Catatan Kecil : Mencopot Sikap Wira’i, Mengenakan Nafsu Syetan

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Mencopot Sikap Wira’i, Mengenakan Nafsu Syetan

Yang namanya ulama menurut pengertian yang berdekatan dengan ayat Al-Qur’an mestinya berkepribadian yang khosy-yatullah, benar-benar takut kepada Allah, melebihi orang-orang yang bukan ulama. Di masyarakat, yang disebut Kiyai itu identik atau bahkan sama dengan ulama. Maka seharusnya, mereka adalah orang-orang yang khasy-yatullah, benar-benar takut kepada Allah. Tentunya, untuk menjadi orang yang tingkatannya khasy-yatullah itu punya akhlaq yang mulia. Hal-hal yang mubah (boleh) dilakukan pun perlu ditimbang manfaat dan mudharatnya, bahkan apabila kurang bermanfaat, walaupun tidak bermudharat masih harus dipertimbangkan. Sedangkan hal yang meragukan (syubhat) maka mesti dijauhi, apalagi yang haram. Sikap seperti itu dinamakan sikap wara’ atau wira’i. Apabila ulama telah melepas “baju” wira’i-nya maka berarti ilmu agamanya telah dia tinggalkan, tidak diamalkan lagi. Yang tadinya merendahkan pandangan matanya ketika ada perempuan lewat, berganti menjadi berani memandang lebih dari satu klebatan, (sekali pandang). Baru di tingkat itu saja sebenarnya sudah melepas baju wira’i, karena dia telah melakukan zina mata. Bisa dibayangkan, baju wira’i itu telah diganti baju apa, kalau misalnya ada berita santer bahwa Kiyai Fulan beredar fotonya memangku isteri orang. Kata Nabi saw, “Syetan perempuan dan syetan laki-laki”, ketika beliau berkomentar tentang perempuan yang dikintil oleh lelaki, yaitu lelaki mengikuti perempuan, dan di sana belum ada keterangan sampai memangku segala. Jadi Sang Kiyai, dengan perbuatannya seperti itu telah mengganti baju wira’i-nya dengan baju syetan.

Dalam hal berkata-kata, bertingkah laku dan bersikap, setiap akhlaq mahmudah/ mulia yang dilepas kemudian diganti dengan akhlaq madzmumah/ tercela bisa diibaratkan baju wira’i diganti dengan baju syetan. Dalam kasus ini kita lihat peristiwa-peristiwa yang menyangkut sebagian kiyai terutama di kalangan NU ataupun Islam Tradisi.

Dalam suatu wawancara, Kiyai PKB (Partai Kebangkitan Bangsa/ NU) pimpinan Pondok Pesantren Buntet Cirebon, KH Abdullah Abbas, mengatakan, “...Kita tahu yang mencalonkan Gus Dur itu kan Amien (Rais) sendiri. Kenapa sekarang dia malah menggugat? Ini kan namanya pelecehan. Saya kira Amien Rais itu orang sinting.” Lanjutan dalam wawancara itu di antaranya: “ Dia (Amien Rais) itu sulit dipercaya. Niatnya tidak di atas kebenaran. Artinya kualitas ke-Islamannya tidak ada. Makanya kita tidak khawatir.”

Sementara itu Kiyai PKB-NU lainnya, KH Cholil Bisri Rembang berkata: “Saya sendiri punya 2000 santri, ya kalau untuk menghabisi orangnya Amien Rais di Rembang dan Jawa Tengah, cukup lima menit.” Selain jumlah pesantren, KH Cholil juga mengingatkan bahwa NU memiliki perguruan silat Pagar Nusa, ada Ansor ditambah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang memiliki Garda Bangsa. “Mereka itu orang-orang yang militan semua dan relatif jadug (sakti).” (Tabloid Aksi, No. 295, 2-8 November 2000).

Pernyataan dua kiai itu berkaitan dengan ungkapan Amien Rais ketua MPR yang menginginkan agar Gus Dur turun dari kedudukannya sebagai presiden. Karena, menurut Amien, seluruh indikasi (kepemimpinan Gus Dur) menuju negatifisme. Di samping gagal memberantas KKN, Gus Dur masih belum berhasil mengatasi pengangguran, memerosotkan nilai rupiah terhadap dolar 1500 poin dibanding zaman Habibie. Nampaknya kalau Gus Dur terus, Republik akan kedodoran karena dua propinsi bisa lepas. Kata Amien: “Saya sudah punya komitmen, sayalah yang sekarang dihujat masyarakat sebagai orang yang paling bertanggung jawab mempresidenkan Gus Dur dengan Poros Tengah kami. Sekarang saya ingin menebus dosa dan kesalahan saya itu. Saya minta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia atas pilihan yang keliru, kita manusia bisa saja keliru. Sekarang Gus Dur tidak bisa bertahan lebih lama lagi, demi kelanjutan bangsa dan negara ini di masa datang.” (Majalah Sabili, 15 November 2000/ 18 Sya’ban 1421, hal 95).

Di balik penyesalan atas kekeliruannya itu Amien Rais dimaki-maki oleh pendukung Gus Dur, sampai kiai-kiai NU/ PKB dan muqollid Gus Dur melontarkan kata-kata seperti tersebut di atas. Lantas, apakah lontaran kiai-kiai NU/ PKB itu bisa ditiru? Untuk meniru perbuatan, sudah ada ketegasan dari Allah SWT bahwa Rasulullah SAW lah uswah hasanah (contoh baik) yang harus ditiru. Bukan kiai atau siapa-siapa. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda:

أربع من كن فيه كان منافقا خالصا ومن كانت فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا عاهد غدر، وإذا خصم فجر.

“Arba’un man kunna fiihi kaana munafiqon khoolishon, wa man kaanat fiihi khoshlatun minhunna kaanat fiihi khoshlatun minan nifaaqi hattaa yada’ahaa: Idzaa haddatsa kadzaba, wa idzaa wa’ada akhlafa, wa idzaa ‘aahada ghodaro, wa idzaa khoshoma fajaro.”

“Orang yang dirinya ada empat perkara maka dia itu (sangat menyerupai) munafiq tulen.Dan barangsiapa ada pada dirinya satu perkara dari yang empat itu maka ada dalam dirinya satu perkara dari kemunafikan, sehingga (baru hilang kalau) ia meninggalkannya. (Yaitu): Apabila ia bercerita (tentang hal yang telah terjadi) maka dia berbohong, apabila ia berjanji (untuk memenuhi janji Allah) maka ia menyelisihi, apabila ia berjanji/ sepakat maka ia khianat, dan apabila ia bertengkar maka ia (berargumentasi dengan) dusta/ menyimpang dari kebenaran.” (Hadits Riwayat Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi, berderajat Shahih).

Munafiq yang sejati adalah lahirnya menampakkan diri sebagai beriman sedang hatinya kafir. Empat perkara itu adalah perbuatan munafiq, jadi munafiq af’ali (secara perbuatan). Maka siapa yang melakukan 4 perbuatan munafiq itu dia mirip sekali dengan munafiq sejati.

Sedang dari sisi mengandalkan kekebalan yang disebut jadug, maka tingkah mengisi diri dengan ilmu kebal/ jadug itu berlawanan dengan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan ilmu kebal, bahkan beliau pun terluka ketika berperang melawan kafirin. Para sahabat Nabi SAW pun justru menginginkan mati syahid, tidak pakai ilmu kebal sama sekali.

Ilmu jadug itu mungkin dengan minta bantuan jin, mungkin dengan sihir, mungkin juga dengan jimat. Semua itu dilarang keras dalam Islam.

Larangan minta bantuan kepada jin:

وأنه كان رجال
رهقا.

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS Al-Jin/ 72:6).

Larangan bersihir:

من عقد عقدة ثم نفث فيها فقد سحر، ومن سحر فقد أشرك، ومن تعلق شيئا وكل إليه. (رواه النسائ عن أبي هريرة).
“Man ‘aqoda ‘uqdatan tsumma nafatsa fiihaa faqod saharo, waman saharo faqod asyroka, waman ta’allaqo syai’an wukila ilaihi.”

“Barangsiapa membuat suatu buhulan/ ikatan lalu meniup padanya (sebagaimana yang dilakukan tukang sihir), maka dia telah melakukan sihir. Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka dia telah berbuat syirik; sedang barangsiapa menggantungkan diri pada suatu benda (jimat) maka dirinya dijadikan bersandar kepada benda itu.” (HR An-Nasa’i dari Abu Hurairah).

من علق تميمة فقد أشرك. (رواه أحمد).

Larangan pakai jimat: “Man ta’allaqo tamiimatan faqod asyroka.”

“Barangsiapa menggantungkan jimat maka sungguh ia telah berbuat syirik.” HR Ahmad).

Demikianlah. Mudah-mudahan mereka mau bertobat, dan mencabut serta menyesali ucapan yang jadi contoh buruk. Sedang kalau masalahnya bersalah kepada sesama manusia maka minta maaf kepada yang bersangkutan. Dan para jadug itu hendaknya membuang ilmu jadugnya serta bertobat, hingga menemui Allah SWT tidak dalam keadaan musyrik.

Kecaman keras dan ancaman dengan menakut-nakuti yang dilancarkan Kiyai-Kiyai PKB-NU itu terjadi bulan November 2000M. Ternyata 3 bulan berikutnya, Februari 2001M terjadi betul perusakan massal yang diduga keras dilakukan oleh warga Nahdliyin/ NU di Jawa Timur. Sebagaimana dituturkan di berbagai tempat di sini, perusakan itu justru terhadap masjid, panti asuhan Musl, madrasah, sekolah dan perkantoran milik Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Selain itu pembakaran dan perusakan kantor-kantor Golkar, dan penebangan ratusan pohon pinggir jalan, dihalangkan ke sepanjang jalan Raya. Sebelumnya tahun 2000 sudah diadakan perusakan-perusakan terhadap kantor-kantor HMI di beberapa tempat oleh pendukung Gus Dur tentunya dari NU.

Kejadian yang di dalam Islam termasuk tingkah perusakan yang sangat dilarang, sedang pelakunya disebut fasiq itu sangat disayangkan sekali, karena justru terjadinya itu akibat dari suara-suara yang dilontarkan oleh para kiyai NU, di antaranya seperti tersebut di atas.



Ratusan Ulama Berwatak Busuk

Secara normatif, tingkah laku kiyai-kiyai atau ulama model itu telah menjadi keprihatinan secara mendunia, dan memang sangat merugikan Islam. Sehingga seorang tokoh pergerakan di Mesir, Syaikh Doktor Umar Abdurrahman mengomentari ulama model itu sebagai berikut:

“Adalah salah satu malapetaka yang turun di halaman kita kaum muslimin bahwa para sultan itu telah memperoleh ratusan ulama berwatak busuk yang bersedia menjual agama mereka untuk mendapat imbalan harta melimpah dan kedudukan yang hina -, dan cepat-cepatlah para ulama yang busuk hati itu memberikan fatwa bahwa para penguasa kita itu adalah para wali dan khulafa’ yang wajib ditaati dan haram menyalahi mereka. Mentaati mereka termasuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya, dan bahwa mendurhakai mereka adalah berarti mendurhakai Allah SWT dan rasul-Nya.

Dan teruslah ulama busuk itu menipu manusia dengan fatwa-fatwa ini, dan tidak cukup dengan itu, bahkan mereka tidak membiarkan satu perbuatan pun berlalu dari para penguasa melainkan memberikan fatwa bahwa perbuatan itu halal atau ketaatan ataupun kewajiban setiap gerak, setiap diam, setiap isyarat. Setiap kata dan setiap perbuatan penguasa mereka berikan dengan cepat sebuah fatwa untuk memantapkannya, memperkuatnya, mendukungnya dan mengukuhkannya bahwa hal itu adalah kebenaran, sasaran syara’, inti dan hakekatnya.

Sekiranya urusan itu bukanlah masalah serius dan gawat, tentulah kita mentertawakan fatwa-fatwa mereka yang saling bertabrakan itu. Sekiranya yang rusak dan dinodai kehormatannya itu bukanlah agama, tentulah kita tertawa geli karena keberanian dan tindakan tak tahu malu mereka. Mereka memfatwakan sesuatu dan kebalikannya memberikan fatwa, lawan mereka telah memfatwakan bahwa perdamaian dengan Yahudi itu haram menurut syara’, dan menjual tanah kepada mereka atau membantu mereka dengan bantuan paling kecil atau berhubungan dagang dengan mereka itu adalah kafir dan murtad.

Setelah politik berubah dan pemerintah kita (Mesir) berdamai dengan yahudi, berbaliklah fatwa-fatwa itu dan berkata bahwa perdamaian ini adalah boleh bahkan wajib, dan bahwa perdamaian ini seperti perdamaian Hudaibiyah! Sedangkan sebelumnya mereka telah memberikan fatwa bahwa Islam adalah agama sosialis. Setelah pemerintah kita menghadap kearah barat dan memalingkan wajah mereka ke arah Gedung Putih (Amerika), berbelitlah fatwa-fatwa itu pada pangkalnya dan mengatakan bahwa Islam itu agama kebebasan ekonomi, politik dan kemasyarakatan, dan bahwa Islam adalah musuh bebuyutan bagi sosialisme dan marxisme.”[1]

Bagaimana gejala itu persisnya dengan keadaan di Indonesia, bisa tampak benar. Ada ulama-ulama yang dulunya zaman Soekarno Orde Lama mereka berangkulan dengan PKI. Kata Prof Dr Ir Ahmad Muflih Saefuddin, dulu KH Idham Chalid orang NU berangkulan dengan Aidit tokoh PKI- Komunis, hingga terbentuklah Nasakom (Nasional, Agama-NU, dan Komunis-PKI). Tetapi begitu zaman Orde Baru pimpinan Soeharto membubarkan PKI, maka orang NU berteriak kencang bahwa NU-lah yang pertama kali mengusulkan pembubaran PKI itu.

Ada pengalaman unik di tempat kami kerja, di koran Pelita. Waktu Abdurrahman Wahid sudah berhasil membawa-bawa KH As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo Jawa Timur ke Istana menghadap Presiden Soeharto, lalu Wahid/ Gus Dur tahun 1984 itu bermesraan dengan Golkar dan menginginkan untuk jadi ketua umum PBNU; maka di koran Pelita itu Gus Dur diberi ruangan khusus halaman pertama untuk diisi, disebut dengan kolom Sabtu. Isinya sekitar NU dan sebagainya. Hingar bingar dukungan kepada Golkar dari NU lewat Gus Dur pun dimulai, maka pemuda Ansornya pun dikerahkan, di antaranya di Pelita untuk menulis hal-hal yang menunjukkan jasa NU dan kedekatannya dengan perjuangan Orde Baru. Rupanya saking semangatnya, rekan Ansor inipun menulis, di antaranya tentang pembubaran PKI. Maka di sana ditulis bahwa yang pertama kali usul agar PKI dibubarkan adalah pemuda Ansor. Tulisan itu tahu-tahu merupakan senjata makan tuan. Terjadi “keributan” di kalangan NU, kenapa Ansor mengaku-ngaku dirinyalah yang mengusulkan pertama kali agar PKI dibubarkan. Lalu anak Ansor itu entah ditekan atau diapakan oleh “bapaknya” yaitu orang NU, tahu-tahu hari-hari berikutnya segeralah dijelaskan dengan penjelasan lain lagi, bahwa yang pertama kali usul agar PKI dibubarkan itu adalah NU. Di sini antara bapak dan anak (NU dan Ansor) tampaknya berebut tulang, berupa mengaku pihaknya lah yang paling pertama mengajukan usulan untuk dibubarkannya PKI. Seandainya rekan Ansor ini mau bengal sedikit, mungkin bisa bilang: Usulan bapak kan tidak sah, karena dulunya bapak berangkulan dengan PKI. Kalau saya kan tidak.

Hus! Kurangajar!

Untuk mengingatkan sejarah, betapa hampir miripnya dengan yang disitir Dr Umar Abdurrahman di Mesir tersebut di atas, dan lanjutan dari cerita kecil tentang NU dan Ansor tersebut, mari kita simak penuturan berikut ini yang diungkap Media Dakwah:

Sekadar mengingatkan sejarah politik Indonesia, hampir dua dekade berselang, pada 1984 Abdurrahman Wahid berhasil menduduki kursi ketua PBNU melalui Muktamar NU di Situbondo. Di sinilah mulai terjalin hubungan Abdurrahman Wahid dengan rejim Soeharto melalui operatornya Jendral Benny Moerdani (orang Katolik, pen). Ketua PBNU sebelumnya Dr Idham Chalid berhasil ditumbangkan. Melalui forum Muktamar NU inilah Abdurrahman Wahid mengikatkan diri menjadi partner setia rejim Soeharto, khusus Golkar dengan mesin penggilasnya ABRI (saat itu dipimpin) Benny Moerdani.

NU pertama kali menyatakan persetujuannya terhadap rencana asas tunggal pancasila yang sangat ditentang ummat Islam. Karena menolaknya inilah ummat Islam di Tanjung Priok Jakarta memprotes keras. Akibatnya pecah peristiwa Tanjung Priok September 1984. Orang Islam tahu keterlibatan Benny Moerdani dalam Kasus Tanjung Priok itu, tapi Abdurrahman Wahid malah ikut bersama Benny mengutuk ummat Islam Priok, dan memberi jalan kepada Benny Moerdani mengunjungi pesantren-pesantren se-Jawa sekaligus meresmikan berbagai mesjid (padahal Benny itu orang Katolik, pen), pada akhir 1984 itu.[2]

Perlu diingat, kepemimpinan di NU yang model itu menjadikan KH As’ad Syamsul Arifin –Situbondo yang sudah dibawa-bawa ke istana pun akhirnya memutuskan diri untuk mufaroqoh, memisahkan diri dengan kepemimpinan Gus Dur. Beliau anggap, Gus Dur ibarat imam sholat yang sudah kentut, maka tidak pantas diikuti. Konon tersiar berita pula bahwa Gus Dur lebih pantas jadi Kiyai ketoprak. Istilah Kiyai ketoprak, di Jawa merupakan cemoohan yang cukup tajam, apalagi hal itu diucapkan oleh kiai sepuh (tua). Ungkapan itu ternyata di tahun 2001 diulang lagi oleh para demonstran anti Gus Dur di antaranya dari BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia) bahwa Gus Dur bisanya hanya humor, maka lebih baik bergabung saja dengan ketoprak-humor, satu jenis tontonan drama panggung yang sikapnya cengengesan yang muncul dan populer sejak 1999.

Selanjutnya Media dakwah mengemukakan:

Catatan penting gerakan politik Abdurrahman Wahid pada Muktamar Situbondo 1984 ialah Nu “kembali ke Khittah 1926”, yakni NU keluar dari lapangan politik. Khittah 1926 sebetulnya cuma strategi Abdurrahman Wahid sebagai taktik mendukung rezim Orde Baru alias Golkar dan menggembosi PPP yang merupakan “rumah politik” warga NU sejak Partai NU berfusi tahun 1973. Pada Pemilu 1977 dan Pemilu 1982, satu-satunya partai yang bisa menyaingi Golkar cuma PPP. PPP cenderung membesar dan mengalahkan Golkar di Jakarta dan Aceh. Suara NU saat itu banyak tercurah ke PPP. Akibat khittah, suara PPP pada Pemilu 1987 anjlok, kursinya turun dari 94 menjadi 62 kursi. Sebaliknya suara Golkar, dipimpin Sudharmono, naik drastis. Suara NU lari dari PPP ke Golkar karena Abdurrahman Wahid ikut kampanye memilih Golkar. Hubungan Abdurrahman pun makin akrab dengan Golkar. Sebagai hadiah, Abdurrahman Wahid diangkat menjadi Anggota MPR dari Golkar untuk periode 1987-1992 kemudian 1992-1997. Abdurrahman Wahid kemudian juga tercatat sebagai seorang Manggala BP7 (penatar tafsir pancasila tingkat tinggi, yang lembaga itu dibubarkan setelah rezim Orde Baru runtuh, pen) yang menerima sumbangan SDSB untuk PBNU[3] (sumbangan dari lembaga judi tingkat nasional, pen).

Waktu Abduurrahman Wahid jadi anggota MPR dari Golkar tahun 1987, ialah orang pertama yang memelopori asas tunggal Pancasila. Ia mengatakan Pancasila merupakan ideologi yang sudah final. Pernyataan ini sebetulnya sudah dia lontarkan di Muktamar Situbondo. Pemaksaan asas tunggal ini menunjukkan Abdurrahman Wahid nyata-nyata corong Soeharto dan pemasung kebebasan berorganisasi. Akibat ulah Wahid, beberapa organisasi terpaksa bubar sementara seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pecah dua sampai sekarang.[4]

Menjelang Pemilu 1997, sapnduk-spanduk Golkar di Jawa Timur bergambar Abdurrahman Wahid. Tertulis “Gus Dur Mendukung Golkar, “Gus Dur Lego Lilo Nyoblos No 2 Golkar” (Gus Dur Ikhlas Coblos No. 2 Golkar).

Massa NU yang menghadiri istighotsah juga selalu ,mengelu-elukan Tutut dan Abdurrahman Wahid. Seluruh panggung istighotsah terhias warna kuning, walaupun tak ada lambang beringin.

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Jawa Timur diketuai Drs H Choirul Anam sekarang ketua PKB Jawa Timur, berkali-kali bertemu Tutut sebelum Pemilu 1997. GP Ansor juga berkali-kali membuat seminar menjadikan Tutut sebagai pembicaranya. Surat kabar di Surabaya, April 1997, memuat Apel Banser dalam rangka hari lahir GP Ansor ke-63 menampilkan pidato Tutut, calon pemimpin masa depan versi Abdurrahman Wahid. Setelah pidato Tutut, bicara Abdurrahman Wahid yang hadir sekali lagi menyatakan Tutut adalah pemimpin masa depan. Pada Apel Banser di Lapangan Kodam Brawijaya itu, Tutut menyerahkan bantuan beberapa mobil Jeep Banser dan pakaian seragam Banser kepada PW GP Ansor Jawa Timur. Mudah-mudahan PW GP Ansor Jawa Timur tidak lupa bahwa pakaian seragam yang mereka kenakan adalah hadiah dari Tutut, yang masa itu ketua DPP Golkar. Apakah layak jika sekarang ini GP Ansor sama Banser menuntut pembubaran Golkar? Belum lagi, menjelang kampanye 1997, Ketua GP Ansor, Iqbal Assegaf dan Ketua PW GP Ansor Jatim Choirul Anam meminta dana 2 miliar kepada direktur PLN Djiteng Marsudi untuk pengamanan Kampanye Golkar Jawa Timur. Djiteng Marsudi hanya mengabulkan 1 miliar. Hingga kini tak jelas dana itu lari ke mana.[5]

Sejak berbaikan lagi dengan Soeharto 1996, Abdurrahman Wahid tidak pernah mengkritik Soeharto. Malah ia sering ketemu diam-diam secara rutin. Saat reformasi dikumandangkan sekitar Maret-April 1998 Abdurrahman Wahid juga bisu. Malahan waktu gerakan mahasiswa menuntut Soehartoi mundur malahan Abdurrahman Wahid mendukung Soeharto. Dalam pertemuan 10 tokoh dengan presden 19 Mei 1998 pagi, Abdurrahman wahid, sambil duduk di kursi roda, mengecam gerakan mahasiswa. Dapat dilihat di TVRI dan seluruh saluran televisi lain waktu itu, Abdurrahman Wahid mengatakan demonstrasi-demonstrasi itu harus dihentikan sekarang juga. Distop. Untuk apa demonstrasi-demontsrasi itu. Mahasiswa yang di senayan itu bubar saja. Belajar di kampus. Tak sedikitpun kelihatan Abdurrahman ini seorang reformis.

Setelah Soeharto lengser, Abdurrahman ikut mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tanggal 23 Juli 1998. Sejak berdiri itu PKB tidak pernah (mengkritik) Orde Baru. PKB tak pernah mempersoalkan Soeharto, apalagi meminta Golkar dibubarkan atau meminta Soeharto diadili. Waktu kampanye Pemilu 1999 PKB malah lebih keseringan menghujat partai lain terutama PPP. Yang anti Golkar adalah PDI-P, PAN dan partai lain. Jadi aneh bin ajaib kalau sekarang massa PKB_NU minta Golkar dibubarkan, terlambat hampir 3 tahun.

Menjelang Sidang Umum Oktober 1999, setidak-tidaknya Abdurrahman Wahid bertemu Soeharto di Jl Cendana 8. Pertemuan terakhir dua hari menjelang pemilihan presiden, Abdurrahman secara khusus meminta restu kepada Soeharto untuk jadi presiden. Soeharto merestui. Abdurrahman bahkan meminta cinbcin Soeharto yang selama ini tak lepas dari jarinya, Soeharto pun mengabulkan. Waktu itu Soeharto mendukung Abdurrahman, karena habibie dianggap berkhianat, sementara Megawati ditakuti balas dendam. Permintaan lain, sebagai syarat, Soeharto dan keluarga harus mendo’akan ketika pemilihan sedang berlangsung. Soeharto mengabulkan juga. Menurut Yeni, puteri Abdurrahman, Soeharto dan keluarga mendo’akan mereka menjelang pemilihan. Yenni bahkan sering dimintakan tolong bapaknya untuk berhubungan dengan keluarga Cendana melaui Tutut.

Sewaktu Abdurrahman terpilih jadi presiden, keluarga cendana langsung sujud syukur. Keluarga Cendana menelepon Abdurrahman via Hand phone mengucapkan selamat. Abdurrahman tanpa tedengar aling-aling langsung minta dana RP6 miliar, dan konon disediakan. Cerita ini bukan rumor lagi, dan pernah dimuat di Majalah Forum Keadilan melalui pernyataan wartawan Sugeng Suparwoto. Abdurrahman juga minta dibuatkan baju-baju untuk dirinya dan keluarganya.

Di sebuah majalah model luar negeri, Samuel Watimena, perancang busana, mengaku ia menjahitkan baju-baju Abdurrahman, Siti Nuriyah, Yenni, dan keluarga presiden yang lain atas pesanan dari Cendana. Samuel Watimena memang salah seorang perancang baju keluarga Cendana sejak lama.

Tak heran begitu jadi presiden, Abdurrahman berkunjung ke Soeharto berkali-kali. Baru belakangan, Abdurrahman mulai berang. Ia sempat memprovokasi mahasiswa Forkot dan Famred yang getol demo di cendana untuk melempari rumah Soeharto. Padahal kalau mau adili Soeharto adili saja, kok repot, apalagi Soeharto jelas bersalah. Abdurrahman malah bertemu terus Soeharto sejak dia jadi presiden. Ketika Tommy Soeharto diputuskan bersalah dan harus masuk penjara 18 bulan oleh pengadilan, Abdurrahman Wahid malah cari kesempatan. Beredar polemik di koran yang mengabarkan Gus dur minta Tommy 15 miliar untuk DP (uang muka), selebihnya 85 milyar menyusul lewat Kiyai Haji Noer Muhammad iskandar (alias Kiyai Fulan), Abdurrahman Wahid ketemu Tommy 2 kali di hotel Borobudur dan Regent Jakarta untuk berdamai (cincai).[6]

Tanggal 1 Februri 2001 Abdurrahman Wahid ditolak 8 fraksi. Sebnyak 393 dari 500 anggota DPR menyatakan Abdurrahman Wahid terlibat korupsi dana bulog 35 milyar rupiah dan menilep dana serta melakukan kebohongan publik soal dana dari Sultan Brunei sebesar US dolar 2 juta (19 milyar rupiah). Anggota DPR yang 500 itu kecuali Fraksi TNI atau Polri 38 orang, adalah hasil pemilu sah tanggal 7 Juni 1999. Jadi mengapa Abdurrahmn Wahid meminta DPR dibubarkan? Terlebih lagi, kasus Bulleggate dan Bruneigate ini cuma kasus yang tertangkap tangan.[7]

Sebegitu gamblang lakon-lakon para kiyai dan tokoh NU-PKB, baik yang sudah tua maupun yang masih muda atau generasi pemuda Ansor. Antara duit, pakaian, dan entah apalagi, istilah orang jalanan adalah Sikat aja bleh! Yang perlu diingat, tentu saja masalah ini hanya khusus disandang oleh orang-orang yang “doyanan”. Bagi yang tidak ya tidak, walaupun mereka di NU yang sedang dibicarakan ini. Sebaliknya orang di luar NU yang doyanan juga banyak. Barangkali ada protes, kenapa hanya NU yang disebut? Maaf, karena buku ini memang membicarakan seputar NU dan Islam Tradisi. Dan tentang yang lain, di antaranya juga sudah kami kemukakan, misalnya di buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru, terbitan Darul Falah Jakarta, 1420H. Sampai Akbar Tanjung pun telah diungkap di sana.

Lakon-lakon yang tidak nggenah (tak sesuai aturan) itu tempo-tempo diselingi pula dengan obyekan lain yang sampai sangat melanggar aturan Islam, bahkan menjadi tanaman busuk untuk selama tempat busuk itu digunakan. Dosanya pun akan tetap mengalir, selama kebusukan itu tetap berlangsung. Contohnya, KH Hasyim Muzadi ketika jadi ketua PW NU Jawa Timur, sebelum jadi Ketua Umum PBNU, dia di bulan Juli 1997 pernah menyetujui lokalisasi pelacuran alias persundalan yang akan dipusatkan di Benowo Surabaya Barat. Persetujuan yang sama dilakukan pula oleh DPW Muhammadiyah Jawa Timur, KH Abdurrahim Noer. Menurut mereka itu, tak ada pilihan antara membiarkan pelacuran dan melokalisasinya, maka atas nama organisasi mereka berdua lalu memilih lokalisasi pelacuran (disetujui).

Seorang pembaca koran[8] menulis, kalau diibaratkan, antara merajalelanya garong, begal, penodong dan maling, maka apakah dipilih didukungnya maling, dengan alasan memilih bahaya yang terkecil dari dua bahaya? Betapa hancurnya cara berfikir semacam itu dan betapa rusaknya. Sudah mempermainkan ayat Al-Qur’an yaitu menghalalkan yang haram, masih pula mempermainkan ilmu ushul fiqh tentang irtikabul akhofidh dhororoin, mengambil kerusakan yang paling ringan.

Tidak berjangka lama, tingkah Kiyai-kiyai itupun ditirukan oleh para pemuda dari dua organisasi itu. Ketika ada isu gencar tentang provokator yang bisa muncul di mana-mana, lalu Pemuda NU yang namanya Banser atau Ansor di Surabaya bersepakat dengan Pemuda Muhammadiyah Surabaya pula untuk bersama-sama meronda di tempat-tempat pelacuran/ lokalisasi pelacuran, Januari 2000.

Baju wira’i kiyai-kiyai doyanan yang model ini telah dilepas, diganti dengan baju syetan-syetan alas (artinya syetan hutan alias syetan liar; ada istilah madu lebah hutan alias lebah liar, maka istilah itu sudah didahului istilah syetan alas, yaitu syetan yang tingkatan liarnya sudah kebangetan). Maka para pemudanya di kalangan tertentu pun sudah ikut-ikutan memakai baju syetan alas, walaupun mungkin belum sempat memakai baju wira’i.

Bagaimana ini kalau generasi berikutnya akan lebih jelek lagi? Untuk mengantisipasi masalah itu, maka buku ini berupaya mengingatkan, jangan sampai seperti itu. Kalau toh tidak tercatat seperti di buku ini, pasti dicatat malaikat, dan nantinya akan dipertanggung jawabkan di akherat di pengadilan Allah SWT Yang Maha Adil.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Syaikh Doktor Umar Abdurrahman, Tipe-tipe penguasa Status Hukumnya dalam Islam terjemahan M Bukhari Burhanuddin dari judul asli Ashnaaful Hukkaami wa Ahkamuhum, Pustaka Mantiq, Solo, cetakan pertama 1995, halaman 164-165.

[2] Media Dakwah Dzulhijjah 1421/ Maret 2001, halaman 43.

[3] Ibid, halaman 43.

[4] Ibid, halaman 43-44.

[5] Ibid, halaman 45.

[6] Ibid , halaman 45.

[7] Media dakwah, Ibid, hal 45.

[8] Harian Pelita, Selasa 26 Agustus 1997/ 22 Rabi’ul Akhir 1418H, halaman 4.

Tidak ada komentar: