Catatan Kecil : Bughat, Pasukan Berani Mati, Santet, dan Gus Dur Malaikat

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Bughat, Pasukan Berani Mati, Santet, dan Gus Dur Malaikat

Pembelaan orang-orang NU terhadap Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dari goyangan yang ingin menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan karena dianggap kepemimpinannya menimbulkan berbagai masalah dan tidak ada tanda-tanda kebaikan, tampaknya diujudkan dengan aneka macam. Dan pembelaan itu sendiri kelihatannya tidak perduli lagi, entah benar entah salah, pokoknya asal membela.

Bentuk-bentuk pembelaan itu di antaranya ada yang sesumbar mau menyantet, ada yang kiyai-kiyainya kumpul-kumpul untuk mencarikan hukum pakai kitab-kitab kuning (kitab berbahasa Arab biasanya kertasnya berwarna kuning) supaya para penggoyang Gus Dur yang menginginkan Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan itu dihukumi sebagai bughot (pemberontak). Kalau sudah dihukumi bughat, maka pemerintahan Islam boleh memeranginya.

Dikhabarkan, sekitar 20 ulama NU Jawa Timur, Senin (19/3 2001), membahas hukum agama tentang bughat. Mereka menilai situasi politik yang ada sudah menjurus ke arah bughat kepada pemerintahan yang sah. Pertemuan dipimpin Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim, KH Ahmad Subadar. (Republika, 20/3 2001).

Weleh-weleh.... Orang NU itu mendirikan partai PKB –Partai Kebangkitan Bangsa-- saja tidak doyan asas Islam, dan Gus Dur sendiri menganggap kalau Islam dilegalkan atau diformalkan itu berbahaya, kok malah para Kiyai NU Jawa Timur capek-capek ramai-ramai membuka kitab kuning untuk mencari hukum bughat (pemberontak bersenjata terhadap pemerintahan Islam yang sah). Apa mereka lupa bahwa Gus Dur itu memerintah sama sekali tidak memakai syari’at Islam, dan bahkan jelas tidak doyan syari’at Islam? Mestinya, dulu-dulu orang NU itu memperjuangkan syari’at Islam, baru kemudian kalau ada yang memberontak pada pemerintahan yang menjalankan syari’at Islam dicarikan hukum Islamnya yang judulnya bughat. Itu baru namanya para kiyai atau rombongan ulama. Tapi ini sudah sejak semula justru tidak doyan syari’at, tahu-tahu ketika dirasa kepemimpinannya dhalim dan tidak efektif lantas digoyang orang, maka yang menggoyangnya mau dicap sebagai bughat, dan sudah lebih dulu mengirimkan Pasukan Berani Mati (PBM) demi membela Gus Dur dan melawan penggoyangnya yang mereka sebut bughat.

Mereka menolak kalau Syari’at Islam ditegakkaan. Tetapi mereka ingin mengklaim bahwa orang yang menggoyang kepemimpinan Gus Dur itu sebagai bughat, ini adalah sikap yang nyata-nyata menirukan sikap Yahudi yang telah dikecam oleh Allah SWT:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Qiyamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah: 85).

Apa itu Bughat?

Bughat atau bughoh adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan.

Kata bughoh jama’ dari baaghin artinya seorang penantang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata.[1]

Yang dikatakan kaum bughat, ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin rakyat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya. Adapun cara memberontak ialah dengan:

a. Memisahkan diri dari wilayah kekuasaan Imamnya.

b. Atau menentang kepada keputusan Imam, atau menentang perintahnya dengan jalan kekerasan senjata.

Orang-orang golongan manusia yang disebut bughat itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Mempunyai kekuatan bala tentara serta senjatanya untuk memberontak Imamnya.

2. Mempunyai pimpinan yang ditaati oleh mereka.

3. Mereka berbuat demikian, disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontaknya itu menjadi keharusan baginya.

Adapun yang dikatakan Imamul Muslimin, ialah pemegang pemerintahan umum bagi kaum Muslimin, mengenai urusan agama dan urusan kenegaraannya dan dia diangkat berdasarkan bai’at (kesetiaan) dari masyarakatnya, entah langsung atau melalui wakil-wakilnya, yaitu: Para ulama, cendekiawan, dan para terkemuka yang disebut: Ahlul Hilli wal ‘aqdi. Pengangkatan Imam dianggap cukup dengan perantaraan mereka, karena mereka itu mudah untuk berkumpul dalam satu tempat, sehingga segala persoalan mudah diatasi/ diselesaikan.[2]

Kaum Bughat bisa ditumpas dengan jalan:

a. Mula-mula Imam mengutus utusannya untuk menghubungi mereka guna meminta alasan sebab-sebabnya mereka memberontak. Hal ini sebagaimana tindakan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dalam mengutus Ibnu Abbas untuk menghubungi golongan Nahrawan.

b. Kalau disebabkan karena Imamnya berbuat kedzaliman, hendaknya Imam itu meninggalkan/ merobah perbuatannya itu supaya menjadi baik.

c. Kalau Imam itu tidak merasakan bahwa dia itu tidak berbuat dhalim, hendaknya diadakan pertukaran fikiran antara Imam dengan pemimpin mereka (pemberontak).

d. Kalau mereka terus membandel, Imam berhak memberikan ultimatum kepada mereka, dengan akan diadakannya tindakan tegas, bila mereka tidak segera menyerahkan diri.

e. Kalau mereka terus membandel juga, Imam berhak untuk mengadakan tindakan dengan kekerasan senjata pula sebagai imbangan kepada perbuatan mereka.

Firman Allah:

“Kalau dua golongan dari golongan orang-orang Mukmin mengadakan peperangan, maka damaikanlah antara keduanya. Kalau salah satunya berbuat menentang perdamaian kepada lainnya, maka perangilah orang-orang (golongan) yang menentang itu sehingga mereka kembali ke jalan Allah. Kalau mereka kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan memang harus berbuat adillah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah itu mencintai pada orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujuraat: 9).[3]

Kekhususan dalam Menghadapi Bughat

Imam Al-Mawardi menjelaskan ada 8 perbedaan antara memerangi para pemberontak kaum Muslimin dengan memerangi orang-orang Musyrik dan orang-orang murtad.

1. Peperangan terhadap para pemberontak kaum muslimin dimaksudkan untuk menghentikan pemberontakan mereka dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka. Di sisi lain dibenarkan peperangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang murtad dimaksudkan untuk membunuh mereka.

2. Para pemberontak kaum muslimin baru boleh diserang, jika mereka maju menyerang. Jika mereka mundur dari medan perang, mereka tidak boleh diserang. Di sisi lain, diperbolehkan menyerang orang-orang musyrik dan orang-orang murtad; mereka maju menyerang atau mundur.

3. Orang-orang terluka dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain diperbolehkan membunuh orang-orang terluka dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad. Pada Perang Jamal, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu memerintahkan penyerunya untuk berseru dengan suara keras, “Orang yang telah mundur dari medan perang tidak boleh diserang, dan orang yang terluka tidak boleh dibunuh.”

4. Tawanan-tawanan yang berasal dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain tawanan-tawanan dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad boleh dibunuh. Kondisi tawanan perang dari para pemberontak harus diperhatikan dengan cermat ; jika ia diyakini tidak kembali berperang (memberontak), ia dibebaskan. Jika ia diyakini kembali berperang (memberontak), ia tetap ditawan hingga perang usai. Jika perang telah usai, ia dibebaskan dan tidak boleh ditawan sesudah perang. Al-Hajjaj pernah membebaskan salah seorang tawanan dari sahabat-sahabat Qathri bin Al-Fuja’ah, karena keduanya saling kenal. Al-Qathri berkata kepada tawanan tersebut, “kembalilah berperang melawan musuh Allah, Al-Hajjaj.” Tawanan tersebut menjawab, “Aduh, kalau begitu dua tangan orang yang telah dibebaskan telah berkhianat, dan memperbudak leher orang yang membebaskannya!”

5. Harta para pemberontak tidak boleh diambil, dan anak-anak mereka tidak boleh disandra. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

منعت دار الإسلام ما فيها، وأباحت دار الشرك ما فيها.

Dilindungi apa saja yang ada di negara Islam, dan dihalalkan apa saja yang ada di negara musyrik.
6. Dalam memerangi para pemberontak, negara Islam tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir muahid (yang berdamai dengan kaum muslimin), atau orang kafir dzimmi (kafir yang berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin dengan membayar jizyah dalam jumlah tertentu), kendati hal tersebut dibenarkan ketika negara Islam memerangi orang-orang musyrik, dan orang-orang murtad.
7. Negara Islam tidak boleh berdamai dengan mereka untuk jangka waktu tertentu dan juga tidak boleh berdamai dengan mereka dengan kompensasi uang. Jika komandan perang pasukan Islam berdamai dengan mereka dalam jangka waktu tertentu, ia tidak harus memenuhinya. Jika ia tidak sanggup memerangi mereka, ia menunggu datangnya bantuan pasukan untuk menghadapi mereka. Jika ia berdamai dengan mereka, dengan kompensasi uang, maka perdamaian batal, dan uang perdamaian diperhatikan dengan baik; jika uang tersebut berasal dari fai’ mereka atau berasal dari sedekah (zakat) mereka, maka uang tersebut tidak dikembalikan kepada mereka, kemudian sedekah (zakat) tersebut didistribusikan kepada para penerimanya dari kaum muslimin, dan fai’ dibagi-bagikan pada penerimanya. Jika uang perdamaian murni dari mereka, uang tersebut tidak boleh dimiliki pasukan Islam dan harus dikembalikan kepada mereka.
8. Pasukan Islam tidak boleh menyerang mereka dengan menggunakan senjata al-arradat (senjata pelempar batu), rumah-rumah mereka tidak boleh dibakar, kurma-kurma dan pohon-pohon mereka tidak boleh ditebang, karena itu semua berada di dalam negara Islam yang terlindungi, kendati warganya memberontak.[4]
Demikianlah pengertian tentang bughat atau pemberontak Muslim di negeri yang pemerintahannya Islam. Perlawanan para pemberontak pemerintahan Islam itu sendiri apabila pemerintahnya dhalim, masih jadi pembicaraan, sebagai berikut:

Prof TM Hasbi As-Shiddieqy mengemukakan kaidah sebagai berikut:

“Tidak boleh kita menentang pemerintah atau kepala negara selama mereka belum melahirkan kufur yang nyata.”

Demikian pendapat Jumhur Ulama. Setengah ulama membolehkan, bahkan mewajibkan rakyat menentang kepala negara yang lalim, walaupun belum nyata kufurnya.[5]

Dalam kaidah itu, pemerintahan Islam yang sah saja kalau penguasanya dhalim maka sebagian ulama membolehkan bahkan mewajibkan rakyat menentangnya. Lantas, bagaimana bisa pemerintahan Gus Dur yang sama sekali tidak doyan Islam itu mau didukung-dukung oleh orang-orang NU yang mencari-cari hukum bughat dan akan ditimpakan kepada para penentang Gus Dur yang dinilai dhalim? Bahkan sudah ada 500-an orang yang menyebut dirinya Pasukan Berani Mati (PBM) demi Gus Dur didatangkan dari Jawa Timur ke Jakarta.

Pasukan Berani Mati demi Gus Dur
Massa Pro Gus Dur masuk lagi ke Jakarta. Mereka dibekali berbagai jimat dan ilmu. Di antara pendukung Gus Dur yang memiliki daya linuwih (melebihi orang biasa) itu adalah Pasukan Berani Mati dari Banyuwangi. Pasukan berani Mati (PBM) yang dikomandani oleh Abdul Latief tersebut mulai bergerak melalui jalur darat dari Banyuwangi pada hari Minggu (18 Maret 2001). Bila gelombang pertama jumlahnya hanya 500 orang, diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah. Pasalnya, di Banyuwangi sendiri sempat beredar formulir pernyataan kesiapan mati demi membela Gus Dur.[6]

Apa yang dilakukan pendukung Gus Dur itu paling kurang ada 2 pelanggaran besar terhadap Islam. Pertama, mereka pakai jimat. Kedua, mereka siap mati demi Gus Dur.

Masalah jimat, ada larangannya, jelas:

من تعلق تميمة فقد أشرك.

“Barangsiapa menggantung-gantungkan jimat maka sungguh benar-benar dia telah syirik—menyekutukan Allah, dosa terbesar-- . (Hadits Riwayat Ahmad).

إن الرقى والتمائم والتولة شرك. قالوا يا أبا عبد الرحمن هذه الرقى والتمائم قد عرفناها، فما التوالة؟ قال: شيء يصنعه النساء يتحببن به إلى أزواجهن.

" Sesungguhnya tangkal, azimat, dan tiwalah itu adalah kemusyrikan. Para sahabat kemudian bertanya: Wahai Abu Abdir Rahman, tangkal (mantra-mantra) dan jimat itu kami telah tahu, tetapi apakah yang namanya tiwalah itu? Ia menjawab: Tiwalah (pelet) adalah sesuatu yang dibuat oleh para wanita supaya dengan tiwalah (pelet) itu dicintai oleh suami-suami mereka.” (HR Ibnu Hibban dan Hakim).

Larangan memakai aji-aji, kekebalan atau supaya dogdeng (tidak mempan dibacok):

عن عمران بن حصين رض. أن النبي ص م. رأى رجلا في يده حلقة من صفر فقال : ما هذه ؟ قال من الواهنة. فقال : انزعها فإنها لا تزيدك إلا وهنا فإنك لو مت وهي عليك ما أفلحت أبدا. (رواه أحمد بسند لا بأس به).

“Dari Imran bin Hushain ra dinyatakan, “Bahwa Nabi melihat seorang laki-laki memakai gelang kuningan di tangannya. Beliau bertanya, “Apakah ini?” Orang itu menjawab: “Penolak lemah”. Maka bersabda Nabi kepada orang itu, “Tanggalkanlah gelang itu, karena ia tidak akan menambah kamu kecuali kelemahan, dan apabila kamu mati sedangkan ia masih di tanganmu, tentulah engkau tidak akan selamat selama-lamanya.” (HR Ahmad dan Al-Hakim dengan sanad laa ba’sa bih).

Adapun Pasukan Berani Mati demi Gus Dur, maka mereka itu jelas-jelas keberaniannya itu merupakan tingkah yang diingkari oleh Rasulullah saw dan pelakunya tidak diakui sebagai golongan umat Nabi Muhammad saw. Sedang kalau mati, maka ia tidak termasuk golongan umat Nabi Muhammad saw.

ليس منا من دعى إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية. (رواه أبو داود).

“Tidak termasuk (golongan) kami, orang yang menganjurkan ‘ashobiyah (fanatisme kekabilahan, golongan dan sebagainya, pen) dan tidak termasuk (golongan) kami, orang yang berperang membela fanatisme kekabilahan, dan tidak termasuk (golongan) kami, orang yang mati mempertahankan fanatisme kekabilahan.” (HR Abu Dawud).

Anehnya, yang menyerukan untuk berbuat seperti itu, bahkan yang mengisi jimat, kekebalan, atau ilmu yang dianggap bisa mendatangkan bala’ terhadap lawan itu justru para kiyai NU. Buktinya, KH Noer Muhammad Iskandar SQ tokoh NU, dalam suatu wawancara dengan terus terang mengakuinya:

Pertanyaan: Ilmu tersebut dimiliki lewat jimat atau benda apa?

Jawab KH Noer Muhammad Iskandar SQ: Ada yang memang bentuk ajimat, tapi kalau di pesantren kebanyakan mereka ambil dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kata Nabi dulu, orang dengan membaca bismillahir rahmanir rahiem sebanyak 113 kali bisa berjalan di atas air. Nah, sebagaimana dengan membaca ayat sebanyak itu, kita bisa memiliki kekuatan tersebut. Tentu ada proses-proses lainnya.

Pertanyaan: Tekanan terhadap anggota DPR oleh massa Pro Gus Dur tampaknya juga menggunakan cara lain, misalnya, adanya Pasukan Berani Mati. Kekuatan itu diperoleh dari mana?

Jawab KH Noer Iskandar SQ: Sebenarnya dalam dunia pesantren, ilmu-ilmu semacam itu tidak aneh lagi. Karena para santri yang umumnya mendalami berbagai macam kitab agama, juga dibekali ilmu kekebalan tubuh. Kekuatan itu akan muncul sesuai dengan batin mereka sendiri.... Di samping itu, ada juga yang mendapatkan ilmu dari para ulama khos.

Apakah ada syarat khusus?
Jawab: Biasanya mereka memperolehnya sebelum menikah, karena pada saat sebelum menikah itu ujian dan godaannya sangat berat. Kalau mereka lulus, ya ilmu itu memang cocok untuk dirinya. Di samping itu, syarat yang tak kalah penting adalah mereka mesti taat dan patuh atas perintah gurunya. Mereka itu, istilahnya nyantri. Artinya, mereka mengabdikan dirinya pada guru-gurunya itu. Batas pengabdian itu tergantung gurunya. Ada yang cuma 40 hari, tapi ada yang sampai berpuluh-puluh tahun. Makin lama dia nyantri sama gurunya, biasanya tingkat kesempurnaan itu makin baik. Dan sulit ditandingi orang lain, kecuali gurunya sendiri. (Tabloid Aksi, vol 5 no. 314, 22-28 Maret 2001, halaman 6).

Betapa ngerinya mendengar jawaban Kyai Noer Iskandar itu. Justru yang menyebarkan ilmu kebal yang telah dilarang dalam Islam itu para Kiyai pesantren lingkungan NU. Masih pula Kiyai Iskandar menimpakannya kepada Nabi saw seolah beliau adalah seperti para kiyai yang pada hakekatnya adalah dukun-dukun itu. Na’udzubillahi min dzalik. Mau dikemanakan orang-orang NU ini oleh para Kiyai dukun yang menyebarkan perdukunannya di pesantren-pesantren dengan memperbudak santri-santrinya sampai berpuluh-puluh tahun untuk mengabdi pada sang kiyai-kiyai dukun hanya agar menjadi orang yang tidak termasuk ummat Nabi Muhammad saw itu?

Tidak mengherankan, hasilnya seperti pengakuan Komandan Lapangan PBM (Pasukan Berani Mati) --demi Gus Dur--, Arifin Salam dalam wawancara seperti berikut ini:

T: Apa sebenarnya tujuan anda datang ke DPR/ MPR?
J: Kami datang sebenarnya dalam rangka menggugat sekaligus minta memorandum itu dicabut. Oleh karena itu kami datang bukan untuk dukung-mendukung Gus Dur. Jadi kami datang untuk menegakkan perbuatan-perbuatan yang merusak konstitusi.

T: Maksudnya bagaimana?
J: Kami bersedia mati untuk tegaknya konstitusi. Kami teriak-teriak bukan hanya berani dalam ruangan, tapi ini benar-benar murni untuk konstitusi yang telah ditegakkan para pendiri bangsa ini. Oleh karena itu, kepergian saudara-saudara ini dari tempat yang jauh sudah direlakan isteri-isterinya. Bahkan, isteri-isteri mereka sudah siap menjadi janda.

T: Apakah kalau mati ada jaminan bahwa kubu Gus Dur akan merawat anak isteri Anda?

J: Bukan itu persoalannya, kami datang ke sini untuk memerangi pemberontak. Dan memerangi bughat (pemberontak) itu hukumnya mati syahid. Yang saya maksud para bughat itu adalah mereka yang mengacak-acak konstitusi.

T: Siapa yang anda maksud dengan bughat yang halal untuk diperangi?
J: Pelaku-pelaku bughat itu mereka yang melecehkan dan menghancurkan konstitusi, misalnya Amien Rais.Tapi bukan dia saja, lho, semua yang termasuk bughat itu mesti diperangi.

T: Berarti target dari pasukan Berani Mati ini adalah Amien Rais?
J: Bukan itu maksudnya. Tapi sejauh mana wakil rakyat ini bisa menjalankan fungsinya, sehingga tidak menjadi bughat.

T: Jadi, tuntutan Pasukan Berani Mati itu apa?
J: Kami minta agar memorandum itu dicabut, karena ini bentuk pelecehan. Bahkan, katanya, malah akan diberi memorandum kedua. Ini bisa makin gawat.

T: Apa konsekuensinya, jika permintaan itu tak dikabulkan?
J: Kami akan terus bergerak untuk mempressure DPR.

T: Mengapa begitu berani mati untuk konstitusi? Pasukan ini dibekali kekuatan apa saja?

J: Begini, ya, dasar dari keberanian mereka itu adalah religius. Di samping itu, memang mereka ada yang dibekali beberapa ilmu. Misalnya ilmu kekebalan tubuh, dan ilmu anti peluru.

T: Apakah ilmu dari kekuatan ini efektif untuk menangkal berbagai serangan aparat?
J: Kita bukan untuk melawan aparat, tapi ilmu itu akan keluar dengan sendirinya, artinya muncul seiring aksi yang spontan.

T: Dari mana mereka mendapat ilmu kekebalan itu?
J: Dalam hal ini mereka ada yang memiliki secara sendiri-sendiri, ada yang melakukan lewat puasa selama seminggu, satu bulan. Dan, ada yang memang diisi.

T: Berapa jumlah PBM yang siap tempur?
J: Semua total sekitar 500 orang. Yang datang ke DPR/MPR hanya 45 orang. Sedang sisanya ditempatkan di beberapa lokasi yang rawan, misalnya Istana, Monas, Kramat dan lain-lainnya.

T: Seberapa kuat tingkat kekebalan mereka pada senjata?
J: Kalau memang anda mau lihat, saya akan panggil beberapa orang, silakan anda sendiri yang melakukannya, misalnya pakai pedang, golok, pistol, benda-benda lainnya.

T: Kapan PBM ini pulang?
J: Tergantung situasi.

T: Apa kaitan PBM dengan PBNU?
J: Saya pikir, kami tidak ada ikatan dengan PBNU. Jadi, kami tidak tergantung dari PBNU.

T: PBM ini kebanyakan personilnya dari mana saja?
J: Sebagian besar dari Banyuwangi. Dan, kedatangan kami semata-mata untuk menegakkan konstitusi. Kami ingin agar konstitusi ini dihormati semua pihak. (Aksi, 22 Maret 2001, halaman 5.).

Ada bebarapa masalah yang dilakukan oleh Pasukan Berani Mati itu. Katanya untuk membela konstitusi, tetapi mengaku berjihad melawan apa yang mereka namakan bughat (pemberontak), lalu menghalalkan darah Amien Rais dan lain-lain yang mereka anggap bughat.

Di samping mereka telah melanggar aturan terbesar dalam Islam yaitu larangan kemusyrikan karena mereka memakai kekebalan, dan memamerkannya sampai mau beratraksi di depan wartawan, masih pula menghalalkan darah Amien Rais ketua MPR dan orang-orang DPR lainnya. Betapa besar dosa yang dipikul oleh para kiyai dukun dan kiyai-kiyai provokator yang telah mengisi kekebalan dan menyuruh atau mengizinkan 500-an Pasukan Berani Mati demi Gus Dur ini. Keizinan dengan menghalalkan darah seorang muslim tanpa haq itu saja kalau sampai terlaksana insya Allah sudah bisa memasukkan neraka selama-lamanya. Belum lagi masalah kemusyrikan yang mereka sebarkan, dan juga isian aji-aji dogdeng (ilmu kebal). Belum lagi keterjerumusan Pasukan Berani Mati ini. Semua itu dosanya melimpah pula kepada para kiyai-kiyai dukunnya dan para provokatornya. Belum lagi pengajaran salah tentang bughat yang mereka tanamkan kepada orang awam yang dijadikan Pasukan Berani Mati demi Gus Dur.

Ancaman Santet dan ‘Ashobiyah

Pembelaan terhadap Gus Dur bukan hanya mengenai masalah yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai presiden. Bahkan tentang skandalnya pun mereka bela.

Pada tahun 2000 merebak berita tentang skandal Gus Dur dengan Ariyanti Boru Sitepu. Fotonya beredar luas, Gus Dur bercelana pendek memangku Ariynti yang berstatus isteri orang. Terhadap merebaknya berita skandal itu, seorang Kiyai bernama Chalil Bisri dari Rembang Jawa Tengah, tokoh terkemuka NU, dan bahkan termasuk penggagas didirikannya PKB, membela Gus Dur dengan ungkapan yang di luar batas kewajaran seorang Muslim, seperti berita berikut ini:

...Kalangan ulama Nahdliyin (Nahdlatul Ulama/ NU, pen) dengan terang-terangan membela mati-matian Gus Dur. Kyai Cholil Bisri misalnya bahkan secara “gila-gilaan” berpendapat apa yang dilakukan Gus Dur dengan fakta gamblang dalam foto memangku wanita bukan isterinya itu dianggapnya sebagai hal yang wajar saja. Ia malah mengaku dirinya juga akrab dengan santri-santri watinya, juga dengan tokoh artis seperti Neno Warisman. Akrab yang ia maksudkan tentu saja setara dengan foto Gus Dur memangku Aryanti Boru Sitepu. Na’udzubillahi min dzalik! Belum apa-apa, bahkan tokoh NU ini mengancam jika ia diperlakukan seperti Gus Dur ia mengancam semua yang menyebar-nyebarkan berita slingkuh itu akan ia santet, tidak peduli apakah itu dosa atau tidak. (Media Dakwah, Rajab 1421/ Oktober 2000, halaman 8-9).

Pembelaan seperti itu tampak sekali tidak mempertimbangkan benar atau tidaknya tingkah Gus Dur, yang penting asal bela. Itulah tingkah dan sikap nyata Kiyai NU, dalam hal ini dilakukan oleh Kiyai Chalil Bisri. Pembelaan asal bela, tak mau tahu yang dibela itu salah atau benar, itu adalah satu sikap áshobiyah, yaitu tingkah dan ciri utama orang Jahiliyah dahulu kala. Datangnya Islam adalah untuk memberantas Jahiliyah, yang di antara sikap jelek terutamanya adalah ‘ashobiyah itu.

‘Ashobiyah atau Ta’asshub, menurut Dr A Zaki Badawi, adalah fanatisme, yaitu berlebih-lebihan (ghuluw) dalam bergantung dengan seseorang atau ideologi (fikrah), atau prinsip, atau kepercayaan (bukan fanatik dengan aqidah Islam, kalau fanatik dalam hal aqidah Islam maka baik, pen) di mana (kefanatikan terhadap seseorang, kelompok dan lain-lain itu) tidak menyisakan tempat untuk toleransi, dan kadang membawa kepada kekerasan dan berani mati.[7]

Sikap seperti itu sangat dilarang oleh Nabi saw dengan sabdanya:

ليس منا من دعى إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية. (رواه أبو داود).

“Tidak termasuk (golongan) kami, orang yang menganjurkan ‘ashobiyah (fanatisme kekabilahan, golongan dan sebagainya, pen) dan tidak termasuk (golongan) kami, orang yang berperang membela fanatisme kekabilahan, dan tidak termasuk (golongan) kami, orang yang mati mempertahankan fanatisme kekabilahan.” (HR Abu Dawud).

Tentang membela golongannya yang dalam keadaan salah, Nabi saw melarangnya pula, dengan sabdanya:

من نصر قومه على غير الحق، فهو كالبعير الذي ردي فهو ينزع بذنبه.

“Barangsiapa membela kaumnya tidak berdasarkan kebenaran , ia ibarat seperti unta roboh lalu ia mau berdiri dengan ekornya.” (Tafsir Ibnu Katsir, seperti dikutip Sayyid Abil Hasan Ali Al-Hasani An-Nadawi dalam Madza Khosirol ‘alamu bin khithotil Muslimin, Darul Kitabil ‘Arabi, Beirut, cetakan ke-7, 1967/ 1387H, halaman 100).

Tentang ancaman santet yang dilancarkan kiyai itu dengan tidak perduli dosa atau tidak; maka ucapan dan sikap seperti itu merupakan penentangan terhadap Islam benar-benar. Sudah berani melanggar, masih menentang Islam dengan cara tidak mau perduli apakah itu berdosa atau tidak.

Tentang santet atau sihir atau tenung itu sendiri dalam Islam termasuk perbuatan dosa besar.

من عقد عقدة ثم نفث فيها فقد سحر ومن سحر فقد أشرك.

“Barangsiapa yang mengikat bundelan (simpulan), kemudian menghembusnya, maka sesungguhnya dia menyihir, dan orang yang menyihir maka sungguh ia telah syirik (menyekutukan Allah)”. (Hadits Riwayat An-Nasa’i dari Abu Hurairah).

اجتنبوا الموبقات: الشرك بالله والسحر. (رواه البخاري).

“Jauhilah hal-hal yang mencelakakan kamu, yaitu syirik kepada Allah dan sihir.” (HR Al-Bukhari).

عن حفصة رضي الله عنها أنها أمرت بقتل جارية لها سحرتها فقتلت. (رواه البخاري).

Hadits dari Hafshah ra mengatakan bahwa ia diperintahkan membunuh budak wanita yang menyihirnya, kemudian ia membunuhnya.” (HR Al-Bukhari).

عن بجالة قال كتب عمر بن الخطاب : أن اقتلوا كل ساحر وساحرة . قال فقتلنا ثلاث سواحر. (البخاري).

Hadits dari Bajjalah mengatakan, bahwa Umar bin Khatthab menetapkan, supaya kamu bunuh semua penyihir laki-laki dan wanita. Bajjalah berkata, “kami telah membunuh tiga orang penyihir.” (HR Al-Bukhari).

Setelah jelas masalahnya, betapa besar pelanggaran kiyai itu, yaitu membela pemimpin kelompoknya tidak berdasarkan kebenaran, dan masih sesumbar dengan mengadalkan santet atau sihir, maka tidak mengherankan kalau orang awamnya atau wadyabalanya ada yang menamakan dirinya PBM (Pasukan Berani Mati) demi Gus Dur, yang mereka itu mengandalkan ilmu kebal seperti dalam uraian di atas.

Gus Dur Dianggap Malaikat

Pembelaan lain ada pula dengan jalan mengkultuskan Gus Dur sebagai malaikat atau di dadanya ada malaikatnya. Berikut ini beritanya:

Sebnyak 36 Kiyai, pengasuh pondok pesantren, dan guru NU dari empat kabupaten di Jawa Timur, mendatangi Gedung MPR/DPR, Senayn, Jakarta, Rabu (24/1 2001). Mereka meminta pimpinan DPR mempertahankan Presiden Abdurrhman Wahid dan Wapres Megawati Sukarno Putri sampai 2004.

Ketu DPR Akbar Tanjung menemui rombongn yang dipimpin Fawaid As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren (ponpes) Salafiyah Syafe’i, Situbondo. Dalam pertemuan itu, mereka juga berharap perbedaan pendapat di antara elite politik cukup dijadikan wacana, jangan mempengaruhi masyarakat bawah.

Wakil ketua DPR RI, Tosari Widjaya, Wakil Ketua Komisi II Ferry Mursyidan Baldan, dan anggota Komisi II Yahya Zaini ikut mendampingi Akbar menemui rombongan dari Kab Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, dan Jember itu.

Menurut Lukman Yasir dari Jember, bagi orang NU, Abdurrahman Wahid bukan sekadar presiden, tapi juga malaikat. “Gus Dur bukan saja tangannya yang harus dicium, tapi dadanya harus dipeluk, karena ada malaikat,” ungkapnya.

Lukman lantas menyuruh Akbar membaca surah Al-Fatihah sebanyak 2000 kali. “Pasti bertemu ruh Gus Dur dalam mimpi,” kata Lukman. (Harian Republika, Kamis 25 Januari 2001, halaman 16).

Sejumlah kiai dari Jawa Timur itu di antara mereka ada yang mengatakan, Gus Dur itu di dadanya ada malaikatnya, makanya tidak cukup disalami dengan mencium tangannya, tapi dadanya harus dipeluk, karena ada malaikatnya. Di samping itu, kata kiai ini, kalau membaca surat Al-Fatihah 2000 kali, pasti ketemu ruh Gus Dur dalam mimpi.

Ungkapan Kiyai semacam itu menurut Islam telah menyangkut hal ghaib. Islam menegaskan, hal-hal yang ghaib itu hanya Allah SWT yang tahu. Demikian pula keberadaan malaikat, termasuk hal ghaib. Jadi hanya Allah yang tahu. Sebagaimana Allah SWT tegaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri….” (QS Al-An’aam/ 6: 59).

Apabila mengatakan hal ghaib tidak berlandaskan keterangan dari wahyu ( Al-Qur’an ataupun Hadits Nabi saw yang shahih) maka orang itu telah melanggar ayat-ayat Al-Qur’an. Di samping itu, telah mengaku-aku dirinya mengetahui hal ghaib, yang hal itu Nabi saw pun tidak pernah melakukannya. Sedangkan berita-berita tentang hal ghaib yang disampaikan oleh Nabi saw tak lain hanya karena beliau diberi wahyu oleh Allah SWT.

Berikut ini sebuah hadits yang menegaskan betapa kita harus hati-hati mengenai hal ghaib.

Bahwa Utsman bin Madh’un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasulullah saw hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan (shahabiyyah) Ummu Al-‘Ala’ berkata, “Kesaksianku atasmu Abu As-Saib (“Utsman bin Madh’un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu”. Maka Rasulullah saw membantahnya dengan berkata:

وما يدريك أن الله قد أكرمه؟

“Apa yang menjadikan kamu tahu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?”

Ini adalah peringatan yang besar dari Rasulullah saw kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut keghaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal ghaib kecuali Allah SWT. Tetapi shahabiyyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata:

“Subhanallaah, ya Rasulallah!! Siapa (lagi) kah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh’un ra, tidak termasuk orang yang dimuliakan Allah SWT maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan Allah SWT. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul saw menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda:

والله إني لرسول الله لا أدري ما يفعل بي غدا.



“Demi Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia perbuat padaku esok.”

Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah, beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan di sinilah Ummu Al-‘Ala’ sampai pada hakekat syara’ yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorang pun selama-lamanya.” (HR Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dalam Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al-‘Ala’ Al-Anshariyyah bi nahwihi).

Dengan demikian, ummat Islam wajib menolak ucapan siapapun menyangkut hal ghaib, kecuali ada dalilnya (ayat atau hadits yang shahih).

Kemudian tentang saran agar membaca Al-Fatihah 2000 kali supaya bisa bertemu ruh Gus Dur dalam mimpi itu mengandung dua masalah besar.

Pertama, masalah membuat syari’at berupa membaca surat Al-Fatihah 2000 kali. Ini merupakan pelanggaran, sebab tidak ada yang berhak membuat syari’at kecuali Allah SWT. Sekalipun membaca Al-Fatihah itu baik, namun kalau disyaratkan dengan bilangan 2000 kali, itu harus ada dalilnya. Kalau tidak (dan memang tidak ada dalilnya), maka artinya adalah membuat syari’at baru. Ini tidak ada hak bagi siapapun, karena syari’at telah sempurna. Allah SWT berfirman, yang artinya:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maaidah: 3).

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dia berkata hadits hasan shahih).

Dan pada riwyat lain:

“Barangsiapa melakukan amalan, bukan atas perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Diriwayatkan Muslim).

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa mengada-adakan pada perkara kami ini, sesuatu yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).

Jadi, mensyaratkan dengan membaca Al-Fatihah 2000 kali itu jelas bid’ah, tertolak, karena tidak ada di dalam perintah Allah mupun Rasul-Nya.

Masalah kedua, berbicara tentang ruh, itu hanya Allah SWT yang tahu. Orang yang menjanjikan akan bisa bertemu dengan ruh seseorang dengan syarat tertentu ataupun tanpa syarat, itu telah melanggar batas-batas yang diperkenankan Islam. Bagaimana bisa, orang yang tidak diberi wewenang mengurusi ruh, bahkan tahu saja tidak, akan bisa menentukan pertemuan dengan ruh. Nabi saw yang jelas utusan Allah pun ketika ditanya tentang ruh, maka Allah menyuruhnya untuk menjawab dengan ucapan bahwa ruh itu termasuk urusan Allah SWT.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Israa’/ 17: 85).

Ayat itu jelas. Namun, kemungkinan orang yang mengaku-ngaku bisa mengurusi ruh hingga berani memberi syarat-syarat untuk mempertemukan ruh itu akan melandasi kesesatannya dengan menyelewengkan penafsiran ayat tersebut, sebagaimana yang pernah saya dengar langsung dari seorang pembela tasawuf sesat bahwa lafal min amri robbii itu artinya bukan “termasuk urusan Tuhanku” tetapi ia artikan: “termasuk alam amr Tuhanku”. Jadi ruh itu menurut pandangan pembela sufi sesat ini, adalah termasuk alam amr (salah satu jenis alam) Tuhan. Orang itu tidak menjelaskan, dari mana dia memperoleh penafsiran yang sangat aneh dan menyeleweng itu.

Kebohongan-kebohongan semacam itu –yaitu mengaku-ngaku dengn mampu memastikan akan bertemunya ruh dengan ruh—itu bukan kebohongan biasa, namun berakibat fatal, yaitu rusaknya aqidah/ keimanan.

Kalau rombongan Kiyai yang datang ke Jakarta untuk melabrak ketua DPR saja kepercayaannya sesesat itu, maka betapa lagi kiyai-kiyai yang semodel dengannya yang tak berani melabrak ke Jakarta. Dan betapa amburadulnya lagi kepercayaan para murid-muridnya dan orang awam yang di bawah tipuan kebohongan mereka.

Dan sangat memprihatinkan sekali, kenapa pengucapnya itu disebut kiyai atau ulama.

Itu belum pembelaan-pembelaan ngawur yang sifatnya mengadakan pengrusakan sarana-sarana Ummat Islam seperti merusak masjid, madrasah, dan kantor-kantor Muhammadiyah plus Al-Irsyad serta HMI di berbagai tempat. Kalau kantor-kantor Golkar yang dibakar atau dirusak di mana-mana, itu tak ada urusan dalam buku ini, masalahnya buku ini lebih memfokuskan pada urusan Ummat Islam atau bahkan agama Islam itu sendiri. Termasuk penghalangan jalan dengan menebangi pohon lalu dihalangkan ke sepanjang jalan di sebagian wilayah Jawa Timur, serta penutupan pelabuhan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang menghubungkan Jawa-Bali yang dilakukan para pendukung Gus Dur, itu adalah salah satu bentuk dukungan terhadap Gus Dur dalam bentuk perusakan atau merugikan kepentingan umum.

Betapa ngerinya memandang sosok-sosok model itu. Sudah aqidah mereka itu rusak tidak keruan, masih pula perbuatannya pun merusak dan merugikan Islam. Semua itu bisa serempak dan meluas serta membesar bahaya pengrusakannya lantaran ada wadahnya.

Berarti telah sukseslah para perintis pembikinan wadah itu yang telah bercapek-capek untuk mewujudkan adanya wadah yang mereka perjuangkan sejak zaman penjajahan Belanda. Dan itulah yang insya Allah jadi bekal di alam baqa’ yang ganjarannya senantiasa mengalir selama wadah itu masih difungsikan, atau ajaran wadah itu masih diamalkan orang.

Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk-Nya kepada kita sekalian. Amien, ya Robbal ‘aalamien.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Prof Dr TM Hasbi As-Siddieqy,Ahkamul Fiqh Al-Islami, Hukum-hukum Fiqih Islm, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan ke-6, 1986, halaman 625.

[2] H Moh Anwar, Fiqih Islam, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan kedua, 1988, halaman 318-319.

[3] Ibid, 319-320.

[4] Imam Al-Mawardi, al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayaat Ad-Diniyyah, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama 1960M/ 1380H, halaman 60-61, atau terjemahnya halaman 111-113.

[5] Prof TM Hasbi As-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, halaman 563.

[6] Tabloid Aksi, vol 5 No 314, 22-28 Maret 2001, halaman 4-5).

[7] Dr A Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Sciences, Engleish- French- Arabic, Librairie du Liban, Beirut, cetakan pertama., 1978, halaman 154.

Tidak ada komentar: