Catatan Kecil : Membentengi Aqidah dari Aneka Serangan

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Membentengi Aqidah dari Aneka Serangan

Aneka macam serangan terhadap aqidah ditujukan kepada dua pokok utama yang menjadi landasan Islam, yaitu dua kalimah syahadat.
Pokok utama yang pertama adalah tauhidullah, mengesakan Allah. Yaitu bahwa Allah itulah Tuhan, Maha Pencipta, Maha Esa, Yang disembah dengan mengesakannya. Tiada sekutu baginya dalam hal sifatNya dan perbuatanNya. Dia lah yang memiliki sifat Maha Sempurna, Maha Indah, Maha Agung, dan tidak sebaliknya.
Pokok yang kedua adalah mengesakan jalan padaNya. Tidak menetapkan hukum pada urusan manusia dengan selain (hukum)Nya. Dan tidak mendekatkan diri kepadaNya kecuali dengan apa yang disyari’atkanNya. Itulah makna Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah. Maka “Laa ilaaha Illallaah” adalah pokok pertama, sedang “Muhammadur Rasuulullah” adalahn pokok kedua.

Sungguh Rassulullah SAW telah ditentang dalam hal dua pokok ini.

a. Orang-orang musyrikin Arab berkata:
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad/ 38:5).

Dan orang-orang musyrikin bicara tentang tuhan-tuhan mereka:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya..” (Az-Zumar/ 39:3).

Musyrikin berkata pula:
“ Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (Yunus/ 10: 18).

Allah SWT telah membantah mereka, katakanlah wahai Muhammad:
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Al- Anbiyaa`/ 21:22).

“Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafa`at itu semuanya.” (Az-Zumar/ 39:44).

Tentang pokok yang kedua, Allah SWT berfirman menghancurkan aturan-aturan mereka yang batil dalam hal halal dan haram serta mendekatkan diri pada Allah:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (As-Syuura/ 42:21).

b dan c. Adapun orang-orangYahudi dan Nasrani maka masing-masing kelompok itu mengaku bahwa jalan merekalah yang benar; sesembahan mereka lah yang benar, sedang surga itu hanya khusus untuk mereka saja, tidak untuk orang lain.

Allah SWT telah membantah mereka:

“Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. (Al-Baqarah/ 2:120).
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi..” (Ali `Imran/ 3:31).

Al-Quran seluruhnya adalah keterangan jihad Rasulullah SAW terhadap kelompok-kelompok yang tiga itu (musyrikin, Yahudi, dan Nasrani) dalam hal dua pokok (tauhidullah dan tauhidut thariqah/ Tiada Tuhan selain Allah, dan Muuhammad utusan Allah) ini.
Orang-orang yang memurnikan agamanya hanya untuk Allah, mereka telah beriman kepada Rasulullah. Mereka mencintai Rasul dan mendahulukan ajaran beliau dalam segala hal. Mereka mencintai dan mengikuti beliau dengan jiwa dan raga mereka. Mereka mengorbankan perjuangan dalam mengikuti dan mentaati beliau. Dan mereka melaksanakannya itu dengan sebaik-baiknya sehingga Allah SWT memuji mereka dengan ayat-ayat yang banyak di dalam Al-Quran. Di antaranya firman Allah SWT:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia -Allah dan keridha`anNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (Al-Fath/ 48:29).

Allah SWT ridha terhadap mereka, sedang mereka pun meridhai-Nya, mengetahui-Nya sebenar-benar ma’rifat (pengetahuan), dan menjalankan agama-Nya sebaik-baik pelaksanaan.
Rasulullah SAW pun memuji mereka (para sahabatnya), beliau bersabda:

“Sebaik-baik manusia itu adalah generasiku, kemudian orang-orang yang berikutnya, kemudian orang-orang yang berikutnya.” (HR As-Syaikhaani dan lainnya dari Ibnu Mas’ud, dan lainnya dari selain Ibnu Mas’ud).

Dan Nabi SAW bersaksi mengenai pribadi-pribadi di antara mereka akan masuk surga dan punya keutamaan. Di antaranya adalah Abu Bakar Siddiq ra yang beliau sabdakan:

“Aku ditimbang dengan ummat maka aku lebih berat, dan Abu Bakar ditimbang dengan ummat-tanpa adanya aku di dalam ummat itu-maka ia lebih berat, dan Umar ditimbang dengan ummat-tanpa adanya aku dan Abu Bakar di dalam ummat itu-maka ia lebih berat.” (Hadits Riwayat Ahmad 5/44 dan 50, Abu Daud 4634, At-Tirmidzi 2389-Tuhfatul Ahwadzi dan dishahihkannya).

Semuanya itu dari Abi Bakrah bahwa seorang sahabat bermimpi bahwa ada timbangan yang menjulur dari langit, Nabi SAW ditimbang dengan Abu Bakar, maka lebih berat Nabi SAW. Kemudian Abu Bakar ditimbang dengan Umar, maka lebih berat Abu Bakar, kemudian Umar ditimbang dengan Utsman maka lebih berat Umar, kemudian timbangan itu diangkat. Hadits ini telah dikuatkan oleh guru kami (almarhum) Al-Bani dalam takhrij Al-Misykat 3/233 dengan dua jalan.

Dan Nabi bersabda:
“Seandainya ada nabi setelahku maka pasti dia adalah Umar.” (HR Ahmad 4/154, At-Tirmidzi 2/293 menghasankannya, Al-Hakim 3/85 menshahihkannya, dan selain mereka).

Nabi SAW berkata kepada Bilal:
“Aku telah mendengar detak-detak dua sandalmu di hadapanku di surga.” (HR Al-Bukhari 3/276 di Fathul Bari, Ahmad 2/333 dan 439 dari Abi Hurairah).

Bukti kegigihan Rasul dalam menjaga Tauhid

Di samping yang demikian itu Rasulullah SAW sungguh bersemangat selama hidupnya sebagai Rasul untuk mengabadikan dua pokok tauhid itu: Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah. Agar keduanya tetap bersih lagi jernih, maka beliau sama sekali tidak membolehkkan pengotoran dua pokok tauhid ini., walaupun terhadap orang yang paling dicintai dan paling terkesan baginya.

Bukti-buktinya;

a. Beliau pada suatu hari melihat di tangan Umar bin Khathab ra ada selembar kertas (waraqah) dari Taurat, dan Umar telah mengagumi apa yang ada di dalamnya, maka Rasulullah SAW marah dengan kemarahan yang keras, dan beliau berkata:

“Apa (apaan) ini! Sedangkan aku ada di belakang kalian. Sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dengan keadaan putih lagi suci... Demi Allah seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” (Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi 1/115-116 dengan lebih sempurna. Hadits ini menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq yang menulis makalah ini, berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harwi dan lainnya).

Dalam Hadits itu terdapat pengertian sebagai berikut:

Pertama: Rasulullah SAW heran adanya orang yang mulai mencari petunjuk kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah sedangkan beliau masih hidup. Termasuk tuntutan iman kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah meyakini bahwa petunjuk itu adanya hanyalah pada keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) itu.
Kedua: Rasulullah SAW telah membawa agama yang suci murni, tidak dikaburkan oleh pembuat kekaburan berupa perubahan, penggantian, atau penyelewengan. Sedang para sahabat menerima agama Islam itu dengan wungkul (utuh) dan murni. Maka bagaimana mereka akan berpaling darinya dan mencari petunjuk kepada hal-hal yang menyerupai penyelewengan, penggantian, dan penambahan serta pengurangan.
Ketiga: Bahwa Nabi Musa as sendiri yang dituruni Kitab Taurat seandainya dia masih hidup pasti dia wajib mengikuti Rasul saw, dan meninggalkan syari’at yang telah dia sampaikan kepada manusia.

Hadits ini adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (pola) Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak boleh seorangpun mencari petunjuk -untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw, hatta walaupun dulunya termasuk syari’at yang diturunkan atas salah satu nabi yang dahulu.

b. Dalil yang kedua bahwa Rasulullah saw mendengar khathib yang berkhutbah di hadapan beliau, di antaranya ia berkata: “ Barangsiapa taat pada Allah dan rasulNya maka sungguh ia telah mendaopat ppetunjuk, dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya (waman ya’shihimaa) maka sungguh dia telah sesat.” Maka Rasulullah saw berkata padanya:

“Seburuk-buruk khathib kaum adalah kamu. Katakanlah: Barangsiapa bermaksiat pada Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat.” (HR Muslim 6/159-di Syarah An-Nawawi, dan Ahmad 4/256 dan 379).

Khatib ini telah memotong lafal “Rasulullah saw” (tidak diucapkan tetapi diganti dengan dhamir/ kata ganti dan digandengkan dengan Allah SWT). Maka beliau mencelanya di depan orang banyak, karena khatib itu mengumpulkan antara Allah dan rasulNya dalam satu kataganti “waman ya’shihimaa” lalu Rasul saw menyuruhnya untuk mengulangi penyebutan nama yang jelas bagi Allah dan bagi rasulNya, sehingga tidak akan dikira walau dari jauh bahwa kedudukan Rasul seperti kedudukan Allah swt. Semangat Rasul saw ini adalah dalil atas wajibnya menjaga ketauhidan Allah Ta’ala dengan penjagaan yang sempurna, dan kewajiban membedakan dengan sempurna antara hal yang wajib untuk Allah SWTdan yang wajib untuk RasulNya saw.

c. Dalil ketiga: Bahwa Utsman bin Madh`un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasul saw hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan, Ummu Al-`Ala`, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu As-Saib (Utsman bin Madh`un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka Rasul saw membantahnya dengan berkata:

“Tahukah kamu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?”

Ini adalah peringatan yang besar dari Rasul saw kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal gaib kecuali Allah SWT. Tetapi Shahabiyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata: “Subhanallah, ya Rasulallah!! Siapa (lagi) kah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh`un ra tidak termasuk orang yang dimuliakan Allah swt, maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan Allah SWT. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul saw menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda:

“Demi Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia perbuat padaku esok.” Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah , beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan disinilah Ummu Al`Ala` sampai pada hakekat syara` yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorangpun salama-lamanya.” (Diiwayatkan Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dari Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al`Ala` Al-Anshariyah binahwihi).

Pokok yang ini ditetapkan dalam syari’at pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antaranya firman Allah SWT:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisaa`/ 4:49-50).

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An-Nisaa’/ 123).

d. Dalil keempat: Bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul saw dan berkata:

“Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki.” Maka Rasul saw bersabda:

“Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Katakanlah: “Apa yang Allah kehendaki sendiri.” (HR Ahmad 1/214,224,283,347, Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 783 dan selain keduanya.)

Nabi saw telah menjadikan kehendak itu bagi Allah sendiri, sehingga mengajarkannya kepada mukminin bahwa tiada kemauan seorangpun yang bersama kemauan Allah SWT.

e. Dalil kelima: Ada sebagian sahabat ra lewat di tengah perjalanan mereka (ketika) keluar ke Hawazin setelah Fathu Makkah ada satu pohon yang orang-orang musyrikin mengalungkan pedang-pedangnya di atas nya, dengan mempercayai bahwa orang yang mengerjakan itu akan mendapatkan kemenangan dalam pertempuran dengan musuh. Lalu para sahabat berkata: Ya Rasulullah, buatkan untuk kami gantungan seperti gantungan milik mereka itu, artinya pohon yang mereka gantungi senjata mereka. Maka Rasul saw menjawab mereka:

“Demi Allah Yang diriku ada di tanganNya, kamu sekalian telah berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa: “Buatkanlah tuhan untuk kami sebagaimana (mereka telah membuat) tuhan-tuhan untuk mereka.” (HR Ahmad dalam Musnadnya 5/218) dan At-Tirmidzi dalam Sunannya 6/407 dan 408-Tuhfatul Ahwadzi, dan ia katakan Hadits hasan shahih.)

Nabi saw menjelaskan bahwa itu termasuk perbuatan orang-orang musyrikin, dan menyerupai mereka dalam hal ini adalah syirik kepada Allah Ta’ala (juga). Karena meminta berkah dan pertolongan kepada selain Allah SWT adalah menyekutukanNya.

Dalil-dalil tersebut di atas itu semua sungguh merupakan kejelasan bahwa Rasul saw sama sekali tidak membolehkan pengotoran pokok yang paling pokok dalam Islam, yaitu tauhidullah (mengesakan Allah) swt dan mengatakan atas nama Allah tanpa ilmu, dan mencari petunjuk (hidayah) kepada selain (Kitab)Nya SWT, dan (Sunnah) RasulNya saw.

Rasulullah saw telah menutup pintu perdukunan, peramalan, dan pengaku-ngaku berilmu gaib. Dan beliau saw mengabarkan bahwa orang yang mengaku-ngaku demikian itu kafir. Dan orang yang membenarkan peramal atau dukun maka sungguh ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan atas Muhammad saw. Dan beliau ditanya tentang para peramal, beliau jawab: “Mereka itu bukan apa-apa.” Demikianlah, karena tidak adanya harga mereka (peramal) itu dan beliau menghinakan mereka. Lalu para sahabatnya ra berkata padanya: Tetapi mereka (para dukun) itu mengabarkan pada kami kadang-kadang dengan satu perkara, lalu terjadi seperti apa yang mereka katakan. Maka Rasul saw mengabarkan kepada mereka (sahabat) bahwa syetan-syetan menaiki satu sama lain dan sampai ke awan dan mendengar malaikat yang berbicara mengenai perkara dari Allah Ta’ala, maka syetan-syetan itu mempelajari perkara itu dari mereka (para malaikat), lalu Allah melemparkan nyala api atas mereka (syetan-syetan), maka nyala api itu kadang-kadang mengenai mereka lalu membakar mereka, dan kadang--kadang mereka menyampaikan kata-kata itu kepada syetan yang ada di bawah mereka sebelum adanya nyala api itu, maka syetan itu berdusta dengan kata-kata itu tadi seratus kedustaan. Oleh karena itu wali-wali syetan (para dukun dll) dari manusia itu benarnya satu kali, tetapi mereka berbohongnya banyak. (HR Muslim dalam Shohihnya 14/225-Syarah An-Nawawi, dengan lafal otentiknya, dan Al-Bukhari dari Abi Hurairah, dan Ahmad dan lainnya.).

Dan ketika para sahabat ragu-ragu mengenai Ibnu Shoyyad orang Yahudi yang tinggal di Madinah, dan mereka menyangka dia itu dajjal (pembohong) yang telah diceritakan oleh Rasul saw, dan Rasul bertandang bersama jama’ah mengunjungi Ibnu Syoyad di rumahnya. Rasul Saw berkata padanya dengan minta dikhabari: “Sungguh aku menyembunyikan suatu barang untukmu...”

Rasul saw telah menyembunyikan Surat Ad-Dukhan pada diri beliau, lalu Rasul bertanya padanya mengenai apa yang ada pada diri beliau. Maka musuh Allah itu menjawab: “Dia adalah Ad-Dukh” dan dia (dukun Yahudi itu) tidak mampu untuk menyempurnakan kata (Ad-Dukhon, hanya Ad-Dukh). Lalu Rasul SAW berkata padanya: “Piciklah kamu, maka kamu tidak akan melampaui kemampuanmu”. Artinya kamu tidak akan melamapui keadaanmu sebagai dukun yang berhubungan dengan jin. Oleh karena itu Rasul saw bertanya padanya: “Bagaimana kamu bisa tahu?” Dia menjawab: “Datang kepadaku kadang-kadang benar dan kadang bohong.” Artinya khabar-khabar dari syetan datang padanya kadang benar, dan kadang bohong. Lalu Rasulullah bersabda: “Laqod Lubbisa `alaih”. Sungguh telah dicampur aduk (antara kebenaran dan kebohongan) atasnya. (Diriwayatkan semacam ini secara panjang oleh Al-Bukhari 3/462, 6/512, 13/180-dari Fathul Bari).

Dalam hadits ini ada dalil bahwa syetan bisa mengintai apa yang ada pada orang mu’min kemudian syetan mengabarkannya kepada manusia yang jadi wali syetan (seperti dukun dll), dan kita diperintahkan untuk tidak membenarkan hal yang ghaib kecuali yang datang dari jalan Allah dan dari jalan Rasulullah saw saja.

Seluruh dalil/ bukti yang telah kami sebutkan dan selainnya yang tidak terhitung banyaknya sesungguhnya hanya untuk menetapkan segi aqidah imaniyah dalam da’wah Rasul saw. Dan itu adalah penjelasan bahwa kepercayaan dan keimanan terhadap yang ghaib itu sumbernya adalah Allah SWT. Tidak boleh sama sekali seorang Muslim mengambil jalan lain untuk perkara yang ghaib. Dan barangsiapa mengerjakan yang demikian itu (mengambil jalan selain jalan Allah) maka sungguh ia telah keluar dari iman kepada Allah Ta’ala. (Dipetik dari Al-Fikrus Shuufi, Abdur Rahman Abdul Khaliq, Maktabah Darul Fiha` Dimasyq, cetakan pertama, 1994/ 1414H, halm 24-34).

Tidak ada komentar: