Catatan Kecil : Aneka Madharat Kemunkaran & Ashobiyah

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Aneka Madharat Kemunkaran & Ashobiyah

Aneka Madharat Kemunkaran & Ashobiyah



أليس منكم رجل رشيد.

“Alaisa minkum rojulun rasyiid?”

“Tidak adakah di antara kamu sekalian itu seorang laki-laki yang berakal?”

Demikianlah keluhan Nabi Luth ‘alaihis salam (dalam Al-Qur’an Surat Huud/ 11: 78) terhadap kaumnya yang tidak tahu diri, yang mendatangi rumah Nabi Luth dengan maksud ingin menghomo seks tamu-tamu Nabi Luth. Padahal sebenarnya tamu-tamu itu adalah para malaikat yang mengabarkan akan datangnya adzab Allah SWT terhadap kaum Nabi Luth as. Karena kaum itu menantang aturan Allah SWT dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji yaitu liwath atau homoseks atau sodomi.

Sejak dulu memang mereka mengerjakan perbuatan keji dan sangat dicela oleh tabi’at manusia yang wajar, dicela oleh syari’at-syari’at dan agama. Yaitu mereka suka mengadakan homoseksual, mengadakan hubungan kelamin sesama lelaki tidak dengan wanita, dan mereka secara terang-terangan mengadakan berbagai kemunkaran di balai pertemuan mereka, seperti diterangkan dalam firman Allah, yang artinya: “Apakah sesungguhnya patut kalian mendatangi laki-laki, menyamun/ membegal, dan kalian mengerjakan kemunkaran di tempat-tempat pertemuan kalian?” (QS Al-’Ankabuut/ 29: 29).

Adzab yang ditimpakan kepada kaum yang jahat itu dijelaskan oleh Allah SWT:

“Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dzalim.” (terjemah QS Huud/ 11:82-83).

Menurut firman Allah dalam Surat Az-Zariyaat, batu-batu itu adalah tanah liat yang terbakar sehingga menjadi batu yang diberi tanda oleh Allah Ta’ala dengan nama orang-orang yang akan ditimpanya, dan batu-batu itu dijatuhkan di tempat-tempat yang sering dilalui orang musyrik Quraisy yang dzalim, ketika mereka berdagang ke negeri Syam, supaya menjadi peringatan bagi mereka agar jangan memusuhi Muhammad saw, supaya jangan ditimpa adzab seperti yang menimpa kaum Nabi Luth as yang ingkar kepada Nabinya. Memang tempat-tempat itu sering dilalui oleh mereka (musyrikin Quraisy) bila mereka berdagang di musim panas ke negeri Syam seperti diterangkan dalam firman Allah, yang artinya:

“Dan sesungguhnya kamu (wahai penduduk Makkah) akan melalui bekas-bekas mereka di waktu pagi.” (As-Shaffat/ 37: 137).

Peristiwa adzab yang sangat mengerikan atas kaum yang lakonnya jahat (di samping menyembah berhala, mengingkari ajaran-ajaran Nabinya, masih pula berhomoseks, menyamun/ membegal, dan berbuat kekejian di tempat-tempat perkumpulan mereka) itu agar menjadi pelajaran nyata bagi para penentang seperti musyrikin Makkah dan manusia pada umumnya.

Kejahatan memojokkan orang baik-baik

Lakon jahat, brutal, bahkan keji, ketika dilakukan beramai-ramai dan tanpa tedeng aling-aling, tanpa malu-malu lagi, maka menjadikan orang-orang yang baik jadi sangat terpojok posisinya, bahkan sangat dipermalukan. Bagaimana malunya Nabi Luth yang kedatangan tamu, tahu-tahu “diserbu” oleh kaumnya yang jahat-jahat itu dan akan memperkosa tamu-tamunya itu dengan ingin menyodominya. Hingga keluar kata-kata:

أليس منكم رجل رشيد.

“Alaisa minkum rojulun rasyiid?”

Tidak adakah di antara kalian itu seorang laki-laki yang berakal?

Ungkapan Nabi Luth as ini adalah ungkapan yang pas, ketika keadaan sangat memuncak, ketika menghadapi keadaan yang sangat memuakkan, brengsek, tak tahu diri, tak tahu aturan, dan tidak ada keuntungan yang akan didapatkan.

Mungkin orang bisa melontarkan kata-kata yang sama, misalnya di suatu desa mengalami kondisi yang sangat memuakkan. Warga desa itu misalnya mengangkat kepala desa yang omongannya sudah dikenal plintat-plintut, esuk dele sore tempe (pagi dia bilang kedelai, tapi di sore hari dia bilang tempe), cengengesan (tanpa peduli aturan), suka cekakakan (tertawa seenaknya tanpa memperhatikan sopan santun), doyanan (serakah terhadap yang bukan haknya, baik harta maupun wanita), seneng mblayang (suka pergi ke sana-sini tanpa tujuan jelas dan manfaat yang pasti), teganan, mentalanan (tidak ada rasa kasih sayang, cuek), kuping budeg moto picek (tidak mau tahu terhadap apa yang diderita atau sangat dibutuhkan masyarakat), mbuh ra weruh (cuek, tak mau tahu urusan yang diperlukan umum), hingga ribuan anak yatim yang tadinya tersantuni oleh lembaga yang menyantuni pun karena lembaganya dibubarkan oleh pemimpin teganan itu maka akhirnya para anak yatim di mana-mana banyak yang terlantar kelaparan. Satu tingkah yang terakhir itu saja (tak mau menyantuni anak yatim bahkan menelantarkannya, dan tak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin) sudah cukup dikecam Al-Qur’an sebagai mendustakan hari qiyamat (yukadzdzibu bid dien). Apalagi disertai keburukan-keburukan lainnya seperti tersebut di atas.

Kalau sampai ada desa yang masyarakatnya mengangkat orang seperti itu jadi pemimpin atau kepala desa, maka pantas sekali ada yang mengeluh di antara mereka: “Apakah sudah tidak ada lelaki yang waras di desa ini?”

Lebih drastis lagi anehnya, ketika kepala desa yang seperti itu kemudian dikeluhi oleh orang-orang yang berpikiran waras dengan mengemukakan pendapat bahwa seharusnya desa ini segera diperbaiki agar aman tentrem kerto raharjo, jangan dibiarkan makin rusak; tahu-tahu justru orang-orang yang menginginkan kebaikan itu dipecundangi oleh wadyabala Ki Lurah. Ada yang rumahnya dicoret-coret oleh wadya bala Ki Lurah dengan aneka kata-kata yang ngawur. Ada yang rumahnya dilempari batu ramai-ramai oleh antek-antek Ki Lurah. Ada yang rumahnya digrebek oleh antek-antek Ki Lurah. Ada yang ditantang oleh antek-antek Ki Lurah dengan aneka sesumbar, ayo majuo, ora nganti sak jam kowe tak rampungi. Iki balaku kabeh dogdeng, ora tedas tapak paluning pande, sisaning gurendo! (Ayo, kalau berani majulah! Tidak sampai satu jam, pasti kamu semua saya habisi. Ini komplotanku semua sakti/ kebal, tidak mempan senjata tajam bikinan tukang pandai besi).

Desa seperti itu keadaannya makin kisruh (tegang dengan konflik). Kalau ada orang menginginkan kebaikan, lalu dituduh macam-macam. Sedangkan kalau Ki Lurah dibiarkan saja, tidak dibilangi agar menuju kepada kebaikan, maka makin jauh arahnya ke arah tidak nggenah (tidak keruan).

“Apakah di antara kalian tidak ada lelaki satupun yang punya pikiran waras?”

Ditanya seperti itu, jawabannya lebih gila lagi, sebagaimana jawaban kaum Nabi Luth as yang dikisahkan dalam Al-Qur’an:

“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan (maksudnya, mereka tidak punya syahwat terhadap wanita, tetapi terhadap sesama lelaki) terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” (QS Huud/ 11:79).

Seolah-olah orang-orang itu memukul balik, kamu dari semula kan sudah tahu. Kami-kami ini kan keadaan dan kemauan kami seperti ini. Kami ini tidak ada kemauan seperti apa yang kamu inginkan itu. Tapi kami punya gaya dan kebiasaan serta selera tersendiri yang kamu semua sudah tahu. Bukankah kamu sudah tahu tentang diri kami yang seperti ini. Kenapa kamu masih menginginkan kami untuk mengikuti aturanmu. Ora sudi aku yen kok atur-atur. (Aku tak mau menggubris kalau kamu atur dengan aturan-aturanmu). Tetapi kalau itu sesuai dengan keserakahanku dan doyananku maka apapun ya saya datengi, sekalipun ngisin-isini (memalukan) dan melanggar pernatan (syari’at dan aturan). Misalnya berunding dengan orang yang terpidana, atau glenikan (khalwat) dengan isteri orang, atau meng-ghibah Muslimin di pertemuan orang-orang kafir. Nah, itu kesenangan kami, dah.

Memang, tidak gampang menghadapi orang-orang yang sebenarnya jahat, tetapi mereka tidak mengakui bahwa diri mereka itu jahat. Padahal, kejahatan mereka itu sudah bertumpuk-tumpuk, tumpang tindih, menggunung, dan memalukan.

Jenis kejahatan mereka

Dalam Al-Qur’an, mereka kaum Nabi Luth as itu dijelaskan, kejahatan yang nyata adalah:

1. Menentang kebenaran.

2. Melakukan perbuatan keji.

3. Menyamun, yaitu membegal atau merampok orang di perjalanan, barang-barang musafir dirampok, sedang orangnya dibunuh.

4. Perkataan mereka di perkumpulan-perkumpulan sangat menjijikkan. Diriwayatkan dari Ummu Hani’ bin Abi Thalib yang menanyakan kepada Rasulullah arti ayat: “Kamu berbuat munkar di tempat perkumpulan”. Beliau menjelaskan, bahwa perkataan tersebut berarti mereka senang duduk-duduk sambil ngobrol di pinggir jalan. Kalau ada seseorang lewat, segera mereka menuduh yang bukan-bukan serta mengejek dan menghinanya.[1]

Penyimpangan-penyimpangannya begitu berat dan nyata, namun mereka tidak merasa bersalah, bahkan menentang keras orang yang menunjukinya.

Adakah kesamaan dengan sikap kaum Nabi Luth?

Menyimak kisah itu, kita mendapatkan kesan bahwa kaum Nabi Luth as yang membangkang itu benar-benar keterlaluan. Namun, ketika kita menengok kembali ke kondisi desa yang kita gambarkan di sini yaitu mengangkat Ki Lurah yang sifat-sifatnya cuekan dan seenak udelnya sendiri, disertai dengan antek-anteknya yang fanatiknya kepada Ki Lurah bersifat mbuh ra weruh (membabi buta), agaknya kita perlu merenung.

Apakah ada kesamaan antara gambaran warga desa tersebut dengan sikap buruk kaum Nabi Luth as itu?

Dalam daftar kejahatan kaum Nabi Luth as ada 4 kejahatan, seperti tersebut di atas. Mari kita runtut, kejahatan itu dilakukan pula oleh warga desa (gambaran) tersebut atau tidak.

Pertama, menentang aturan yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya. Kaum Nabi Luth as jelas-jelas menentang aturan agama. Sementara itu, warga desa yang dipimpin Ki Lurah, terutama para antek Ki Lurah itu mengandalkan ilmu kebal, entah pakai sihir, jimat, atau bantuan jin. Itu salah satu bentuk kemusyrikan, penentangan paling besar terhadap Allah SWT, hingga merupakan salah satu bentuk dosa terbesar. Jadi ada unsur kesamaan antara dua jenis orang (kaum Nabi Luth as dan muqollid fanatik Ki Lurah desa, hanya saja kalau kaum Nabi Luth as itu nabinya jelas baik, beda sama sekali dengan Ki Lurah), walau kadar dan jenis penentangan kaum itu terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya tampak berbeda dengan fanatikus Ki Lurah.

Mengenai kebiasaan buruk antek-antek Ki Lurah berupa ilmu kebal, sihir, santet, perdukunan, khurofat, takhayul dan bid’ah itu adalah pelanggaran-pelanggaran aqidah yang sangat besar dosanya.

Larangan sihir.
Nabi saw bersabda:

إجتنبوا السبع الموبقات. قالوا: يا رسول الله وما هي؟ قال: الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل مال اليتيم، وأكل الربا، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات.

“Ijtanibus sab’al muubiqoot. Qooluu: Yaa Rasuulalloohi wamaa hiya? Qoola:As-syirku billaahi, was-sihru, wa qotlun nafsillatii harromalloohu illaa bil haqqi, wa aklu maalil yatiimi, wa aklur ribaa, wat-tawallii yaumaz zahfi, wa qodzful muhshonaatil mu’minaatil ghoofilaati”.

“Jauhilah tujuh dosa besar yang merusak. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, apakah tujuh dosa besar yang merusak itu? Beliau menjawab: Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang oleh Allah diharamkan kecuali karena hak, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari peperangan, menuduh (berzina) terhadap perempuan baik-baik yang terjaga lagi beriman.”[2]

من نفث في عقدة فقد سحر، ومن سحر فقد أشرك.

“Man nafatsa fii ‘uqdatin faqod saharo, waman saharo faqod asyroka.”

“Barangsiapa meniup simpul (suatu ikatan yang biasa ditiup dalam bersihir) maka sungguh ia telah bersihir. Dan barangsiapa bersihir maka sungguh ia telah syirik/ menyekutukan Allah.”[3]

Larangan bertanya dan mempercayai tukang ramal dan tukang sihir ataupun dukun.

Nabi Saw bersabda:

من أتى عرافا أو ساحرا أو كاهنا فسأله فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد ص م.

“Man ataa ‘arroofan au saahiron au kaahinan fasa’alahu fashoddaqohuu bimaa yaquulu faqod kafaro bimaa unzila ‘alaa Muhammadin shallalloohu ‘alaihi wasallama.”

“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, atau tukang sihir, atau tukang tenung/ dukun lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya dan percaya terhadap apa yang dikatakannya, maka sungguh dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.” [4]

Larangan pakai ilmu kebal, jimat, tangkal:

Uqbah bin Amir meriwayatkan bahwa ada sepuluh orang berkendaraan datang ke Rasulullah saw. Yang sembilan dibai’at, tetapi yang satu ditahan. Mereka bertanya: Kenapa dia? Lalu Nabi saw menjawab: Sesungguhnya di lengannya ada tamimah (jimat/ tangkal)! Lalu laki-laki itu memotong jimatnya/ tangkalnya, maka ia dibai’at oleh Rasulullah saw kemudian beliau bersabda:

من علق فقد أشرك.

“Man ‘allaqo faqod asyroka”

“Barangsiapa menggantungkan (tangkal/ jimat) maka sungguh ia telah syirik.”[5]

Larangan memakai aji-aji:

وعن عمران بن حصين أن رسول الله ص م أبصر على عضد رجل حلقة أراه قال من صفر، فقال: ويحك ما هذه؟ فقال: من الواهنة. قال: أما إنها لا تزيدك إلا وهنا. إنبذها عنك فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا.
“Wa ‘an ‘Imran bin Hushain anna Rasuulalloohi saw abshoro ‘alaa ‘adhudi rojulin halaqotan aroohu qoola min shofarin, faqoola: “Waihaka maa hadzihi? Faqoola: Minal waahinah. Qoola: Ammaa innahaa laa taziiduka illaa wahnan. Inbidzhaa ‘anka fainnaka lau mutta wahiya ‘alaika maa aflahta abadan.”

Diriwayatkan dari Imran bin Hushain, sesungguhnya Rasulullah saw pernah melihat di lengan seorang lelaki ada gelang --yang saya lihat ia katakan dari (besi) kuningan-- maka beliau berkata: “Celaka kamu, apa ini? Lalu ia menjawab: Ini adalah termasuk wahinah (aji-aji untuk melemahkan orang lain). Maka beliau berkata: Adapun barang ini tidak akan menambahi kamu selain kelemahan; karena itu buanglah dia. Sebab kalau kamu mati sedang wahinah (aji-aji) itu masih ada pada kamu, maka kamu tidak akan bahagia selamanya.” [6]

Larangan tathoyyur/ klenik:

Tathoyyur yaitu mempercayai adanya kesialan dikaitkan dengan alamat-alamat seperti suara burung, tempat, waktu, orang atau anggota badan yang bergera-gerak/ kedutan dan sebagainya. Dianggapnya suara burung, hari-hari tertentu dan sebagainya itu sebagai alamat sial. Itu dikenal dengan istilah klenik, yaitu hitung-hitungan hari, alamat-alamat dari suara burung, barang jatuh, rumah menghadap ke arah ini atau di tanah itu dan sebagainya dipercayai sebagai pertanda sial ataupun keberuntungan.

Rasulullah saw bersabda:

ليس منا من تطير أو تطير له أو تكهن أو تكهن له أو سحر أو سحر له.

“Laisa minnaa man tathoyyaro aw tuthuyyiro lahu aw takahhana aw tukuhhina lahu, aw saharo aw suhiro lahu.”

Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang bertathoyyur (merasa sial akibat suara burung dsb dikaitkan dengan klenik) atau minta diramalkan sial untuknya, atau berdukun/ menenung atau minta ditenungkan, atau mensihir atau minta disihirkan.”[7] Kedua, kaum Nabi Luth as melakukan kekejian, yaitu homoseks. Sementara itu muqollid Ki Lurah desa? Ada yang mememperdaya wanita dengan dalih dinikahi, tapi hanya dipakai semalam, dan dengan cara pernikahan yang tidak sesuai dengan syari’at sama sekali. (Anehnya, ketika ada pengkritik Ki Lurah menulis bahwa muqollid Ki Lurah yang terkenal dengan skandal seksnya jadi provokator, tahu-tahu si skandal seks berteriak, saya tidak pernah jadi provokator. Teriakannya itu justru sama dengan mengumumkan diri bahwa dirinya memang si skandal seks. Lha dalah!). Ada yang mengaku jelas-jelasan akrab dengan artis-artis, yaitu jenis perempuian-perempuan yang tak bisa menjaga diri untuk tidak ikhthilat (bergaul campur aduk antara lelaki perempuan), dan kalau pergaulan sang muqollid Ki Lurah dengan artis-artis itu dipersoalkan orang justru ia sesumbar akan menyantetnya, tanpa mau tahu, dosa atau tidak. Ada yang blayangan dan blusak-blusuk (keluar masuk) ke daerah hitam, kemudian ketika mati malah dipuji-puji oleh Ki Lurah (waktu itu belum jadi lurah) bahwa lakon rekannya, Gus Anu yang dikenal sebagai penyelenggara sima’an Al-Qur’an namun suka nenggak bir dan blusak-blusuk serta akrab banget dengan wanita-wanita (istilahnya ayam-ayam) di daerah hitam itu merupakan lakon pergaulan “da’wah” (?) yang cukup baik. Pujian itu ditulis secara khusus di koran katolik terkemuka di halaman paling depan lima tahunan yang lalu. Pantas saja dia memuji, orang lakon si pemuji itu sendiri kemudian (setelah beberapa tahun berselang) kini kondang kaloko (masyhur) menjijikkannya, dengan bukti-bukti yang tidak pernah ia bantah. Maka pantaslah kalau dia sempat-sempatnya memuji-muji lakon rekannya yang menjijikkan tersebut sebagai pertanda ungkapan belasungkawa atas kematiannya, lewat koran kelompok non Islam yang dikenal sering sekali memberitakan apa saja tentang calon Ki Lurah ini, mungkin hanya kentutnya saja yang belum diberitakan. Tetapi misalnya tokoh ini mengalami koma, lalu bisa kentut, maka besar kemungkinan diberitakan pula, sebagaimana orang Bandung yang koma berhari-hari ternyata kentutnya diberitakan besar-besar di koran, 15 tahun lalu, karena dianggap pertanda siuman.

Meskipun demikian, tetap harus dibedakan, bahwa lakon buruk yang jenis ini bukan merata di kalangan pendukung Ki Lurah. Hanya orang-orang tertentu yang memang sifatnya doyanan saja. Jadi tidak bisa digebyah uyah (dipukul rata). Hanya anehnya, ketika ada tokoh-tokoh mereka yang lakonnya buruk seperti itu mereka diam saja, bahkan sebagian ada yang cenderung membela-bela dengan aneka dalih. Kadang-kadang dalihnya adalah: “Beliau itu wali, maka tidak seperti kita.” Itu satu pemahaman sangat salah, dan merupakan persoalan yang harus diberantas tuntas sampai seakar-akarnya.

Ketiga, menyamun, membegal, merampok, ngecu, nggedor. Barangkali dalam hal ini agak berbeda. Tingkah kaum Nabi Luth as memang vulgar, kasar, dan benar-benar tampak sekali jahatnya. Sedang antek-antek Ki Lurah desa tidak sejahat itu tampaknya. Hanya saja memang kadang-kadang ada yang doyanan juga. Tentu saja tidak semuanya. Tetapi bukti-bukti menunjukkan. Misalnya, dulu sekitar 40 tahun lalu kelompok Ki Lurah desa diberi beberapa bidang tanah oleh seorang gubernur Islam, Syamsurijal namanya. Teman yang berseberangan dengan kelompok Ki Lurah juga diberi tanah. Sama. Kenyataannya, teman yang berseberangan itu menggunakan tanah pemberian gubernur itu jadi rumah sakit Islam, Universitas Islam di Cempaka Putih Jakarta, dan satu lagi masjid dan yayasan pesantren Islam terkemuka di Kebayoran Baru Jakarta yang memiliki sekolah Islam unggulan bahkan punya cabang-cabang di kota-kota besar dan daerah-daerah. Meskipun banyak juga kekurangannya, misalnya murid-murid atau kini mungkin mahasiswinya (karena sudah punya universitas baru) tidak diwajibkan memakai pakaian muslimah, dibiarkan pakai pakaian kafir, dan itu merupakan salah satu dosa para pengurusnya tentu saja, namun dalam pembicaraan ini ada bukti nyata kesungguhan mereka dalam memanfaatkan tanah pemberian itu untuk kepentingan ummat. Tetapi, tanah-tanah yang diterima oleh kelompok Ki Lurah itu sekarang tidak ada ambunya (baunya). Apakah dimakan oleh orang yang sekarang sudah dimakan tanah atau jadi apa, wallahu a’lam.

Barangkali ya mudah saja dikilahi. Misalnya dengan kata-kata: Orang diberi, ya terserah saja. Mau dimakan kek, mau dijadikan ini atau itu kek, tidak ada soal. Dan kenapa situ yang sewot dan nyinyir? Orang yang memberi saja tidak mempersoalkan. Situ saja yang kurang kerjaan, hanya sukanya mengorek-ngorek borok orang. Dosa itu namanya, tahu?!

Kilah semacam itu bisa dimaklumi pula. Namun bukan begitu persoalannya. Semua itu ada pertanggung jawabannya. Amanat itu harus dipertanggung jawabkan. Sekalipun yang memberi tidak mempermasalahkan, namun anjing saja akan berterimakasih kepada tuannya yang memberi makan. Apalagi dalam kasus ini, yang satu bisa menggunakan tanah itu untuk pusat-pusat kegiatan Islami, yang manfaatnya tampak nyata. Sedang yang lain sama sekali tidak ada khabarnya, padahal kalau dilihat dari segi braoknya (kerasnya ngomong) ya cukup braok lah. Jadi dalam segala hal, pertanggungan jawab itu sangat penting. Apalagi masalah amanat yang harus dipertanggung jawabkan di depan ummat. Itu masalahnya. Jadi pengungkitan ini sekadar mengingatkan, ada hal-hal yang perlu dipertanggung jawabkan, di samping mengingatkan pula bahwa keadaannya seperti itu tingkat mutunya (baca: ketidak mutuannya). Dan ini bukan berarti membela yang satu. Buktinya, mereka tidak memberlakukan pakaian muslimah, saya semprot juga. Syukur-syukur mereka berubah, dan agak jeli sedikit terhadap aliran-aliran yang menyimpang, tidak asal tampung seperti yang lalu-lalu. Tetapi terakhir, Oktober 2000, ada kegiatan yang bagus di Yayasan Pesantren Islam di Kebayoran Baru Jakarta itu, yang menghabisi aliran-aliran sempalan dalam sebuah seminar yang banyak mendapat perhatian jama’ahnya. Syukurlah. Di saat maraknya aliran sesat di masa kepemimpinan Gus Dur sekarang ini masih ada kepedulian dari sebagian lembaga Islam yang peduli untuk memberantas aliran-aliran sesat, agar ummat tidak terseret arus kesesatan mereka. Mudah-mudahan pemberantasan aliran sesat itu dilaksanakan secara terus menerus dan sistematis.

Keempat, perkataan dan perbuatannya di tempat-tempat perkumpulan mereka sangat menjijikkan.

Kasus ini, kaum Nabi Luth as suka ngumpul-ngumpul di pinggir jalan, menggoda dan mengejek orang lewat, dan menuduh yang bukan-bukan. Kalau kelompok Ki Lurah ya cukup sesekali berkumpul untuk ronda menjaga kompleks pelacuran. Atau pemudanya tidak sedikit yang jadi centeng (tukang pukul) ketika orang lain lagi sibuk merayakan hari raya kekafiran mereka di rumah-rumah sesembahan mereka. Tidak tahulah. Berapa jumlahnya pemuda dari kelompok Ki Lurah yang mereka masih mencadangkan diri untuk jadi centeng di gereja-gereja pada tahun 2000. Khabarnya juga masih ada yang demikian, hanya saja beritanya tidak begitu menonjol, karena yang menonjol adalah berita adanya letusan bom di gereja-gereja di berbagai kota pada malam natal 2000. Di antaranya di Jakarta, Bandung, Mojokerto Jawa Timur, Mataram Nusa Tenggara Barat, dan Medan. Ada juga korban jiwa dan yang luka-luka. Saat tulisan ini dibuat, belum ada khabar jelas tentang siapa para pelaku pemboman secara serempak sekitar pukul 21 malam di berbagai kota itu, sebagaimana kasus-kasus bom sebelumnya, tak pernah terungkap tuntas. Hanya ada pernyataan dari pihak kepolisian bahwa diduga para pelakunya terorganisir rapi.

Adapun mengenai kelompok pemuda yang mengaku dirinya Muslim dan pernah ramai-ramai jadi centreng gereja, sampai pada peristiwa meledaknya bom di gereja-gereja itu belum ada larangan dari kelompok mereka untuk jadi centeng gereja. Mungkin bagi yang ingin jadi centeng berkilah, hitung-hitung cari obyekan untuk lebaran Idul Fitri tahun 1421H/ 2000M yang waktunya 27 Desember 2000M hanya beda dua hari dengan perayaan kafirin itu.

Berita tentang jadi centeng atau bahkan peindung dari tempat-tempat tertentu, memang sering terdengar. Misalnya, dalam hal kemunkaran lain berupa sekadar kumpul-kumpul dan konon jadi semacam pelindung (?) peredaran VCD-VCD yang isinya menjijikkan menurut aturan agama. Makanya ketika ada kasus pembakaran VCD di Kota -Jakarta, lalu ada berita bahwa kasus itu akibat adanya semacam perebutan lahan antar “para pelindung”. Atau mereka sekadar kumpul-kumpul dengan musuh-musuh Islam untuk ngrasani/ ghibah kejelekan orang Islam yang dianggap berseberangan dengan kelompoknya. Atau kumpul-kumpul di kuburan untuk melakukan kemusyrikan, bid’ah, khurofat dan aneka pelanggaran aqidah yang menjadi kegemaran kelompok mereka, dan kalau dibilangi malah lebih galakan mereka suaranya.

Tak semua begitu

Apakah tidak ada seorang lelakipun di antara kalian yang berakal cerdas?

Jawabnya, ada. Sebagian dari kelompok Ki Lurah itu juga ada yang sangat menentang kebrengsekan-kebrengsekan Ki Lurah dan antek-anteknya. Ada yang sampai berpayah-payah untuk menegakkan kebenaran bahwa acara do’a bersama antara Muslim dan kafirin itu haram. Jangan sampai ikut-ikutan acara yang diada-adakan oleh antek-antek Ki Lurah yang merusak aqidah itu. Contohnya, itu Kiai Basori Alwi dari Malang yang alumni Makkah itu benar-benar sungguh-sungguh menentang acara do’a bersama Muslim dan kafir. Bukan hanya pidato, khutbah, dan ceramah, tetapi juga menulis makalah, dan wawancara-wawancara dengan kiai-kiai Jawa Timur. Benar. Itu dilakukan pula oleh sebagian kelompok Ki Lurah. Jadi, kelompok Ki Lurah itu ada yang getol mengadakan acara bid’ah kubro berupa do’a bersama antara Muslimin dan kafirin, tapi ada juga yang sangat keras menentangnya.

Ki Lurah juga tahu bahwa tidak semua kaumnya itu menyetujui apa-apa yang dia canangkan. Masih banyak juga yang berpikiran jernih, dan tidak mau ikut-ikutan ngedan. Akibatnya, justru Ki Lurah makin menjelaskan jati dirinya yang mendua. Ketika Ki Lurah mendengar bahwa antek-anteknya mengamuk, mencoret-coret rumah orang, menggropyok orang, main keras-kerasan, main ancam dan sebagainya dengan tujuan membela mati-matian terhadap Ki Lurah, lalu Ki Lurah teriak: Jangan begitu! Itu tidak humanis, eh tidak Islami! Tetapi, sambungan kata Ki Lurah, berlawanan dengan apa yang baru saja meluncur dari mulutnya itu, yaitu kurang lebih: Meskipun demikian, dari sisi lain saya bisa memahami kemarahan antek-antekku itu! Karena niat orang-orang yang meledekku itu memang jahat!

Kalimat mendua dan sikap pemberhalaan

Lha dalah... Ngomong dua kalimat saja, yang satu ngalor yang satu ngidul. Itulah kebiasaan buruk Ki Lurah yang tak sembuh-sembuh, dan warga desa justru disuruh memahaminya, sedang antek-anteknya justru meniru-nirunya, dan menganggapnya sebagai sabdo pandito ratu yang harus ditaati dan diamalkan.

Maka keesokan harinya, antek Ki Lurah di lain tempat yang tadinya belum sempat melempari rumah rivalnya, langsung bertandang beramai-ramai mau menimpuki rumah rivalnya. Bahkan sampai merepotkan polisi. Sudah pada gede-gede kok mau berantem hanya demi membela Ki Lurah yang ucapannya mencla-mencle. Gara-gara ada sekelompok orang yang berparodi menirukan gaya mencla-menclenya Ki Lurah, maka antek-antek Ki Lurah mengamuk di mana-mana. Mestinya tidak usah mengamuk. Balas saja dengan menirukan gaya tokoh yang mereka sebali. Seperti kata Parni Hadi yang orang Jawa Timur namun berseberangan juga dengan sebagian orang Jatim itu, biar terjadi lomba parodi. Kan rame. Gitu aja kok marah. Sampai mencak-mencak, agar kelompok yang oknumnya ada yang berparodi ria itu dibubarkan saja organisasinya. Gampang amat. Sedangkan kompleks pelacuran yang jelas-jelas melanggar aturan Tuhan, aturan negara, dan bahkan aturan kesopanan manusia saja tidak mereka usulkan agar dibubarkan, malah tempo-tempo mereka (antek Ki Lurah) jaga, kok hanya ada oknum tertentu yang meniru-niru gaya Ki Lurah, lalu antek-antek Ki Lurah sesewot itu. Ungkapan saya ini bukan berarti membenarkan berlangsungnya pelacuran, tetapi maksud kalimat ini adalah: Mengecam sekerasnya terhadap sikap mereka yang sebegitu antagonis. Terhadap yang seharusnya mesti diberantas (pelacuran) malah mereka jagai dan pertahankan, namun terhadap yang tak seberapa pelanggarannya (kalau dibanding kemaksiatan yang dilokalisir) malah mereka hajar habis-habisan. Sikap seperti itu sudah mengarah kepada pemberhalaan terhadap Ki Lurah, sekaligus mengecilkan nilai-nilai sakral agama yang harus dijunjung tinggi. Memberantas pelacuran adalah wajib, tetapi justru mereka bela kelangsungannya. Sebaliknya, mereka justru mengaku tersinggung berat ketika “berhalanya” ditirukan orang gayanya.

Barangkali memang cara berfikir sebagian antek-antek Ki Lurah itu sudah berada di luar jalur keumuman manusia. Contohnya, ada 3 mahasiswa dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, satu organisasi di lingkungan NU/ Nahdlatul Ulama), salah satu pergerakan di bawah organisasi kelompok Ki Lurah, yang hanya pakai cawet (celana dalam pembungkus itu barang), mereka beraksi di Gedung DPR/MPR. Lalu ketiga pemuda yang berbugil ria hanya pakai cawet itu mengguyurkan cat merah dan hitam ke sekujur tubuhnya, lalu berguling-guling di lantai selama 20 menit. Hingga lantai yang seringkali dipel itu menjadi belepotan cat. Setelah mereka selesai mempertontonkan lakon yang tujuannya untuk mendukung Ki Lurah dengan model tak tahu malu, mengumbar aurat dan bertingkah aneh seperti itu pada 9/11 2000, lalu mereka duduk-duduk dan nglepus merokok. (Lihat Koran Warta Kota, 10/11 2000). Itu lakon apa sebenarnya. Sulit dicerna akal. Padahal, di dalam Islam, berbuat yang mubah (boleh dilakukan) saja kalau tak ada guna bagi dirinya maka lebih baik ditinggalkan. Lha kok ini mengadakan dukungan kepada bossnya dalam bentuk yang melanggar kesopanan sama sekali, dan tak masuk akal, serta menunjukkan kekonyolan yang menjijikkan dan merugikan umum, karena Gedung DPR/MPR itu tempat umum. Sedangkan mahasiswa mestinya lebih mengedepankan otak daripada kekonyolan.

Kenapa ketidak mutuan kelompok Ki Lurah ditonjol-tonjolkan di tulisan ini? Mungkin ada yang protes demikian, dengan dalih: Ini namanya mencari-cari kesalahan. Bukankah kelompok lain juga banyak sekali yang salah dan konyol, dan bahkan merugikan?

Pertanyaan itu seolah bagus. Tetapi perlu diingat, kaitan dalam persoalan ini adalah kepemimpinan yang dinilai tidak efektif, tidak terasa manfaatnya, bahkan hanya pemborosan dana untuk kesenangan plesiran ke mana-mana, ke luar negeri. Sementara itu persoalan yang timbul di masyarakat makin menumpuk, makin ruwet, makin semrawut; tetapi tidak dibenahi. Jadi, kepemimpinan Ki Lurah seakan menambah masalah, masih ditambah dengan masalah-masalah yang diperbuat oleh pendukung-pendukung fanatiknya yang tak kalah serunya dalam menambah masalah. Jadi keadaannya kan hanya menumpuk-numpuk masalah. Bagaimana seorang dokter mau mengobati orang sakit, kalau dokter itu sendiri malahan sumber penyakit, sedang pembela-pembelanya pun orang-orang yang berpenyakit?

Tanpa hasil, malah makin parah

Sudah tidak adakah seorang lelaki pun yang punya pikiran cerdas?

Ada. Tetapi karena bukan dari kalangan pendukung Ki Lurah, maka setiap bicaranya kemudian dianggap sebagai ingin menggoyang kedudukan Ki Lurah. Padahal, sudah terbukti, selama satu tahun lebih Ki Lurah menduduki jabatan, belum ada hasil yang bisa dianggap sebagai tanda-tanda memecahkan persoalan. Justru persoalan makin menumpuk, makin berat, dan makin tidak keruan. Sementara itu yang makin keblangsak makin banyak. Anak-anak yatim yang makin terlantar dan kelaparan makin banyak.(Apalagi justru Ki Lurah membubarkan lembaga resmi yang mengurusi anak-abak yatim, hingga banyak panti asuhan anak yatim terutama milik Ummat Islam sangat kesulitan dana. Sementara itu dari pihak kafirin ada yang kaya dana, konon dari luar negeri atau dari perusahaan-perusahaan pendukung kafirin. Sehingga, bisa diduga keras, politik Ki Lurah membubarkan lembaga resmi yang mengurusi panti asuhan itu adalah salah satu bentuk pemurtadan, karena pihak kafirin yang aktif mengadakan pemurtadan itu lebih leluasa mengoperasikan dananya terutama untuk kalangan anak-anak yatim. Dengan demikian, Ki Lurah baik sadar ataupun tidak, telah mendukung program pemurtadan itu). Pengemis di bus-bus, di jalan-jalan dan di tempat-tempat umum makin banyak. Kerusuhan, bunuh-bunuhan makin banyak. Tawuran antar pelajar, antar kampung, antar mahasiswa, antar kelompok makin banyak. Kemaksiatan, tayangan-tayangan porno, tempat-tempat maksiat yang menjajakan kekejian dan kemerosotan moral makin menjamur/ banyak, kaset video porno, perjudian, obat-obat terlarang, minuman keras, penyakit kelamin, aborsi/ pengguguran kandungan, penipuan, penjambretan, penyembahan kuburan, nyanyian-nyanyian sholawat ghuluw (kelewat batas), kemusyrikan, perdukunan, aliran-aliran sesat; semuanya makin menjamur, tumbuh dengan subur.

Sebaliknya, masjid-masjid makin sepi jama’ah. Pengajian makin surut, kecuali yang model-model bid’ah mungkin makin bertambah subur. Kemampuan mendalami agama makin berkurang. Orang yang bicara ngawur tentang agama makin banyak. Justru barisan depan paling ngawur adalah Gus Dur pula. Contohnya, MUI (Majelis Ulama Indonesia) memfatwakan haramnya Ajino Moto. Fatwa itu dikeluarkan setelah MUI mengadakan pengujian tentang proses pembuatan bumbu masak Ajino Moto, yang ternyata pembibitan bakteri untuk fermentasi (peragian) Ajino Moto itu memakai lemak babi. Maka MUI memfatwakan, Ajino Moto hukumnya haram. Namun tak lama kemudian, Gus Dur yang jadi presiden RI itu mengatakan bahwa Ajino Moto adalah halal, dan ia katakan urusannya selesai. Keruan saja masyarakat jadi bingung seusai Idul Fitri 1421H / akhir tahun 2000M itu. Sedang kecaman atas kengawuran Gus Dur pun makin ramai. Istilah Jawa mengibaratkan “Wis kebak sundukane” (sudah penuh tusukannya, artinya sudah banyak sekali data-data jeleknya, tinggal terbongkarnya).

Gejala omong ngawur itu makin menjadi-jadi. Sampai-sampai pendukung fanatik Gus Dur, yaitu KH Noer Muhammad Iskandar SQ, (yang pernah heboh karena perkawinan semalam tanpa wali tanpa saksi tempo dulu dengan Dewi Wardah janda almarhum Amir Biki korban penembakan Tanjung Priok 1984) berpidato di Kebumen Jawa Tengah dalam rangka halal bi halal (acara ini sendiri tidak ada tuntunannya dalam Islam) dengan warga NU. Kiai Noer Iskandar itu dikhabarkan menyebut nama Amien Rais (ketua MPR) dan Akbar Tanjung (Ketua DPR) serta kaitannya dengan darah yang halal. Hingga ucapan itu jadi kontroversi. Sebagian orang menafsirkan bahwa darah Amien Rais dan Akbar Tanjung di mata sang kiai dan warga NU sangat halal. (Tabloid Aksi, No 306, 25-31 Januari 2001 hal 12).

Dalam wawancara dengan Tabloid Aksi itu sendiri Noer Iskandar juga tampak berkata ngawur sekali. Saat itu masih terngiang kengawuran Gus Dur yang menghalalkan Ajino Moto yang diharamkan MUI, namun Noer Iskandar justru mengaitkan pembelaan terhadap Gus Dur dengan tiket surga. Berikut ini petikan wawancara yang menunjukkan tiket surga:

Wartawan Tabloid Aksi bertanya:

Kok, Banser sangat antusias sekali membela Gus Dur?

KH Noer Muhammad Iskandar SQ menjawab:

“Itulah saya katakan, orang supaya mengerti, Gus Dur itu simbol ulama. Dalam keyakinan kami, mencintai ulama itu bagian dari tiket surga.” (Tabloid Aksi, 25-31 Januari 2001, hal 12).

Di samping isi ucapan Noer Iskandar itu sangat kontroversial, masih pula ia membuat istilah yang tidak pernah dikenal dalam Islam. Apakah ada istilah “tiket surga” dalam Islam, wahai Pak Kiai? Mana ada ayat atau hadits yang menyebutkan dengan istilah tadkirotul jannah (karcis surga). Lagi pula, untuk mendapatkan “tiket surga” yang diada-adakan oleh Kiai Noer Iskandar itu di antaranya dengan cara “sangat mendukung Gus Dur”. Waduh-waduh... ini Pak Kiai sedang jualan “tiket surga” .... Betapa beraninya, sebagaimana Dajjal juga berani menawarkan surganya untuk mencari pengikut. Padahal sebenarnya justru neraka lah bagian bagi siapa yang mengikuti Dajjal itu.

Pengarahan ke arah yang belum jelas kebenarannya alias ngawur-ngawuran seperti itu, kadang sampai mengorbankan nyawa, yang nilainya kontroversial pula. Sebagaimana pengerahan Banser untuk menjaga gereja-gereja (bahkan pernah pula menjaga tempat pelacuran terbesar di Surabaya, Januari 2000), yang ternyata karena tidak pernah dihentikan oleh para penggede NU, akibatnya Allah peringatkan mereka dengan matinya salah seorang Banser ketika menjaga gereja lantas kena bom. Berikut ini beritanya:

Banser Mati Kena Bom di Gereja Mojokerto
Bom meledak di sekitar 22 gereja di 10 kota se-Indonesia terjadi pada Malam Natal 2000, Ahad malam 24 Desember 2000 sekitar pukul 21.

Menurut Republika, pada waktu itu, secara serentak bom meledak di 22 gereja pada 10 kota. Hampir semuanya adalah gereja Katolik. Chandra Tirta Wijaya (16) yang meninggal Sabtu 6/1 2001 adalah korban ke-20 yang meninggal, termasuk seorang anggota Banser yang demi solidaritas keagamaannya ikut menjaga Gereja Eben Heizer, Mojokerto, Jawa Timur. (Tajuk Republika, “Korban itu pun meninggal”, Senin 8 Januari 2001, halaman 6).

Kota-kota yang dikhabarkan diguncang bom di dekat gereja-gereja adalah Jakarta, Bandung, Medan, Mojokerto, dan Mataram NTB.

Demikianlah. Aneka kengawuran, baik berupa omongan maupun tindakan, makin banyak. Pidato-pidato agama yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah pun makin banyak.

Ki Lurah dan pendukung-pendukungnya harus memikul semua itu untuk mempertanggung jawabkan segala kerusakan di masyarakat yang sudah separah itu. Bagaimanapun, kebobrokan yang sudah sangat parah seperti sekarang ini tidak mungkin bisa dibenahi oleh orang-orang yang sifat dan sepak terjangnya model Ki Lurah dan pendukung-pendukungnya. Sebagaimana tidak mungkin mencuci kain kotor dengan air yang tidak bersih. Justru tambah tidak bersih pula. Lantas, untuk mencuci, apakah kita harus menunggu musim hujan tiba, ketika kain kita kotor semua di waktu kemarau? Apakah harus menunggu tahun tertentu, untuk menjadikan masyarakat ini terbebas dari aneka kotoran itu?

Secara mudah, masyarakat awam pun tahu. Orang yang sakit kencing manis sudah kronis, kalau kakinya luka dan ada tanda-tanda makin membusuk, maka harus segera kaki busuk itu diamputasi atau dipotong. Kalau tidak, maka sekujur tubuh akan busuk semua. Demikian pula, gejala masyarakat ini makin membusuk. Dan faktor yang menjadikan pembusukan itu sudah jelas. Maka, menunggu apalagi, kalau tidak kita potong saja seluruh unsur yang menjadikan pembusukan itu. Apakah kita akan menunggu busuknya sekujur tubuh masyarakat ini semua, baru kita akan berbenah? Sudah terlanjur, nantinya, tidak bisa lagi dibenahi. Itu yang perlu dikhawatirkan.

Apakah tidak ada seorang lelaki pun yang berfikiran sehat di antara kalian?

Mari kita jawab bersama, apakah memang keadaannya sudah seperti itu. Dan mari kita camkan hadits berikut ini:

ليس منا من دعا إلى عصبية ، وليس منا من قاتل على عصبية ، وليس منا من مات على عصبية.

“Laisa minnaa man da’aa ilaa ‘ashobiyyatin, walaisa minnaa man qootala ‘alaa ‘ashobiyyatin.walaisa minnaa man maata ‘alaa ‘ashobiyyatin.”

Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang mengajak kepada ashobiyah (fanatik golongan, suku, bangsa, kelompok dsb, pokoknya selain fanatik Islam). Dan bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang berperang atas dasar ashobiyah. Dan tidak termasuk golongan kami pula, siapa saja yang mati atas dasar ashobiyah.” [8]

Sadarlah wahai para pendukung Ki Lurah. Kalau sampai pada tingkat yang disinyalir oleh hadits tersebut lakon kalian, maka betapa ruginya. Maka mari kita bertobat, dan buanglah berhala itu jauh-jauh. Untuk apa dia.



--------------------------------------------------------------------------------

[1]HR Imam Ahmad, Turmudzi, Thabrani, dan Imam Al-Baihaqy, sebagaimana dikutip dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 20, hal 465.

[2] (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasaai, dari Abu Hurairah, shahih).

[3] (HR At-Thabrani dengan dua sanad, salah satu dari dua rawi-rawinya terpercaya).

[4] HR Al-Bazzar dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid.

[5] HR Ahmad dan Al-Hakim, dan lafadh itu bagi Al-Hakim, sedang periwayat-periwayat Ahmad terpercaya.

[6] (HR Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya; dan Ibnu Majah tanpa lafal “buanglah dst...”).

[7] (HR At-Thabrani dari Ibnu Abbas dengan sanad hasan).

[8] (HR Abu Dawud dari Jubair bin Math’am, berderajat hasan, dalam Faidhul Qadir no. 7684).

Tidak ada komentar: