhir ini sejak 1990-an faham Salaf itu berkembang di Indonesia dengan sebutan kelompok Salafi atau kadang mereka menyebut diri dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Meskipun telah menjadi kenyataan sejarah dan fenomenanya berkembang di Indonesia, namun entah kenapa faham Salaf itu kadang tidak dimasukkan dalam pembicaraan dalam buku-buku teologi ataupun sejarah pemikiran Islam. Demikian pula silabus mata kuliah teologi/ sejarah pemikiran Islam di perguruan tinggi Islam pun belum tentu memasukkan Salafiyah sebagai salah satu topik pembahasan, Padahal, pembahasan faham-faham yang belum tentu eksis di masa kini, seperti Khawarij dan Mu’tazilah justru diberi porsi yang tampaknya “lebih dari cukup”.

Pembahasan Salafiyah di sini bukan mengarah kepada sorotan atas penyisihan yang berlangsung di kalangan akademisi semacam itu, namun dicukupkan kepada seputar Salafiyah itu sendiri yaitu beberapa hal yang penting mengenai Salafiyah. Di antaranya tentang definisi Salafiyah, latar belakang dan perkembangan faham itu, kaitannya dengan Ahli Sunnah, imam-imam Salaf dan kaidah-kaidah yang mereka pegangi, fenomena Salafiyah di Indonesia, aqidah Salaf, tentang sifat-sifat Allah, ma’iyatullah (kebersamaan Allah), Allah itu dekat, masalah takwil, Allah di atas ‘arsy, dan tentang af’alul ‘ibad. Akhirnya pembahasan ditutup dengan kesimpulan dan penutup.

Rujukan pembahasan ini kebanyakan adalah kitab-kitab yang ditulis oleh ulama dari kalangan Salaf, baik berbahasa Arab maupun terjemahan.
Berikut ini pembahasan akan dimulai dengan diskripsi tentang Salafiyah.

Definisi Salafiyah

Salafiyah adalah dari bahasa Arab, Salafa, atau taqaddama wa sabaqa تقدم و سبق

(terdahulu). Di dalam Lisanul ‘Arab, lafal As-Salaf itu artinya: Golongan terdahulu... di dalam perjalanan hidup... atau dalam umur, atau dalam keutamaan, atau (terdahulu) dalam kematiannya. As-salaf juga berarti perbuatan terdahulu dari manusia.[1]

Menurut istilah, pengertian Salafiyah adalah (faham yang) memegangi Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber awal bagi ilmu dan amal, dan berpegang pada pemahaman sahabat Nabi saw mengenai isi dua sumber itu, khususnya dalam masalah aqidah. Adapun dalam segi penerapan, maka perjuangan kelompok Salafiyah yang baru kadang terfokus pada perlawanan terhadap fanatisme madzhab, dan menyerukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah....[2]

Pengertian tentang Salafiyah secara singkat bisa kita simak sebagai berikut:

Salafiyah adalah gerakan yang berusaha menghidupkan ajaran kaum Salaf (Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’ien, pen) bertujuan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan hadits serta meninggalkan pendapat ulama madzhab yang tidak berdasar dan segala bid’ah yang tersisip di dalamnya. Gerakan ini dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah (661-728H/ 1263-1328M).[3]

Pengertian Salafiyah itu secara gamblang disebutkan oleh seorang penulis abad ini, Muhammad Abdul Hadi Al-Mishri, yang mengaku sengaja menulis buku untuk mendudukkan Manhaj dan Aqidah Salaf. Dia kemukakan, Salaf ialah istilah yang diperuntukkan bagi Imam-imam terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم يجيء أقوام تسبق شهادة أحدهم يمينه، ويمينه شهادته.



“Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang sesudahnya, kemudian orang sesudahnya (lagi). Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (HR Al-Bukhari).

Karena itu, setiap orang yang beriltizam kepada aqidah, fiqh, dan ushul (ad-dien, pen) Imam-imam, ia dapat dinisbatkan kepada mereka (salaf) meskipun tempat dan jamannya berjauhan. Dan setiap orang yang menyalahi mereka –sekalipun ia hidup di tengah-tengah mereka, bahkan berkumpul dalam satu tempat dan satu masa—ia tidak termasuk golongan mereka.[4]

Ada pula yang memaknakan bahwa Salaf itu bukanlah suatu gerakan ataupun aliran, namun hanya sebagai manhaj (jalan, methode atau sistem pemahaman). Prof Dr Abu Bakar Atjeh mengemukakan, Mahmud Al-Bisybisyi dalam kitabnya Al-Firaqul Islamiyyah (Mesir 1932) menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan Salaf ialah Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in, dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah, yang menyerupai segala sesuatu yang baharu, untuk membersihkannya dan mengagungkannya. Sedang yang termasuk Khalaf adalah ulama-ulama di belakang itu, yang memberi ta’wil kepada sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan yang baharu, kepada pengertian yang sesuai dengan ketinggiannya dan kemurniannya.

Jadi yang sebenarnya dinamakan Ahlus Salaf itu tidaklah merupakan sesuatu madzhab yang tertentu, tetapi ulama-ulama yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Sejarah tidak menunjukkan bilamana istilah “Ahlus Salaf” mulai dipergunakan dan juga tidak menyebutkan bagaimana corak alirannya.[5]

Meskipun demikian, bisa diperoleh keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa faham Salaf itu adalah yang merujuk kepada pemahaman tiga generasi awal Islam yang disebut oleh Nabi saw sebagai generasi terbaik, yaitu generasi masa Nabi (yakni Sahabat), kemudian setelahnya (Tabi’in), kemudian setelahnya (Tabi’it Tabi’in).



Perkembangan Faham Salaf dan latar belakangnya

Usaha menghidupkan jejak Ahli Salaf itu terjadi dalam abad ke-empat Hijriyah, dalam abad-abad di mana aliran-aliran faham baru timbul dalam kalangan umat Islam. Kemudian datang pula Ibnu Taimiyyah dalam abad ke7 H. Ini dipelopori oleh ulama-ulama Hanbali yang mengaku bahwa pendapat-pendapat mereka itu adalah berasal daripada pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, yang sebenarnya menghidupkan keyakinan Salaf itu, serta memerangi pendirian-pendirian yang lain.

Perkembangan faham Salaf ini lekas menjalar ke seluruh semenanjung Arab, terutama dalam abad ke12 H, terutama pula karena digerakkan oleh seorang ulama besar Muhammad bin Abdul Wahhab, berasal dari Nejed di tengah-tengah semenanjung Arab itu.[6]

Untuk mengetahui bangkitnya faham Salaf, perlu tahu latar belakangnya. Abu Bakar Atjeh menyebutkan, di antaranya adalah perlakuan penguasa Mu’tazilah yang dhalim lagi kejam terhadap ulama yang tidak pro Mu’rtazilah.

Pada waktu Mu’tazilah sedang berkuasa, lanjut Abu Bakar Atjeh, dan raja-rajanya secara membabi buta memaksa ulama-ulama tunduk kepada pendirian Mu’tazilah itu, suasana seakan-akan putus asa. Seorang demi seorang ulama menyerah diri kepada pendirian itu, mengaku bahwa kalam itu tidak qadim dan Qur’an itu buatan manusia dan sebagainya, meskipun bertentangna dengan keyakinan sendiri.

Hanya ada empat orang yang masih berani mempertahankan hukum Allah, yaitu Imam Ahmad Ibn Hanbal, Muhammad bin Nuh, Al-Qawawiri, dan Sajjadah. Dalam keadaan dirantai dengan besi, mereka dipaksa meyakini pendirian itu. Sajjadah segera esok harinya menyerah dan mengaku, Al-Qawawiri hanya tahan menderita dua hari, kemudian melepaskan keyakinan, dan di tengah jalan ke pengadilan yang berat, tunduk pula Ibnu Nuh. Hanya Imam Ahmad bin Hanbal yang tidak berubah pendiriannya. Meskipun ia dibelenggu, dicambuk sampai pecah-pecah badannya, delapan belas bulan dalam penjara, ia tetap pendiriannya dan tidak mau berbicara lain. Sampai sesudah wafat Mu’tashim dan pemerintahan pindah ke dalam tangan Watsiq, ancaman kepada Imam Ahmad berjalan terus. Ia dikeluarkan dari penjara, tetapi diusir dari kota, dilarang memberi fatwa agama. Imam Ahmad hidup dalam persembunyian dan ketakutan, tidak keluar bersembahyang jama’ah dan kemudian wafat dalam keteguhan i’tikadnya.[7]

Dalam masa kekacauan itu paham Imam Ahmad tersiar terus. Penganutnya makin hari makin bertambah. Orang mulai berfikir tentang kebenaran pendiriannya.

Kita lihat dalam sejarah, bahwa pendirian Imam Ahmad itu beroleh dukungan juga dari orang-orang Mu’tazilah yang telah insaf, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari yang tampil ke muka dalam abad ke-3 H di Basrah, dan Abu Mansur Al-Maturidi di Samarkand.

Asy’ari keluar ke masjid jami’ di Bashrah pada suatu hari Jum’at, naik ke atas mimbar dan berbicara dengan petah lidahnya: “Saya Abul Hasan al-Asy’ari. Siapa yang belum kenal, supaya kenal. Saya pernah mengatakan, bahwa Qur’an itu diperbuat dan bukan qadim, bahwa Allah tidak melihat dengan mata (abshar), bahwa pekerjaan jahat saya sendiri yang melakukannya. Saya taubat dari pada kemurtadan Mu’tazilah itu....... Aku tanggalkan semua i’tikadku dahulu itu, sebagaimana aku menanggalkan bajuku sekarang ini”. Lalu dibuka bajunya dan ditonjol-tonjolkan kitabnya kepada umum, yang ditulisnya menurut pendirian Ahli Sunnah wal Jama’ah. Kitab itu ialah kitab Al-Ibanah, salah sebuah tetasan penanya yang terpenting.[8]

Dari sini bisa difahami bahwa Salaf itu dalam istilah lain adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan ada juga yang menyebutnya Ahlus Sunnah lama, sedangkan orang Salafi sendiri biasanya menyebut Ahlus Sunnah yang model Al-Asy’ari adalah Asy’ariyah atau Asya’irah. Sedang Asy’ari sendiri oleh orang-orang salaf dianggap kembali kepada Salaf, hanya saja para penerusnya seperti Imam Al-Ghazali dinilai bukan Ahlus Sunnah yang Salaf, tetapi Asya’irah, karena masih merujuk kepada filsafat dan memakai ta’wil. Sedangkan kaum Salaf tidak menerima filsafat ataupun ta’wil. Hal ini menjadi perbincangan, karena menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Taarikhul Madzaahib al-Islamiyyah, Ibnul Jauzi –yang Abu Zahrah sebut sebagai murid Ibnu Taimiyah-- mengkritik keras terhadap orang yang menisbatkan faham tidak menerima takwil itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun demikian. Abu Zahrah tampaknya tidak mengemukakan pula bukti-bukti bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berfaham menerima takwil. Di sana Abu Zahrah hanya mengemukakan bahwa Ibnul Jauzi menyepakati pendapat Al-Ghazali dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.

Salafiyah adalah Ahli Sunnah

Tentang Salafiyah adalah Ahli Sunnah itu bisa disimak dari pernyataan seorang ulama yang mensyarah kitab Ibnu Taimiyah sebagai berikut:

“Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala, adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun salah satu latar belakang penulisan, dan penamaannya dengan Al-Wasithiyah, ialah: Bahwa seorang Qadhi (Ridhoddin Al-Washithi, pen) dari negeri Wasith (Washithil Hajjaj, negeri antara Basrah dan Kufah, pen) yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam dan memohon beliau untuk menulis tentang Aqidah Salafiyah yang beliau yakini. Maka beliau Rahimahullah menulisnya dalam tempo sekali jalsah, sekali ‘duduk’, seusai shalat ‘Ashar.” [9]

Menurut Ibnu Taimiyah, madzhab Ahli Sunnah Waljama’ah adalah madzhab yang telah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ahli Sunnah ialah madzhab sahabat yang telah menerimanya dari Nabi mereka. Barangsiapa menentang itu, menurut pandangan Ahli Sunnah, berarti ia pembuat bid’ah. Mereka telah sepakat bahwa ijma’ sahabat adalah hujjah, tapi mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan ijma’ orang-orang sesudah sahabat.[10]

Mengapa Madzhab Ahli Sunnah dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal? Mengenai masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Meskipun Imam Ahmad telah masyhur sebagai Imam Sunnah dan sabar setiap menghadapi cobaan, namun hal itu bukan berarti beliau sendiri yang memiliki suatu pendapat. Beliau hanya mengajarkan dan menyerukan orang-orang agar kembali kepada Sunnah (yang memang sebelumnya sudah ada dan terkenal). Beliau sangat tabah dalam menghadapi ujian yang ditimpakan orang –yang menyuruh beliau agar meninggalkan Sunnah- kepada beliau, sedangkan Imam-imam terdahulu telah meninggal sebelum datangnya cobaan ini.

Cobaan itu muncul pada permulaan abad ketiga (Hijriyah) –masa pemerintahan Al-Ma’mun dan (saudaranya) al-Mu’tashim, kemudian al-Watsiq- pada saat kaum Jahmiyah menafikan sifat-sifat Allah dan menyerukan manusia agar mengikuti paham mereka. Madzhab ini dianut oleh tokoh-tokoh Rafidhah (periode terakhir) yang mendapat dukungan penguasa.

Terhadap penyimpangan tersebut, madzhab Ahli Sunnah tentu saja menolak. Oleh karena itu, mereka sering mendapat ancaman atau siksaan. Ada pula yang dibunuh, ditakut-takuti, ataupun dibujuk rayu. Namun dalam menghadapi kondisi seperti ini, Imam Ahmad tetap tabah dan tegar sehingga mereka memenjarakan beliau beberapa waktu lamanya. Kemudian mereka menantang beliau untuk berdebat. Dan terjadilah perdebatan yang amat panjang.

Dalam perdebatan tersebut, demikian menurut Imam Ahmad, dibahas mengenai masalah sifat-sifat Allah dan yang berkaitan denganNya, mengenai nash-nash, dalil-dalil, antara pihak yang membenarkan dan menolak. Dengan adanya perbedaan pandang itu akhirnya umat berpecah belah menjadi berkelompok-kelompok.

Imam Ahmad dan Imam-imam lainnya dari Ahli Sunnah serta Ahli Hadits sangat mengetahui kerusakan madzhab Rafidhah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, dan Murji’ah. Namun karena adanya cobaan (mihnah, pen), maka timbullah perdebatan. Dan Allah mengangkat kedudukan Imam (Ahmad) ini menjadi imam Sunnah sekaligus sebagai tokohnya. Predikat itu memang layak disandangnya karena beliau sangat gigih dalam menyebarkan, menyatakan, mengkaji nash-nash dan atsar-atsarnya, serta menjelaskan segala rahasianya. Beliau tidak mengeluarkan statemen-statemen baru, apalagi pandangan bid’ah.

Kegigihan beliau dalam memperjuangkan Ahli Sunnah tidak dapat diragukan lagi, sampai-sampai sebagian ulama di Maghrib mengatakan, “Madzhab itu milik Malik dan Syafi’i, sedangkan kepopulerannya milik Ahmad”. Maksudnya, madzhab para Imam ushul (ad-din) itu merupakan satu madzhab seperti yang dikatakannya.” [11]

Jelaslah di sini bahwa Salafiyah itu tak lain adalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Disebut Ahlus Sunnah karena kuatnya (mereka) berpegang dan ber-ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Nabi saw. Disebut Al-Jama’ah karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) Al-Haq, tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. Begitulah, disebabkan mereka adalah orang-orang yang ittiba’ kepada Sunnah Rasulullah saw dan mengikuti atsar (jejak Salaful Ummah, pent), maka mereka juga disebut sebagai Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu mereka juga dikatakan sebagai At-Thaifah Al-Manshurah (golongan yang mendapat pertolongan Allah) dan Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat).[12]

Imam-imam Salaf dan kaidah penting bagi Salaf

Imam-imam yang dianggap sebagai imam Salaf di antaranya:

Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Bukhari, Imam Abu Ja’far At-Thahawi Al-Hanafi, Imam Ibn Abi Zaid Al-Qirawani Al-Maliki, Imam Ibnu Taimiyah, dan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kaidah yang penting dalam kajian Aqidah, menurut Salaf adalah:

1. Al-Qur’an sebagai sumber dalil Naqli dan Aqli.

2. Mengikuti Salafus Shalihin dalam menafsirkan nas-nash.

3. Beriman kepada masalah-masalah ghaib terbatas pada berita yang benar/ sah (khabar shadiq).

4. Pembagian tauhid kepada Rububiyyah dan Uluhiyyah dan kewajiban meyakini keduanya.

5. Mengisbatkan (menetapkan) Asma wa shifat Allah, dan mengakui maknanya tanpa mencoba membicarakan kaifiyatnya.

6. Menolak takwil.

7. Membatasi akal dari memikirkan yang bukan bidangnya.

8. Membatasi makna mutasyabbih dan menjelaskan bahwa Qur’an itu seluruhnya jelas dan dapat ditafsiri.

9. Pengaruh sebab-sebab alam bagi akibat yang ditimbulkannya dengan izin Allah.

10. Baik dan buruk dalam af’al adalah bersifat aqli dan syar’i.

11. Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar karena kesalahan.[13]

Ciri utama kaum Salaf adalah sangat ketat dalam hal Tauhid, baik secara i’tikad maupun ibadah. Maka mereka sangat mementingkan pembahasan Tauhid dan tentang kepercayaan yang bathil, seperti syirik, takhayul, khurofat, tathoyyur, perdukunan, meminta ke kuburan dsb. Juga tentang bid’ah, tawassul dsb.

Salafiyah di Indonesia

Faham Salafiyah itu di Indonesia tampaknya dulu menonjol di Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Namun akhir-akhir agak tampak surut, di antaranya karena organisasi-organisasi Islam tersebut mengembangkan diri dengan badan-badan otonomnya di bawah organisasi yang masing-masing mengembangkan usahanya, misalnya pendidikan, kesehatan, dan sosial. Hal itu di Muhammadiyah dikenal dengan istilah badan amal usaha.

Selanjutnya, sejak tahun 1990-an di Indonesia ada alumni-alumni dari Timur Tengah, khususnya dari Saudi Arabia, yang giat mengadakan pengajian-pengajian atau pendidikan dengan merujuk pada faham Salaf. Di samping itu diadakan pencetakan kitab-kitab terjemahan karangan ulama Salaf dengan cover Ahlus Sunnah. Bahkan dengan “membuang” nama Abdul Wahab, misalnya dalam penerbitan Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Hingga cukup disebut dengan Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At-Tamimi. Sehingga, kitab itu beredar luas dan dipelajari di pesantren-pesantren maupun madrasah-madrasah dan pengajian-pengajian. Sementara itu, sebelumnya KH Bey Arifin dari Surabaya tahun 1978 dengan rekan-rekannya selaku rohaniawan di Kodam VII Brawijaya telah menerjemahkan Kitab Tauhid Syaikh Abdul Wahab dan diterbitkan oleh PT Bina Ilmu Surabaya. Kitab Tauhid itu dengan jelas-jelas memampangkan nama Muhammad bin Abdul Wahhab dengan nama kitabnya Ma’a ‘Aqidatis Salaf Kitabut Tauhid alladzi Huwa Haqqullahi ‘alal ‘Abid. Terjemahan Indonesianya: Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirik.

Tampaknya upaya penerbitan dengan terang-terangan menyebut nama Muhammad bin Abdul Wahhab itu kurang mendapat sambutan masyarakat. Berbeda dengan terjemahan baru oleh Muhammad Yusuf Harun alumni Timur Tengah setelah 1990-an, yang cukup menampilkan kitab itu dengan nama Kitab Tauhid Syaikh Muhammad At-Tamimi. Hasilnya, banyak pesantren dan madrasah bahkan pengajian yang meminatinya, bahkan pengkajian di radio-radio swasta. Dan hal itu disertai dengan tumbuhnya generasi yang menamakan diri atau suka disebut kelompok Salaf, dan tidak ada kaitan dengan Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad ataupun lainnya. Hingga masyarakat tampak terperangah ketika tiba-tiba muncul satu barisan yang menamakan diri Lasykar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah pimpinan Ja’far Umar Thalib yang bertandang ke Istana Negara dengan membawa pedang dan berdialog dengan Presiden Abdurrahman Wahid pertengahan 2000M. Keruan saja pihak NU (Nahdlatul Ulama) yang selama ini memperkenalkan diri sebagai kelompok Ahlus Sunnah menepis adanya kelompok Ahlus Sunnah model itu. Namun tepisan NU itu tidak ada dampaknya, bahkan kemudian ribuan orang dari Lasykar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah alias Salafi itu menurut berbagai sumber berangkat ke Ambon untuk bergabung dengan Muslimin Ambon dalam menghadapi serangan (menurut data dan fakta) pihak Kristen sejak Idul Fitri 1999.[14]

Jama’ah Salaf di Indonesia dalam pengajian-pengajian mereka, kitab yang biasa dijadikan rujukan adalah Kitab Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyyah, Syarhus Sunnah oleh Imam Al-Barbahari, Fathul Majid syarah Kitab Tauhid At-Tamimi, kitab-kitab hadits seperti Bukhari, Muslim dan Kutubus Sunan, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir as-Sa’di, dan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dsb. Kitab-kitab itu kini banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sejak 1994. Meskipun demikian, di kalangan Salaf di Indonesia belum ada orang yang disebut ulama, baik oleh kelompok Salaf sendiri maupun pihak lain. Sementara itu ulama besar yang dikenal sebagai ulama Salaf di Saudi Arabia, tiga ulama terkemuka telah wafat belum lama ini, yaitu Syaikh Abdul Aziz ben Baz (2000), Syaikh Nasiruddin Al-Albani (2000/ 1421H), dan Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin (2001/ 1421H).

Aqidah menurut Salaf

Untuk mengetahui akidah Salaf, maka perlu disimak ungkapan dari ulama Salaf itu sendiri.

Wakil Sultan (di Suriah tempat Ibnu Taimiyah bermukim, pen) bertanya tentang iktikad (Aqidah), maka Ibnu Taimiyah ra berkata: Aqidah bukan datang dariku, juga bukan datang dari orang yang lebih dahulu dariku tapi dari Allah SWT dan Rasul-Nya, dan apa yang diijma’i oleh para salaf umat ini diambil dari kitabullah dan hadits-hadits Bukhari dan Muslim serta hadits-hadits lainnya yang cukup dikenal dan riwayat-riwayat shahih dari generasi salaf umat ini.[15]

Dan kata Ibnu Taimiyah: “Aku berkata: ‘Tidak! Demi Allah! Ini bukan khusus aliran Ahmad bin Hanbal. Tapi ia adalah akidah generasi salaf dan para Imam ahli hadits. Juga kukatakan: Ini adalah akidah Rasulullah Saw, dan setiap lafadz yang kusebutkan, aku sertai ayat atau hadits atau ijma’ para salaf dan kusebutkan orangnya yang mengutip atau meriwayatkan ijma’ dari para salaf kaum muslimin, fuqaha yang empat, ulama mutakallimin, ahli hadits dan para sufi.”[16]

Syeikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Adapun hakikat akidah kami adalah meyakini dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amal perbuatan dengan anggota badan. Jika tidak demikian, mengapa orang-orang munafik masuk ke neraka paling bawah padahal mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah, bahkan mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan haji?

Sedang yang kalian sebutkan berupa hakikat ijtihad, kami bertaklid kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan para salafus shalihin umat ini serta apa yang dipegang teguh oleh Imam yang empat: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris (Syafi’i), dan Ahmad bin Hanbal (rahimahumullah).

Dan apa yang kalian tanyakan tentang hakekat iman, ialah tashdiq (pengakuan/ pembenaran) yang bertambah melalui amal-amal shaleh dan berkurang melalui pekerjaan-pekerjaan maksiat. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya.” (QS Al-Muddatstsir: 31).

Dan kami tak datang membawa ajaran yang menyalahi kitabullah dan sunnah. Mereka mengucapkan apa yang tidak mereka perbuat sedang kami berkata dan berbuat:

“Besarlah kebencian (Allah) bahwa kalian mengucapkan apa yang tak kalian kerjakan.” (QS As-Shaaf:3).

Kami perangi para penyembah berhala seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Juga kami perangi mereka yang meninggalkan shalat dan menolak membayar zakat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh manusia paling jujur dalam sejarah umat ini yaitu Abu Bakar As-Shiddiq ra. Namun semuanya menjadi seperti apa yang dituturkan oleh Waraqah bin Naufal: “Tidaklah seseorang datang membawa apa yang kau bawa (hai Muhammad, pen) melainkan ia akan dimusuhi, disakiti, dan diusir!”[17]

Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Dan bagi Allah lah segala puji, sedang aku bukanlah mengajak kepada madzhab sufi atau faqih atau mutakallim, atau imam dari para imam yang terbesar seperti Ibnul Qayyim, Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan lainnya. Tetapi aku menyeru kepada Allah Yang Satu, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku mengajak kepada Sunnah Rasulillah.”[18]

Tentang sifat-sifat Allah

Madzhab Salaf menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala tanpa ta’thil, tamtsil, tahrif, dan takyif. Mereka mempercayai sifat-sifat Allah sebagaimana yang tersebut dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tahrif artinya merubah dan mengganti. Pengertiannya: merubah lafadh nama-nama Allah yang indah (Asma’ul Husna) dan sifat-sifatnya Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya.

Tahrif itu ada dua: Pertama, menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafadh. Contohnya, orang Jahmiyah dan pengikutnya mengatakan bahwa Istawa adalah istaula. Di sini ada penambahan huruf laam. Juga orang Yahudi mengatakan hinthathun ketika mereka diperintah mengatakan hitthathun.

Kedua, merubah makna. Contohnya, perkataan ahli bid’ah yang menafsirkan ghadhab (marah) dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam), rahmah (kasih sayang) ditafsirkan dengan iradatul in’am (keinginan untuk memberi ni’mat), dan al-yadu (tangan), dengan an-ni’mah (nikmat).[19]

Ta’thil artinya meniadakan, yaitu meniadakan sifat-sifat ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya.

Perbedaan tahrif dan ta’thil yaitu: ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan interpretasi yang batil.

Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta’thil melakukan tahrif. Barangsiapa yang menetapkan suatu makna yang bathil dan menafikan suatu makna yang benar maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka ia seorang mu’atthil, pelaku ta’thil, tetapi bukan muharrif, pelaku tahrif.[20]

Takyif artinya bertanya dengan kaifa, bagaimana. Maksudnya: menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan tatacara tertentu untuknya. Meniadakan tatacara bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab. Inilah faham yang dianut oleh kaum Salaf sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik rahimahullah Ta’ala, ketika ditanya tentang tatacara istiwa’, bersemayam. Beliau rahimahullah menjawab:

استواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.

“Istiwa’ –bersemayam-- itu telah diketahui (maknanya), tatacaranya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.”

Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahu tatacara, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, tanpa mempedulikan tatacaranya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.[21]

Tamtsil artinya menyerupakan, yaitu menjadikan Allah Ta’ala serupa dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya. Tamtsil dibagi menjadi dua yaitu: Pertama, menyerupakan makhluq dengan Pencipta. Misalnya, orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala, dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan Uzair dengan Allah Ta’ala pula. Maha Suci Allah dari itu semua. Kedua, menyerupakan Pencipta dengan makhluq. Contohnya, orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluq, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluq, dan memiliki tangan seperti tangan yang dimiliki oleh makhluq, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.[22]

Kenapa kaum Salaf melarang tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil, karena menurut mereka, sifat Allah SWT itu adalah tauqifiyah, berdasarkan pada wahyu, sedang akal tidak mempunyai peran di dalamnya. Syekh Utsaimin, ulama Salaf masa kini (wafat Syawal 1421H di Saudi Arabia) menegaskan: “Untuk itu, kita tidak menetapkan sesuatupun sifat untuk Allah kecuali bila ada dasarnya dari Kitab dan Sunnah. Imam Ahmad –rahimahullah—mengatakan: “Tidak boleh Allah disifati kecuali menurut apa yang telah Dia sifatkan untuk Diri-Nya atau menurut apa yang telah disifatkan Rasulullah SAW, tidak boleh melanggar Al-Qur’an dan Hadits.”[23]

Menolak Takwil

Faham salafiyah tampak ketat dalam hal takwil, bahkan dalam kitab Dasar-dasar Akidah Para Imam Salaf ditulis jelas sebuah judul “Menolak Takwil.” Judul itu menjelaskan:

Takwil bagi ulama mutakallimin umumnya menuntut dijadikannya akal sebagai dasar penafsiran yang mengalahkan syara’. Sehingga jika terjadi kontradiksi antara dalil syar’i dan aqli, mereka menakwilkan nash disesuaikan dengan akal, seperti menakwilkan dalil ru’yatullah pada hari kiamat, dalil ‘uluwullah, ayat-ayat tentang sifat (Allah) dan lainnya. Sedang ulama salaf menolak takwil jenis ini dan menyalahkan orang yang mengucapkannya. Mereka (Salaf) begitu membencinya, karena takwil ini mengakibatkan kepada peniadaan (isi) nash dan kelancangan terhadap makna dengan menyusupkan ra’yu yang bertujuan merusak syari’ah, menyesatkan orang yang meyakininya dan merapuhkan akidah yang terhunjam kuat di dada serta mengeruhkan akidah yang terang. Takwil yang sahih menurut para salaf ialah yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh nash dan yang dibawa oleh Sunnah, sedang takwil lainnya rusak dan menyimpang.[24]

Takwil menurut salaf sebagai berikut:

فالتأويل في كتاب الله وسنة رسوله ص م : هو الحقيقة التي يؤول اليها الكلام.

Takwil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasul saw adalah maksud dari ucapan itu sendiri.

Definisi itu dijelaskan: Maka takwil khabar (bukan kalimat perintah atau larangan, pen) adalah ujud (‘ain) yang dikhabarkannya. Dan takwil perintah (al-amr) adalah perbuatan yang diperintahkan itu sendiri. Sebagaimana Aisyah ra berkata: Adalah Rasulullah saw berucap dalam ruku’nya:

سبحانك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفرلي

beliau mentakwilkan Al-Qur’an

فسبح بحمد ربك واستغفره إنه كان توابا.(مسلم 484، وأبو داود، وابن ماجة والنسائ، وأحمد).[25]

Selanjutnya dijelaskan: Dan adapun suatu khabar seperti khabar tentang Allah dan hari akhir, maka ini kadang tidak diketahui takwil kejadian sebenarnya, karena dia tidak diketahui dengan semata-mata murni khabar itu. Karena hal yang dikhabarkan apabila belum tergambarkan atau belum diketahui sebelumnya, maka tidak diketahui kenyataannya, yang hal itu takwilnya adalah hakekat khabar itu sendiri. Dan (kenyataan akherat dsb sebenarnya seperti apa, pen) inilah takwil yang tidak diketahui kecuali oleh Allah saja.[26]

Takwil dalam pembicaraan kaum muta’akhirin dari kalangan fuqaha’ dan mutakallimin adalah mengalihkan lafal dari kemungkinan yang kuat kepada kemungkinan yang lemah karena adanya dilalah yang mewajibkan demikian. Dan ini adalah takwil yang dipertentangkan orang dalam banyak hal baik khabariyah (kalimat berita) maupun thalabiyah (kalimat perintah, larangan dsb). Maka takwil yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang ditunjuk nash kitab dan sunnah. Sedang yang menyelisihinya adalah takwil rusak (fasid).[27]

Ta’wil menurut Muta’akhirin, adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya, dan dengan inilah para pengubah (muharrifun) menggagahi nash. Dan mereka mengatakan: “Kami menakwilkan apa yang menyelisihi perkataan kami”. Maka mereka telah menamakan tahrif (pengubahan nash) dengan ta’wil.[28]

Demikianlah penolakan kaum Salaf terhadap takwil.

Tentang Allah di atas ‘Arsy

Menurut Salaf, Allah itu Maha Tinggi di atas langit sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat Mahatingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam kitabNya dan sabda Rasulullah saw, sedang fitrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Al-Qur’an, hadits shahih, naluri dan cara berfikir yang sehat telah mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy.

1. Firman Allah:

الرحمن على العرش استوى. (طه: 5).

Allah yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaha:5).

Pengertian ini sebagaimana diriwayatkan Bukhari dari beberapa Tabi’in.

2. Firman Allah:

“Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit? Bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu....” (Al-Mulk: 16).

Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, sebagaimana dituturkan dalam Kitab Tafsir Ibnul Jauzi.

3. Firman Allah:

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka....” (An-Nahl: 50).

4. Firman Allah tentang Nabi Isa ‘as.

“Tetapi Allah mengangkatnya kepada-Nya....” (An-Nisa’: 158).

Maksudnya, Allah menaikkan Nabi Isa ke Langit.

5. Firman Allah:

“Dan Dia lah Allah (yang disembah) di langit....” (Al-An’aam: 3).

Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: “Para ahli tafsir sependapat bahwa kita tidak akan berkata seperti ucapan kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah tidak berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka.”[29]

6. Rasulullah saw mi’raj ke langit ke tujuh dan difirmankan kepadanya oleh Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

7. Rasulullah saw pernah menanyai seorang budak wanita: “Di mana Allah?” Jawabnya: “Di langit” Rasulullah bertanya lagi: “Siapa saya?” Dijawab lagi: “Kamu Rasul Allah.” Lalu rasulullah bersabda: “Merdekakanlah dia, karena dia seorang mukminah.” (Riwayat Muslim).

Sabda Rasulullah saw:

‘Arsy itu berada di atas air, dan Allah berada di atas Arsy, Allah mengetahui keadaanmu.” (Hadits Hasan riwayat Abu Daud).[30]

Ma’iyatullah

Mengenai ma’iyatullah atau kebersamaan Allah, Salaf menjelaskan:

Adapun firman Allah:

وهو معكم أينما كنتم

“....dan Dia (Allah) selalu bersamamu di mana kamu berada.” (QS Al-Hadiid: 4) maksudnya bahwa Dia bersama kita: mengetahui, mendengar, dan melihat kita di manapun kita berada. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudah ayat ini menjelaskan hal tersebut, seperti keterangan dalam Tafsir Ibnu Katsir.[31]

Bahwa hakekat pengertian kebersamaan Allah dengan makhluk tidak bertentangan dengan keberadaan Allah di atas ‘arsy, soalnya perpaduan antara kedua hal ini bisa terjadi pada makhluk. Contohnya seperti dikatakan: “Kami masih meneruskan perjalanan dan bulan pun bersama kami.” Ini tidak dianggap kontradiksi dan tak seorangpun memahami dari perkataan tersebut bahwa bulan turun di bumi. Apabila hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagi Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu –sekalipun berada di atas ‘arsy- tentu lebih patut lagi, karena hakekat pengertian ma’iyah (kebersamaan) tidak berarti berkumpul dalam satu tempat.[32]

Tentang Allah dekat
Ulama Salaf menjelaskan tentang Allah dekat sebagai berikut:

Firman Allah SWT:

“...Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS 50: 16).

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu...” (QS 56:85).

Bahwa “dekat” dalam kedua ayat ini ditafsirkan dengan dekatnya para malaikat. Itu bukanlah perubahan nash dari dhahirnya, bila benar-benar dimegerti. Karena pada ayat pertama dilanjutkan: “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat...” itu menunjukkan bahwa yang dimaksud “dekat” yaitu dekatnya dua malaikat pencatat amal perbuatan.

Sedangkan ayat kedua, kata “dekat” di sinipun muqayyad, dibatasi dengan situasi saat pencabutan nyawa, di mana pada saat itu datanglah malaikat kepada orang yang hendak dicabut nyawanya. Berdasarkan firman Allah SWT:

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajiban.” (QS 6:61).

Kemudian firman Allah:

“....tetapi kamu tidak melihat.” (QS 56:85).

Merupakan bukti nyata bahwa mereka itu adalah malaikat, sebab ayat tersebut menunjukkan bahwa dzat yang dekat ini berada di tempat yang sama tetapi tidak terlihat oleh kita. Dan ini mendukung penafsiran di atas bahwa yang dimaksud dengan “dekat” ialah dekatnya malaikat, dengan alasan hal ini mustahil bagi Allah SWT.[33]

Mengapa Allah menisbatkan “dekat” ini kepada diri-Nya, dan apakah ada ekspresi semacam ini sedang yang dimaksud adalah malaikat?

Allah SWT menisbatkan dekatnya para malaikat ini kepada diri-Nya karena dekatnya mereka berdasarkan perintah-Nya. Mereka adalah bala tentara dan utusan-utusan-Nya. Dan ekspresi semacam ini dengan yang dimaksud malaikat pun ada, seperti firman Allah:

فإذا قرأناه فاتبع قرأنه.

“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS 75:18).

Maksud dari ayat ini bahwa Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. Padahal Allah SWT menisbatkan pembacaan ini kepada diri-Nya. Namun, karena Jibril membacakannya kepada Nabi SAW berdasarkan perintah Allah, maka benarlah bila pembacaan itu dinisbatkan Allah kepada diri-Nya.[34] Demikian pula ayat 74 Surat 11. Ibrahim as bersoal jawab dengan malaikat-malaikat tentang kaum Luth. Sedang kalimatnya yujaadilunaa (dia bersoal-jawab dengan Kami).

Mengenai Firman Allah dalam hadits qudsi:

“Dan hamba-Ku akan tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sehingga Aku pun mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia memegang dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya, dan demi apabila ia meminta kepada-Ku pasti Aku beri padanya, dan demi apabila ia minta perlindungan padaKu pasti aku melindunginya.”

Hadits ini shahih, diriwayatkan al-Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq, bab Tawadhu’.

Syaikh Utsaimin menjelaskan, golongan Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah memahami hadits ini menurut dhahirnya dan memberlakukan-nya menurut apa adanya.

Apakah dhahirnya hadits ini bahwa Allah SWT menjadi telinga, mata, tangan dan kaki si Wali? Ataukah dhahirnya adalah bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali dalam pendengaran, penglihatan, gerakan tangan dan langkah kakinya, sehingga pengetahuan dan amal perbuataannya lillaah (ikhlas karena Allah), billah (dengan memohon pertolongan Allah), dan fillah (menuruti syari’at Allah)?

Tidak syak lagi, menurut Syaikh Utsaimin, bahwa perkataan pertama bukanlah dhahir dari hadits tersebut. Bahkan, bagi orang yang memperhatikan lafadhnya, hadits ini tidak menunjukkan pengertian itu. Soalnya, terdapat dalam lafadh hadits ini dua alasan yang menolak pengertian tadi:

Pertama: Bahwa Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi ini:

“Dan hamba-Ku akan tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sehingga Aku pun mencintainya.”

Dan berfirman pula:

“Dan demi apabila ia meminta kepada-Ku pasti Aku beri padanya, dan demi apabila ia minta perlindungan padaKu pasti aku melindunginya.”

Ditetapkan dalam hadits tersebut adanya penghamba dan dihambai, yang mendekatkan diri dan yang didekati, yang mencintai dan yang dicintai, yang memohon dan yang dimohoni, yang memberi dan yang diberi, yang meminta perlindungan dan yang dimintai, yang memberi perlindungan dan yang diberi. Jadi konteks hadits menunjukkan adanya dua dzat yang saling berbeda, masing-masing berdiri sendiri. Ini berarti bahwa yang satu mustahil menjadi sifat bagi yang lain, atau menjadi salah satu bagiannya.

Kedua: telinga si Wali, matanya, tangannya, dan kakinya, semua itu merupakan sifat atau anggota tubuh pada makhluk yang hadits, yang terjadi ada setelah tidak ada sebelumnya. Bagi orang yang berakal tidak mungkin memahami bahwa Al-Khaliq yang Maha Pertama, yang tidak ada sebelum-Nya sesuatu makhlukpun, menjadi alat mendengar, alat melihat, tangan dan kaki si makhluk. Bahkan hati merasa muak untuk membayangkan pengertian ini, dan lisan pun terasa keluh untuk mengucapkannya, sekalipun hanya sekadar pengendalian saja. Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa pengertian inilah dhahir hadits qudsi tersebut.[35]

Selanjutnya Syaikh Utsaimin menegaskan: ...”yang benar adalah perkataan kedua yaitu bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali dalam pendengaran, penglihatan, gerakan tangan dan langkah kakinya, semua itu Lillaah –ikhlas untuk Allah, Billaah –dengan mohon ma’unahNya, Fillaah –menuruti dan mengikuti syari’at-Nya. Dengan demikian, dia benar-benar telah mewujudkan ikhlas, isti’anah dan mutaba’ah secara sempurna. Inilah taufiq yang sesungguhnya. Dan inilah tafsiran yang diberikan oleh Salaf, tafsiran yang sesuai dengan dhahirnya, menurut hakekatnya dan tepat dengan konteksnya. Tidak ada di sana ta’wil atau alterasi (perubahan) nash dari dhahirnya.[36]

Tentang perbuatan manusia

Salaf mengatakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang menciptakan para hamba berikut perbuatan-perbuatan mereka, akan tetapi para hamba tersebut benar-benar melakukannya dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, sedangkan Allah adalah yang menciptakan mereka dan segala kemampuan mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (As-Shafat: 96).

Ahlus Sunnah (Salaf) juga meyakini bahwa seorang hamba memiliki kehendak dan ikhtiar yang mengikuti kehendak Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

“Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam. (At-Takwir: 28-29).[37]

Dalam masalah baik dan buruk dalam af’al (perbuatan), para ulama salaf menempuh madzhab wasath (pertengahan) yakni af’al pada dzatnya baik dan buruk sebagaimana ia juga bermanfaat dan berbahaya. Dan bahwa akal mengetahui baik dan buruk setiap sesuatu. Allah SWT telah menganugerahkan kepada para hamba-Nya fitrah untuk mampu menilai baik seperti terhadap sifat-sifat shidiq (jujur), adil, iffah (memelihara kesucian diri), ihsan dan mensyukuri nikmat kepada yang memberinya. Juga Allah menganugerahkan fitrah untuk mampu menganggap buruk lawan dari sifat-sifat tersebut. Tetapi mengenai pahala dan siksa bersifat syar’i, bergantung kepada perintah dan larangan Allah, tidak berdasarkan akal.[38]

Hamba adalah pelaku perbuatannya secara nyata, dan dia memiliki kemampuan secara nyata. Allah Ta’ala berfirman: “ Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan maka Allah mengetahuinya” (al-Baqarah 197).

“Sebab itu janganlah kamu berduka cita karena apa yang mereka perbuat.” (Hud:36).

Dan apabila perbuatan hamba itu keadaannya tetap, maka perbuatannya itu ada dua macam:

Pertama perbuatan yang tidak dibarengi dengan kemampuan dan kehendaknya, maka perbuatan itu menjadi sifat baginya, tetapi tidak menjadi perbuatan, seperti gerakan-gerakan orang yang menggigil.

Kedua, perbuatan yang dibarengi dengan kemampuan dan ikhtiarnya, maka disifati keadaannya itu menjadi sifat, perbuatan, dan usaha (kasb) bagi hamba itu, misalnya gerakan-gerakan ikhtiar (yang diusahakan). Sedangkan Allah Ta’ala adalah yang menjadikan hamba itu sebagai pelaku yang berikhtiar, Dia yang menaqdirkan demikian itu Sendirian, tidak ada sekutu bagiNya. Untuk ini Salaf mengingkari pemaksaan (al-jabra). Karena pemaksaan itu tidak terjadi kecuali karena lemah, maka tidak terjadi kecuali disertai ikrah (paksaan). Dikatakan: Ayah memiliki kewalian ijbar (hak paksa) terhadap perawan kecil untuk nikah, dan tidak memiliki hak paksa terhadap janda yang baligh (lihat Al-Mughni 6/487-489), artinya ayah tidak memiliki hak untuk mengawinkannya (janda baligh) secara paksa.

Dan Allah Ta’ala tidak disifati dengan ijbar (sifat memaksa) seperti ungkapan ini, karena Allah SWT adalah Pencipta keinginan dan yang diingini, Yang menaqdirkan.[39]

Dan Allah Ta’ala hanyalah mengadzab hambanya atas perbuatannya yang ikhtiari. Perbedaan antara siksa atas perbuatan ikhtiari dan non ikhtiari adalah diakui oleh fitrah dan akal.

Lalu apabila dikatakan: Menciptakan perbuatan disertai siksaan atasnya itu dhalim? Itu sama dengan mengatakan: Menciptakan makan racun, kemudian mendapatkan kematian itu adalah dhalim. Maka sebagaimana hal ini sebab untuk mati, dan yang itu sebab untuk siksa, tidak ada kedhaliman di keduanya.

Walhasil, perbuatan hamba itu adalah perbuatan baginya secara nyata, tetapi ia adalah makhluk bagi Allah Ta’ala, dan maf’ul bagi Allah Ta’ala, bukan dia (perbuatan hamba) itu sendiri adalah perbuatan Allah. Maka di sana ada perbedaan antara fi’l (perbuatan) dan maf’ul (yang diperbuat), dan perbedaan antara khalq (ciptaan) dan makhluq. Kepada makna inilah Syaikh At-Thahawi rahimahullah menunjukkan dengan ucapannya: “Perbuatan hamba adalah khalqullah dan kasb dari hamba.” Yaitu perbuatan yang kembali kepada pelakunya tentang manfaat ataupun madharatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Baginya (pahala kebajikan) yang telah ia usahakan dan atasnya (dosa kejahatan) yang telah ia usahakan.” (Al-Baqarah: 286).[40]

Kesimpulan
1. Salafiyah adalah pemahaman Islam yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan merujuk pada Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in dalam hal pemahaman dan pengamalan Islam.

2. Pelopor yang dikenal sebagai pembangkit Salafiyah adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

3. Salafiyah adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang menolak ta’wil, menetapkan Asma’ dan Shifat Allah menurut Qur’an dan Sunnah, dan menolak tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil.

4. Salafiyah membagi Tauhid menjadi: Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa Shifat. Tauhid itu sebagai landasan paling utama, maka Salafiyah menolak keras syirik, bid’ah, khurafat, takhayul, do’a yang tidak syar’i, dan tawassul yang tidak syar’i, serta shalawat-shalawat yang tidak ma’tsur.

5. Salafiyah masuk ke Indonesia, ajarannya diamalkan oleh beberapa organisasi di antaranya Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan lainnya. Namun belakangan sejak 1990-an muncul generasi yang dipelopori alumni-alumni Timur Tengah terutama Saudi Arabia yang menyebut diri atau suka disebut Salaf. Di antara yang muncul ke permukaan ada yang dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan membentuk Lasykar Jihad, serta menerbitkan buku-buku terjemahan.

6. Perbedaan yang menonjol dengan Ahlus Sunnah yang Asy’ariyah di antaranya tentang takwil, yang hal itu sudah terjadi sejak dulu, di antaranya Asy’ariyah dipelopori oleh Imam Al-Ghazali, sedang Salafiyah ditokohi oleh Imam Ibnu Taimiyah.

Penutup
Faham Salaf , baik secara sejarah maupun kenyataan dalam kehidupan umat Islam sekarang, tampaknya tetap eksis dan berkembang. Para ulamanya jelas figur-figurnya, sedang kitab-kitab karangan mereka pun beredar mendunia. Hal itu tampaknya akan berkembang, karena apa yang mereka sebut da’i-da’i salafi sering mengadakan daurah baik untuk jama’ah mereka maupun sesama da’i secara maraton.

Sebagai catatan tambahan, perlu dikemukakan, Al-Qur’an dan Terjemahnya yang dicetak oleh Kerajaan Saudi Arabia atas perjanjian kerjasama dengan Departemen Agama RI masa KH Munawir Sjadzali MA (sejak sekitar 1987) adalah terjemahan menurut pemahaman Salaf. Di antara cirinya adalah menolak ta’wil. Oleh karena itu, pihak NU (Nahdlatul Ulama) pimpinan Abdurrahman Wahid menolak ketika Jam’iyah itu dihadiahi 2000 kitab terjemahan tersebut tahun 1992. Alasannya, karena terjemahan Al-Qur’an keluaran Saudi Arabia itu dianggap tidak sesuai dengan faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (versi NU). Hingga Abdurrahman Wahid ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) saat itu berjanji untuk menerbitkan sendiri terjemah Al-Qur’an versi NU. Saat itu Abdurrahman Wahid membentuk lajnah penelitian tentang kesalahan-kesalahan terjemah Al-Qur’an dari Saudi Arabia. Lajnah itu melibatkan Sekjen NU saat itu, Drs Ichwan Sam, yang kini Sekretaris MUI (Majelis Ulama Indonesia).[41] Hasil temuan penelitian Lajnah itu tidak mencuat ke masyarakat, demikian pula terjemahan Al-Qur’an versi NU belum terujud. Sedang Al-Qur’an terjemahan versi Salaf yang NU tolak itu telah beredar di masyarakat selama ini, termasuk di kalangan NU.

Tidak ada komentar: