Catatan Kecil : Kondisi dan Tradisi Kaum Nahdliyin

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Kondisi dan Tradisi Kaum Nahdliyin

Kondisi dan sikap kaum Nahdliyin (NU), menurut KH M Yusuf Hasyim Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur sebagai berikut:

“...Ada persepsi di kalangan kaum Nahdliyin, di masa Orde Lama, mereka dipinggirkan, di era Orde Baru, mereka ditindas, bahkan di zaman Gus Dur jadi presiden pun mereka dikuyo-kuyo. Tak heran bila mereka akan melawan habis-habisan setiap usaha menurunkan Gus Dur.” (Harian Republika, Jum’at 9 Maret 2001M, halaman 4, dalam artikel berjudul Politisasi Masjid).

Ungkapan paman bungsu Gus Dur itu pantas dicermati. Benarkah kaum Nahdliyin (warga NU) di masa Gus Dur jadi presiden mereka dikuyo-kuyo (disakiti atau dibuat menderita)? Lantas benarkah mereka melawan habis-habisan setiap usaha menurunkan Gus Dur itu karena mereka bereaksi dari perlakuan yang merugikan kaum Nahdliyin?

Tidak ada bukti-bukti yang dijelaskan. Dalam bentuk apa kaum Nahdliyin itu dikuyo-kuyo di masa pemerintahan Gus Dur. Siapa yang menguyo-nguyo pun tidak disebutkan. Sedangkan mereka dalam membela Gus Dur habis-habisan itu pun tidak pernah menunjukkan bahwa diri mereka dikuyo-kuyo sehingga harus tetap mempertahankan Gus Dur. Seandainya pembelaan terhadap Gus Dur itu karena mereka dikuyo-kuyo, tentunya yang lebih harus ditonjolkan adalah bukti kedhaliman pihak lawan Gus Dur terhadap kaum Nahdliyin. Misalnya, tidak ada yang dibolehkan jadi menteri atau menduduki jabatan perkantoran, atau menyelenggarakan upacara-upacara. Kenyataannya walaupun acara-acara yang mereka selenggarakan banyak yang mubadzir dan kadang mengakibatkan mudharat, tidak ada yang melarang. Yang terjadi justru sebaliknya. Misalnya, ada pendukung fanatik Gus Dur yang lulusan sastra yaitu DR AS Hikam dijadikan menteri riset dan teknologi. Paling-paling lawan Gus Dur hanya mempersoalkan tidak pasnya penempatan itu, ditambah tidak konsistennya sikap doktor sastra itu. Kenapa? Karena, di zaman pemerintahan Habibie, orang sampai heran, kenapa AS Hikam ini sangat vokal dalam mengkritik Habibie. Hingga hampir tiap hari muncul di televisi atau koran atau radio. Namun, ketika di zaman pemerintahan Gus Dur, dia jadi pembela pemerintah habis-habisan, sampai-sampai bumbu masak ajinomoto yang difatwakan haram oleh MUI karena penyemaian bibit fermentasi (ragi) tempatnya di lemak babi, namun kasus Akhir Ramadhan 1421H, Desember 2000-Januari 20001 itu dinyatakan oleh Gus Dur bahwa ajinomoto itu halal, dan masalahnya selesai; dan pernyataan Gus Dur yang menentang fatwa para ulama itu pun didukung AS Hikam

Dengan bukti semacam itu, bukankah bangsa Indonesia, bahkan lawan-lawan Gus Dur pun sebenarnya terlalu “sabar”, hingga tidak langsung menyumpal mulut-mulut Gus Dur, kaum Nahdliyin, dan para pendukungnya –termasuk Dr Jalaluddin Rachmat dedengkot Syi’ah berkedok tasawuf di Bandung yang membela-bela “fatwa” Gus Dur yang bertentangan dengan MUI. Padahal, dari kalangan pendukung Gus Dur justru ada yang berupaya keras mau menyumpal mulut AM Fatwa tokoh PAN (Partai Amanat Nasional) dengan kaos kaki busuk. Siapakah sebenarnya yang dikuyo-kuyo?

Dari sisi lain, orang-orang Nahdliyin yang tampaknya bagai kodok kebanyon (katak mendapatkan air) berpolah tingkah sejadi-jadinya. Tidak puas dengan membuat acara-acara bikinan berupa apa yang mereka sebut Istighotsah, lalu digede-gedekan lagi dengan istilah Istighotsah Kubro mengumpulkan orang untuk membaca-bacaan-bacaan tertentu bareng-bareng dengan suara keras. Padahal di dalam Al-Qur’an, berdo’a itu dengan merendahkan diri tadhoru’, khusyu’ dan tidak bersuara keras.

ادعوا ربكم تضرعا وخفية إنه لا يحب المعتدين.

Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A‘raaf/ 7: 55).

Nabi saw bersabda:

أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم. (متفق عليه).

Wahai umat manusia, kasihanilah dirimu dan rendahkanlah suaramu, maka sesungguhnya kamu tidak menyeru Tuhan yang tuli atau yang jauh, sesungguhnya kamu menyeru Tuhan yang Pendengar, dekat, dan Dia menyertai kamu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Acara bid’ah dan adabnya tidak sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dilaksanakan di berbagai kota, kadang disertai pernyataan-pernyataan yang sifatnya kencang. Sampai-sampai Gus Dur --yang temperamennya marah-marah ketika DPR mencecarnya tentang kenapa Departemen Sosial dan Departemen Penerangan dibubarkan, hingga Gus Dur menjuluki anggota DPR bagai anak TK (Taman Kanak-Kanak) saja-- merasa risih terhadap pendukungnya yaitu kaum Nahdliyin (NU). Maka dalam salah satu acara di Jawa Timur yang model istighotsah atau pernyataan bersama atau entah apalah namanya, Gus Dur sampai menasihati kaum Nahdliyin pendukungnya itu, agar dalam mendukungnya jangan sampai marah-marah.

Dengan kenyataan itu bisa dianalisis, seandainya kaum Nahdliyin itu benar dikuyo-kuyo seperti yang ditulis paman Gus Dur yang biasa disebut Pak ‘Ud (Yusuf Hasyim) itu, maka tentunya Gus Dur tidak menasihati seperti itu, tetapi justru agar mereka tetap melawan, atau paling kurang agar sabar menghadapi kuyo-kuyo dari pihak lawan, atau jaminan Gus Dur untuk mengentas mereka dari derita dikuyo-kuyo.

Setelah kaum Nahdliyin tidak ada yang menguyo-nguyo walau sampai berpolah tingkah dengan aneka acara bikinan itu, lalu melangkah lebih ngawur dan menentang aturan Allah SWT yang lebih dahsyat lagi yaitu mengadakan upacara yang mereka sebut Indonesia Berdo’a, yaitu acara do’a antar berbagai agama dan aliran kemusyikaan/ kebatinan di Senayan Jakarta, Agustus 2000, diprakarsai langsung oleh ketua umum PBNU Hasyim Muzadi. Padahal, orang NU biasanya shalat maghrib dengan bacaan Surat Al-Kafirun, yang ayat terakhirnya adalah لكم دينكم ولي دين. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi Islam sama sekali tidak mengajarkan untuk mengajak kaum kafirin/ non Islam dengan ujaran “ayo beribadah bersama”. Meskipun mereka hafal ayat al-kafirun itu, namun tampaknya mereka masih merasa kurang dalam hal mengadakan pelanggaran-pelanggaran yang telah dibikin-bikin yaitu do’a bersama antar agama. Lalu KH Noer Muhammad Iskandar SQ yang muqollid Gus Dur itu konon ingin mengadakan bangunan bertingkat-tingkat, tempat ibadah aneka agama. Islam paling bawah, kemudian di atasanya gereja Kristen, di atasnya lagi Gereja Katolik, kemudian atasnya lagi pure, lalu klenteng, lalu entah apa lagi. Yang penting masjidnya yang terbesar, dan tempatnya di bawah.

Pendapat yang ngawurnya sudah seperti itu tidak usah dikomentari di sini. Sudahlah.

Do’a bersama antar agama (uraian lengkap tentang haramnya do’a bersama ada di buku Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Maret 2001), acara yang sebenarnya menginjak-injak aqidah Islam itu, apakah disikapi oleh lawan-lawan Gus Dur dengan cara kaum Nahdliyin dikuyo-kuyo? Tidak. Mereka bisa disiarkan televisi, radio, koran dan sebagainya. Jalan-jalan pun tidak ditutup untuk mereka. Walaupun kelak kemudian, Februari 2001 justru di tempat basis kaum Nahdliyin yaitu Jawa Timur, mereka itu --konon dengan cucu-cucu PKI-- mengadakan penutupan jalan secara massal, itupun masih dengan merusak tanaman, yaitu menebangi ratusan pohon, lantas digletakkan di sepanjang jalan untuk menutup jalan-jalan raya. Siapakah dalam kasus ini yang dikuyo-kuyo di masa pemerintahan Presiden Gus Dur ini? Bukankah justru kaum Nahdliyin yang tingkahnya bagai kuda lepas dari pingitan istilah untuk menyindir gadis binal? Bahkan bossnya pun demikian, hingga dalam waktu setahun 7 bulan, Gus Dur telah mengelilingi 90 negara dengan menghabiskan duit rakyat bermilyar-milyar tanpa hasil apapun yang bermanfaat.

Setelah berbagai faktor ditilik, ternyata ungkapan tokoh Nahdliyin yaitu paman Gus Dur ini tidak tepat, maka perlu dibalikkan pertanyaan kepada para tokoh Nahdliyin. Secara gampangnya, kaum Nahdliyin mengamuk dan membela habis-habisan terhadap presiden Gus Dur itu hanyalah jadi kuda tunggangan yang tertipu. Mereka sampai terjerumus berbuat aneka macam tingkah yang tak terpuji, sampai terlanjur merusak masjid, madrasah, sekolahan, panti asuhan, perkantoran milik Muslimin yaitu Muhammadiyah dan Al-Irsyad itu hanyalah karena jadi kuda tunggangan, yang penungang-penunggangnya adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sampai mereka main bakar-bakaran, perusakan dan sebagainya itu sebenarnya hanyalah karena pembinaan selama ini diarahkan kepada kultus individu terhadap kiai-kiai NU. Juga fanatik/ ashobiyah yang sebenarnya sangat dilarang dalam Islam, telah disuntikkan oleh para pembina kaum Nahdliyin yang tidak lain tentunya adalah para kiai dan tokoh NU. Sehingga semua itu tanggung jawab pertama dan utama adalah di pundak para kiai NU dan tokoh-tokoh NU.

Tidak bisa lagi Gus Dur berkilah seperti biasanya bahwa kaum Nahdliyin mengamuk itu karena dibina oleh pihak lain. Karena, yang jadi sasaran saat ini justru pihak lain yang pernah dijatuhi alamat tuduhan oleh Gus Dur pada kasus perusakan gereja-gereja di Situbondo 4 tahun lalu. Saat itu Gus Dur selaku ketua umum PBNU melempar tanggung jawab moral dengan cara berkilah bahwa kejadian –yang tentu sangat menyakitkan Gus Dur yang dikenal sangat dekat dengan kaum Salib—itu dengan tuduhan bahwa kejadian itu (perusakn gereja) sampai terjadi karena anak buahnya (maksudnya kaum Nahdliyin) dibina oleh pihak lain. Lha, sekarang, kalau kenyataannya yang dirusak itu sarana peribadahan ummat Islam, sarana pendidikan dan pengasuhan anak-anak Islam, sarana perkantoran Ummat Islam khususnya milik Muhammadiyah dan Al-Irsyad, lantas siapa sebenarnya yang mendidik kaum Nahdliyin itu hingga bisa merusak sarana Muslimin Muhammadiyah dan Al-Irsyad? Sejarah telah membuktikan, kebencian atau ketidak sukaan terhadap pembersihan bid’ah, khurafat, takhayul dan kemusyrikan adalah disandang oleh kiai-kiai NU. Oleh karena itu, bagaimanapun sejak awal berdirinya sampai kejadian masyarakat Nahdliyin berbuat senekad itu semuanya yang paling bertanggung jawab adalah para ulama, kiai dan tokoh NU. Gus Dur pun tidak berkutik lagi untuk mengelak-ngelak sebagaimana peristiwa terhadap gereja. Maka, sebenarnya dalam hal ini kaum Nahdliyin itu justru dikuyo-kuyo sendiri oleh para ulamanya, para kiainya, dan para tokoh NU-nya. Sadar atau tidak, itu adalah demikian adanya. Dan dengan demikian, ungkapan KH M Yusuf Hasyim itu ada benarnya, bahwa kaum Nahdliyin di masa pemerintahan Gus Dur pun dikuyo-kuyo, itu memang benar, tetapi yang menguyo-nguyo justru para ulama Nahdliyin,. para Kiyainya, dan para tokoh politik Nahdliyin sendiri. Itu letak benarnya ungkapan Pak Kiyai H M Yusuf Hasyim. Dalam hal ini cukup jitu, pendapat beliau.

Membela kefasikan

Apa yang dikemukakan sebagai pembelaan terhadap tingkah fasiq orang-orang Jawa Timur dengan cara merusak sarana-sarana Islam itu tampak sekali dibuat-buat. Hingga banyak pihak yang menyayangkan, kenapa pihak elit (kiyai) NU ketika mengomentari terjadinya anarkis yang dilakukan pendukung Gus Dur, jawabannya seolah mensahkan adanya perilaku anarkis itu. “Ya, mereka menunjukkan sikap marahnya”. Jawaban seperti ini bisa dilihat pada elit PKB atau NU seperti Matori Abdul Djalil dan bahkan presidennya sendiri. Mestinya kan bagaimana upaya meredam bukan malah ngompori.[1]

Tetapi begitulah. Dengan mengutip sebuah studi yang dilakukan Central for Democracy and Islamic Studies (CDIS) pada tahun 1998-2000 terhadap sejumlah elit (kiyai) NU Jawa Timur, Dr Yudi Latif, peneliti Paramadina Jakarta, mengungkap, selama dua tahun itu, elit NU membuat 281 pernyataan sikap di koran-koran, dengan isi; 188 kali (67%) berisi ancaman terhadap kelompok lain (terutama yang kritis terhadap kepemimpinan Presiden Wahid), 82 kali (29%) himbauan perdamaian, dan 11 kali ajakan rekonsiliasi pada semua kelompok. Di sini terlihat betapa tajam perbedaan dan perbandingan.

Akhir kesimpulan penelitian tersebut adalah bahwa watak asli elit NU Jawa Timur sesungguhnya emosional, pemarah, dan pendendam, bahkan oportunis.[2]

Meskipun kesimpulan itu mengandung kata-kata oportunis, namun menurut salah seorang pelakunya, yakni KHM Yusuf Hasyim, tidak demikian. Justru sebaliknya. Ia katakan: “...Ada persepsi di kalangan kaum Nahdliyin, di masa Orde Lama, mereka dipinggirkan, di era Orde Baru, mereka ditindas, bahkan di zaman Gus Dur jadi presiden pun mereka dikuyo-kuyo. Tak heran bila mereka akan melawan habis-habisan setiap usaha menurunkan Gus Dur.”

Benarkah di setiap masa mereka nasibnya seperti itu? Pandangan lain pun dikemukakan oleh Prof Dr AM (Ahmad Muflih) Saefuddin, yang nama Saefuddin-nya ini adalah langsung dari Kiyai NU terkemuka di Pesantren Buntet Cirebon yaitu Mbah Kiyai Abbas. Apa kata Pak Sefuddin? Kurang lebihnya sebagai berikut:

“NU itu sholihun fi kulli zaman (baik dalam setiap zaman). Di zaman Soekarno atau Orde Lama, NU rangkulan dengan PKI. Itu Idham Chalid berangkulan dengan tokoh PKI Aidit. Lalu mereka membentuk yang namanya Nasakom (Nasional, Agama –NU—dan Komunis). Lalu zaman Soeharto atau Orde Baru mereka ramai-ramai ke Golkar. Dengan Golkar itu, mereka dipimpin KH Ahmad Siddiq “memperjuangkan” goalnya asas tunggal pancasila. Mereka lalu dihajikan, atau diberi tiket haji, dibangun pesantrennya mungkin, lalu punya mobil dan sebagainya. Itu di Cirebon dekat saya, Pesantren Buntet yang Utara itu masuk Golkar, lalu yang Selatan tidak. Maka yang dapat duit ya yang Utara, sedang yang selatan tidak. Terus sekarang ini, yang tadinya Golkar itu ya masuk ke PKB. Dapat duit lagi, kira-kira. Mungkin kalau presidennya saya, mereka juga akan ke saya, ha haa...”

Meskipun Pak AM Saefuddin itu orang yang suka bercanda, dan perkataan itu disertai tertawa, namun apa yang ia katakan –selain yang dugaan materi—adalah kenyataan yang diketahui umum. Bahkan Gus Dur atau Abdurrahman Wahid sendiri pun pernah menjadi anggota MPR dari Golkar, yang sebelumnya kelompok mereka tampaknya “berjasa” dalam menggembosi (mengempesi) partai Islam PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Awal mulanya bisa disimak dalam tulisan Gus Dur 1984 yang dikutip di buku ini yang berisi penolakan sejarah yang ditulis para sejarawan bahwa NU itu didirikan dalam rangka protes terhadap kaum pembaharu. Gus Dur juga menekankan agar orang NU jangan hanya berteman dengan satu saja yaitu PPP. Tulisan itu rupanya ditindak lanjuti dengan penggembosan massal terhadap PPP pada kampanye Pemilihan Umum 1987, setelah Gus Dur terangkat sebagai ketua umum PBNU sejak 1985.

Walaupun “perjuangan” orang NU sudah habis-habisan seperti itu, namun secara total, memang bisa dimengerti pula apa yang dikatakan Pak Yusuf Hasyim. Karena memang, di zaman Orde Baru orang Nahdliyin belum begitu mendapat apa-apa pula, kecuali mungkin sedikit. Padahal, dari segi jasanya, misalnya menyembelihi PKI pemberontak ganas 1965 yang dulunya menyembilihi para ulama waktu pemberontakan PKI Madiun 1948, orang NU termasuk barisan depan. Karena NU tidak mendapatkan bagian apa-apa, kadang-kadang di tingkat percaturan sesama Muslim pun masih tidak mendapatkan apa-apa pula, hingga Gus Dur pernah “mengeluh”, Departemen Agama ketika dikuasai orang Muhammadiyah maka dari atas sampai bawah dipimpin orang Muhammadiyah semua. Tetapi rupanya berucap itu memang lebih mudah. Hingga, begitu Gus Dur terpilih jadi presiden (karena partai-partai Islam kesulitan, kalau sampai tidak memilih Gus Dur, maka suara PKB yang di DPR 54 orang mesti milih Megawati ketua PDI-P yaitu partai gabungan dari nasionalis dan palangis/ salibis, maka diambil jalan agar PKB tidak ke PDI-P, jalannya adalah dengan mengajukan Gus Dur, lalu parta-partai Islam/ poros tengah menang suara dibanding PDIP yang dalam angka sebagai pemenang pemilu), dirinya pun tidak bisa menjaga amanah. Hingga bukan hanya Departemen Agama yang diisi dengan orang NU, bahkan orang NU atau pendukung NU yang jebolan sastra pun dijadikan menteri riset dan teknologi, yang kelak bisa membela Gus Dur dalam menghalalkan yang diharamkan MUI, yaitu bumbu masak ajinomoto yang bibit fermentasi (ragi)nya disemaikan di lemak babi.

Kalau dihitung-hitung, sebenarnya terpinggirkannya orang nahdliyin itu hanyalah lantaran seluruh Ummat Islam dipinggirkan oleh penguasa dhalim. Lalu sisa sedikit yang diberikan kepada Islam oleh penguasa itu kebetulan dalam berebut sesama rekan, NU dijauhi, karena kadang-kadang tahu-tahu pro dengan musuh Islam. Akibatnya, sekalipun dari segi lahiriyah sampai tampak memalukan cara mendekat-dekatnya dengan penguasa, namun dari segi hasil nyata secara keseluruhan (bukan secara pribadi) hampir tidak ada. Dengan demikian, tampaknya sudah memalukan, namun hasilnya tak seberapa, kecuali mungkin untuk pribadi-pribadi.

Makanya, kalau Pak Yusuf Hasyim mengemukakan seperti tersebut di atas, memang bisa dimaklumi, ya kurang lebihnya seperti itu. Tetapi masalahnya, sampai kejadian seperti itu, sebenarnya bukan karena NU itu dipinggirkan, tetapi justru Islam inilah yang dipinggirkan, sedang NU “kurang sabar” terhadap peminggiran itu hingga mereka tampak mendekat-dekat kepada penguasa atau bahkan musuh Islam, namun tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan pula. Sementara itu dengan sesama Muslim pun sudah dianggap main belakang, karena memang kadang sampai aktif mengadakan pengempesan/ penggembosan massal terhadap partai Islam. Akibatnya, posisi NU antara terpelintir, terlibas, ataupun terpental. Yang musuh Islam menganggapnya sebagai teman tentu saja ya sekadar pura-pura. Yang berkuasa, menganggapnya sebagai pendukung setia juga hanya sebagai pendorong mobil mogok. Sedang yang teman seperjuangan yaitu Muslimin telah dikhianati, maka mau berteman dengan siapa lagi? Ya jalan yang ditempuh adalah dengan jalan menggalang kultus di kalangan anak buah, baik secara sadar ataupun tidak. Maka, katika kultus telah terbangun, sedang kesempatan pun telah terbuka lebar, tetapi kenyataannya figur yang dikultuskan dan dianggap sebagai raja yang berjasa membuka kesempatan malahan terancam digoyang, maka digerakkanlah massa yang telah terbina itu sehingga berwujud aksi hebat berupa aneka perusakan massal. Benarlah apa yang Pak Yusuf Hasyim kemukakan, hanya saja memang itu semua merupakan akibat dari tingkah polah elit NU yang membikin sulit sendiri terhadap jam’iyah dan warganya. Secara sadar atau tidak, warga Nahdliyin telah jadi korban dari kaum elitnya, baik secara politik, duniawi, maupun dari segi amaliyah ibadah dan i’tiqad keimanan. Bisa dibayangkan, betapa beratnya pertanggungan jawab para elit NU, sebenarnya. Dan itulah yang dibawa mati oleh para pendahulu maupun yang akan mati esok. Orang bisa bilang kasihan kepada ulama-ulama yang shaleh-shaleh, yang ikhlas, namun tidak didengar suaranya, karena kalah braok (keras suaranya) dibanding dengan yang bedigasan (banyak tingkah). Dan orang bisa menyayangkan kepada masyarakat yang tidak mendapatkan apa-apa, tetapi terjerumus kepada ‘ashobiyah (fanatisme) yang disuntikkan demi kepentingan elit-elit yang bedigasan itu. Mereka masyrakat Muslim lemah itu kembali ke rumah masing-masing dengan aneka pikiran ruwet ekonomi, atap rumahnya bocor hingga tempat tidur dan lantai basah semua, anak-anak menangis karena lapar atau sakit, sedang mau mengutang duit ke tetangga, sekarang zamannya sudah berubah. Tolong-menolong sudah terkikis, kelembutan hati berupa kasih sayang sudah hampir musnah, pandangan mata kasih sayang sudah berganti dengan mata merah mendelik penuh curiga bahkan mau memangsa. Kesedihan orang-orang kecil makin terasa, namun masih dijerumuskan pula hanya demi mengangkat dan melanggengkan keserakahan hawa nafsu orang-orang yang bedigasan itu. Makanya seribu kali diadakan apa yang mereka sebut istighotsah hasilnya justru kefasikan secara massal, yaitu perusakan masjid, sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam.

Allah memberi pelajaran nyata kepada kita, namun kita tampaknya tidak mau tahu, karena telah terbius oleh hawa nafsu yang kita turuti semau-maunya. Hingga secara massal justru syetan-syetan elit telah menjerumuskan kita ke arah yang lebih jauh lagi, lupa terhadap peringatan-peringatan Allah SWT. Setiap kesalahan kita selalu ditutup-tutupi, sehingga sampai kita berbuat yang paling salah pun masih mereka tutup-tutupi, agar kita tidak kembali ke jalan Allah, tetapi kembali terus menerus mendukung mereka.

NU Mewajibkan Taqlid

Penggalangan dan penggiringan ke arah ‘ashobiyah dan keterjerumusan itu sudah sejak lama. Di antaranya, dikomandokanlah apa yang sebenarnya dilarang dalam Islam. Yaitu NU memfatwakan bahwa taqlid itu hukumnya wajib. Berikut ini penjelasa sejarah yang ditulis oleh Deliar Noer:

“Masalah utama yang menarik minat Nahdlatul Ulama adalah tetap masalah agama, terutama bila menyangkut pengeluaran fatwa yang didasarkan atas ajaran mazhab. Dalam kenyataan hanyalah mazhab Syafi’i yang banyak diikuti, walau ketiga mazhab lain diakui. Masalah pokok dalam hubungan ini ialah apakah bab ijtihad (pintu ijtihad) masih tetap terbuka ataukah sudah tertutup. Nahdlatul Ulama berpendapat ketika itu bahwa taqlid adalah wajib.”

Deliar Noer memberikan catatan, Nahdlatul Ulama mendasarkan ini pada dua ayat Al-Qur’an yaitu Q 4:59 (“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” ) dan 4:72. Dan (NU) menafsirkan ulil amri dalam ayat tersebut dengan ulama dan ahli fiqh. Tafsir ini berdasar Tafsir Ibnu Jarir (m. 310/ 922M), Buku V. Untuk memperkuat pandangan ini, NU mengemukakan pula suatu hadits bahwa ulama ialah pewaris Nabi. Menurut para pembaharu, hadits ini dha’if. Lihat Verslag Debat Taqlied (Cirebon: Persis, di Gebang: Irsjad, 1936), hal 43-46.[3]

Untuk menghindari perselisihan, di sini perlu dikemukakan, Hadits Al-‘Ulamau warotsatul Anbiya’ itu oleh As-Suyuthi dalam Jami’ush Shoghir didho’ifkan, riwayat Ibnu Najjar dari Anas. Namun Al-Manawi pensyarah kitab Jami’ush Shoghir dengan kitabnya Faidhul Qadir menyebut ada saksi-saksi/ penguat dari riwayat lain, hanya saja As-Suyuti tidak melihatnya yang mentakhrij, padahal sudah ditakhrij oleh Abu Na’im, Ad_Dailami, Al-Hafidh Abdul Ghani dan lainnya dengan lafadh tersebut sebagian dari hadits Anas dan sebagian dari hadits al-Baro’. (Faidhul Qadir, nomor 5705).

Mengenai taqlid, apa itu sebenarnya?

Taqlid adalah meniru atau mengikuti, yaitu meniru atau mengikuti faham/ ajaran seseorang dengan tidak mengetahui: dasar, bukti ataupun alasan-alasannya. Bertaqlid dalam urusan agama merupakan perbuatan tercela karena dapat membawa kesesatan. Seseorang yang kurang/ tidak memahami tentang Islam hendaknya segera bertanya kepada yang ahli dan mempelajari dasar pokok sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Rasul-Nya. Setiap yang dikerjakan dalam ibadah hendaknya disertai dengan pengertian, pengetahuan, dan kefahaman.

Allah SWT mencela sikap bertaqlid dalam soal agama, sebagaimana firman-Nya: Dan Apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” merekapun menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al-Baqarah/ 2: 170).

Tentang taqlid, imam dari 4 mazhab berkata:

- Imam Abu Hanifah: Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya itu.

- Imam Malik: Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang berbuat salah dan kadang-kadang benar. Selidiki pendapat saya, kalau sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, ambillah, dan yang menyalahi hendaknya ditinggalkan.

- Imam Syafi’i: Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa alasan/ hujjah, laksana orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang dapat mematuk sewaktu-waktu, dan ia tidak mengetahuinya.

- Imam Ahmad bin Hanbal: Jangan bertaqlid/ mengikuti saya, atau Malik, atau Ats-Tsauri, atau Al-Auza’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.[4]

Debat Taqlied terjadi di Gebang Cirebon Mei 1936 dijadikan contoh oleh Deliar Noer adanya perkelahian fisik dengan tuduhan kafir mengkafirkan, di samping debat talqien di Cirebon 29 Juli 1932, dan persitiwa di Babat Jawa Timur 1926.

Fatwa tentang Taqlied dari Rival NU

Untuk melengkapi perbendaharaan, perlu dikemukakan fatwa Ulama Persis, Ahmad Hassan yang bangkit sejak 1920 atas gugahan da’i Pakih Hasyim (murid Kiyai Haji Rasul Minangkabau) di Surabaya yang menyebarkan pembaharuan lewat Al-Irsyad. Berikut ini Fatwa A Hassan mengenai Taqlied ketika ditanya orang sebagai berikut:

Soal: Bolehkah kita percaya kepada ‘ulama dan bolehkah kita taqlied kepada mereka?

Jawab: Dua pertanyaan itu, maksudnya sama saja, yaitu dalam urusan agama, bolehkah kita berpegang kepada ‘ulama dengan tidak ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya?

Buat menggampangkan soal-jawab di dalam hal yang tersebut itu, perlu kita tau dahulu arti ijtihad ( اجتهاد ), ittiba’ ( اتباع ) , dan taqlied ( تقليد ( . Begitu juga perkataan Mujtahid (مجتهد ), Muttabi’ (متبع ), dan Muqallid (مقلد ).

Ijtihad itu, artinya yang asal, ialah bersungguh sungguh. Dan artinya yang dipakai ulama, ialah bersungguh-sungguh memeriksa dan memahami dalam-dalam akan keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan qiyas.

Orang bekerja semacam yang tersebut itu, dinamakan Mujtahid.

Orang yang jadi Mujtahid itu, tentulah perlu mengetahui bahasa ‘Arab sekedar cukup buat mengerti keterangan-keterangan itu dengan jelas, sebagaimana ia mengerti bahasanya sendiri, kalau ia bukan orang ‘Arab.

Ijtihad itu perlu sangat di dalam hal keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di Al-Qur’an atau di Al-Hadits tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di waktu itu, perlu hakim, atau ketua Islam, berijtihad dan diqiyaskan hal itu dengan hukum-hukum Islam yang sudah ada tersebut terang di Al-Qur’an atau Al-Hadits, dengan beberapa sebab, yaitu seperti zakat dari barang-barang makanan dari hasil bumi umpamanya.

Di dalam Islam ada tersebut, wajib kita keluarkan zakat dari gandum, dan zakat itu buat orang miskin, dan urusan umum dan lainnya. Tetapi sekarang di sini tidak ada gandum hanya ada padi, sedang orang-orang miskin dan keperluan umum tetap ada.

Maka di sini baru boleh diqiyaskan, karena ada keperluan dan ada jalan dan sebab buat diqiyaskan.

Di negeri Arab dikeluarkan zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu gandum, lantas diberikan kepada orang miskin, maka di sini juga diambil zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu beras atau sagu atau lainnya, lantas diberikan kepada orang miskin.

Maka qiyas itu berlaku atas padi atau beras atau sagu tadi, ialah karena barang-barang itu jadi makanan umum di sini, sebagaimana gandum jadi makanan umum di sana.

Orang yang Mujtahid, memang dipuji oleh agama, bahkan boleh dibilang diwajibkan ijtihad atas orang yang bisa.

Ittiba’ artinya yang asal, ialah menurut. Dan arti yang dipakai oleh ulama, yaitu menurut apa-apa perintah, larangan dan perbuatan Rasul, dan perbuatan sahabat-sahabatnya, maupun ia dapat perintah, larangan, dan perbuatan itu dari membaca sendiri ataupun ia dapat karena bertanya kepada ulama, bukan bertanya fikiran ulama.

Orang yang menurut seperti yang tersebut itu dinamakan Muttabi’ .

Muttabi’ itu tidak perlu tahu bahasa Arab karena keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu hukum yang biasa buat beramal, bukan untuk memeriksa dalam-dalam buat qiyas mengqiyas, memberi fatwa dan sebagainya.

Kewajiban umat Islam di dalam hal berpegang kepada agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu berijtihad atau ber-ittiba’, tidak lain.

Di antara sahabat-sahabat Nabi tidak berapa banyak Mujtahid, tetapi selain dari Mujtahid itu, semuanya muttabi’, tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang muqollid, karena kalau mereka tidak tahu sesuatu hukum, lantas mereka bertanya kepada Nabi sendiri atau kepada sahabat-sahabt Nabi, bagimana perintah Nabi di perkara itu.

Orang yang iitiba’ itu kalau berjumpa dua keterangan yang berlawanan, maka pada masa itu, wajib ia periksa betul-betul mana yang kuat.

Umpamanya ada orang yang berkata, bahwa ada hadist mengatakan, membaca Al-Fatihah di belakang imam itu wajib dan ada lain orang alim pula berkata, bahwa ada hadits mengatakan tidak boleh membaca Al-Fatihah di belakang Imam, maka pada masa itu, si muttabi’ wajib memeriksa mana yang lebih kuat keterangannya, karena di antara dua hadits itu, tentu ada yang lemah.

Jangan ia berkata: Saya tak bisa periksa, karena saya bukan orang alim.

Kalau mau, semua bisa!

Ingatlah, kalau ada tersiar khabar tentang terbit uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa dengan sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak palsu.

Mengapakah tidak ia berkata: Saya tak tahu memeriksa uang palsu, karena saya bukan orang bank?

Mengapakah di perkara akherat saja orang-orang suka berkata: Saya tak bisa?

Taqlied artinya yang asal, ialah meniru; dan artinya yang digunakan oleh ahli agama, yaitu menurut perkataan atau perbuatan seseorang di dalam hal agama. Dengan tidak mengetahui keterangan dari Al-Qur’an atau Al-Hadits di tentang itu. Orang yang menurut orang lain seperti yang tersebut itu, dinamakan Muqollid.

Taqlied itu dilarang oleh agama. Firman Allah:

لا تقف ما ليس لك به علم.

Artinya: “Janganlah engkau turut apa yang engkau tidak tahu.” (QS Bani Israil: 36).

Dan Firman Allah:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون.

Artinya: “Tanyalah kepada ahli Al-Qur’an, kalau kamu tidak tahu.” (QS An-Nahl: 43).

Bertanya kepada ahli Al-Qur’an itu, tentulah dari hal Al-Qur’an, bukan dari hal fikirannya.

Bukan Allah saja melarang orang-orang bertaqlied, tetapi imam-imam yang mereka taqliedi itu sendiri melarang keras orang-orang bertaqlied kepada mereka.

Imam Hanafi melarang orang bertaqlied kepadanya. Begitu juga sahabatnya yang bernama Abu Yusuf. Begitu juga imam-imam Maliki, Syafi’ie, dan teristimewa pula Imam Hanbali, ia berkata, “ Janganlah kamu taqlied kepadaku, dan jangan kepada Malik, dan jangan kepada Syafi’ie, tetapi ambillah agama kamu dari mana mereka itu ambil.”

Heran, kita memikirkan orang-orang kita sekarang! Mereka mengaku bertaqlied kepada imam-imam, padahal Allah, Rasul-Nya, dan imam-imam yang mereka taqliedi sendiri melarang mereka bertaqlied.

Kalau kita tidak mau turut Allah dan Rasul, dan tidak mau turut perkataan imam-imam yang setuju dengan perkataan Allah dan Rasul, patutkah kita bergelar orang Islam?

Orang-orang kita di sini, mengaku menurut Imam Syafi’ie maka cobalah mereka dan guru-guru mereka yang alim unjukkan satu perkataan Imam Syafi’ie tentang membenarkan orang bertaqlied. Tukang-tukang taqlied yang sudah kehabisan alasan, sering berkata bahwa kami tidak bisa faham Al-Qur’an dan Al-Hadits lantaran payahnya, oleh sebab itu, kami turut-turut imam saja. Perkataan itu dusta belaka. Sebenarnya Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak lebih payah daripada kitab Imam-imam, bahkan Al-Qur’an dan Hadits bisa difaham dengan lebih gampang, karena ada banyak penerangan-penerangannya yang dibikin oleh orang-orang dahulu. Dengan sedikit keterangan itu saja, bisalah difaham, bahwa orang Islam yang bisa ijtihad itu wajib ijtihad, kalau perlu; dan yang lain-lain daripada itu wajib ittiba’. Adapun taqlid itu tidak halal sama sekali.[5]

NU berfatwa bukan langsung dalil Al-Qur’an atau Al-Hadits

Di samping mewajibkan taqlied, NU dalam berfatwa secara resmi lewat keputusan muktamar-muktamarnya pun tidak langsung merujuk kepada Ayat Al-qur’an maupun matan Al-Hadits, namun hany berlandaskan kepada kitab-kitab yang mereka sebut kitab Mu’tabaroh, yaitu kitab-kitab madzhab yang NU tentukan (akui) sebagai rujukan. Hingga kitab-kitab tafsir ataupun hadits justru nisanya jarang jadi rujukan.

Berikut ini contoh fatwa dari Muktamar NU tentang membaca Manaqib (kisah) Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Bisa kita bedakan dengan fatwa Lajnah Da’imah di Arab ataupun bahkan fatwa ulama Indonesia sendiri yang bukan orang NU. Berikut ini contoh Fatwa NU dalam bentuk soal jawab:

206 ما قولكم فيمن جمع جيرانه فقرأ مناقب الشيخ عبد القادر الجيلاني فمد لهم سماطا فما حكم ذلك. هل هو حرام أو سنة أو مكروه؟ (تكال ).

ج أما قراءة مناقب بعض الأولياء فحسن لأنه يؤدي إلى محبة الأولياء. وأما مد السماط فسنة إذا قصد به إكرام الضيوف من كان يؤمن بالله فليكرم ضيفه كما في جلاء الظلام على عقيدة العوام ونصه: فصل. إعلم ينبغي لكل مسلم طالب الفضل والخيرات أن يلتمس البركات والنفحات واستجابة الدعاء ونزول الرحمات في حضرات الأولياء قي مجالسهم وجمعهم احياء وأمواتا وعند قبورهم وحال ذكرهم وعند كثرة الجموع في زيارتهم وعند مذاكرات فضلهم ونشر مناقبهم اه.

206 S: Bagaimana pendapat Mu’tamar, tentang orang yang mengundang tetangganya, lalu membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jilani, lalu mengajukan makanan. Bagaimana hukumnya? Haramkah? Atau sunnah? Ataukah Makruh? (Tegal).

Jawab: Adapun membaca Manaqibnya para wali, itu baik, karena dapat mendatangkan kecintaan terhadap para Wali, adapun memberi makanan, itu hukumnya sunnah, kalau dengan maksud memulkyakan tamu, dalam Hadits yang artinya siapa yang beriman kepada Alloh, harap supaya menghormat pada tamunya. Keterangan dari Kitab Jala-ud-Zhulam ‘Ala ‘Aqidatil Awam.[6]

Teks dari kitab itu tidak diterjemahkan. Kalau diterjemahkan, isinya sebagai berikut:

“Ketahuilah. Seyogyanya setiap Muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan-kebaikan hendaknya mencari berkah-berkah, pemberian-pemberian, dan diijabahinya do’a dan turunnya rahmat-rahmat di hadapan para wali di majlis-majlis dan perkumpulan-perkumpulan mereka dalam keadaan hidup dan mati dan di sisi kubur-lubur mereka, dan ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul menziarahi mereka, ketika peringatan-peringatan keutamaan mereka, dan penyebaran manaqib mereka. Selesai.”

Jawaban Mu’tamar NU seperti itu tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah Islam. Pertama, tidak diteliti dulu, apa isi kitab Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani itu. Kedua, landasannya apa merujuk kepada kitab Jalaud-Zulam ‘Ala ‘Aqidatil Awam yang tidak menampilkan dalil itu. Ketiga, suruhan untuk mencari berkah kepada orang yang sudah mati dan di kubur-kuburnya, itu landasannya apa. Nabi saw saja tidak dicari berkahnya (para sahabat tidak bertabarruk kepada beliau) setelah beliau wafat, apalagi kepada kuburnya.

Dari berbagai masalah itu coba kita lacak.

Drs Imron AM menulis khusus sorotan terhadap masalah ini dalam bukunya berjudul Kitab Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam. Di antaranya ia mengemukakan:

“Di dalam kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani dapat kita temukan do’a istighotsah (minta tolong) kepada mayit atau roh-roh yang dipandang suci antara lain sebagai berikut:

Wahai hamba-hamba Allah, laki-laki hamba-hamba Allah,

Tolonglah kami, karena Allah.

Jadilah kalian penolong-penolong kami karena Allah. Barangkali berhasil dengan kemurahan Allah.

Wahai wali-wali aqthab, wahai wali-wali anjab. Wahai paduka-paduka, wahai kekasih-kekasih.

Dan kalian wahai orang-orang yang berakal.

Kemarilah, tolonglah kami, karena Allah...(Lubabul Ma’ani 95).

Dan ada do’a Istighotsah seperti itu (kepada mayit):

أيها الأرواح الطاهرة من رجال الغيب والشهادة كونوا عونا لنا في نجاح الطلبات وتيسير المرادات...

Wahai roh-roh yang suci dari laki-laki yang mengetahui yang ghaib dan yang terlihat. Jadilah engkau semua penolong-penolong kami, untuk terkabulnya permintaan kami dan memudahkan berhasilnya maksud-maksud kami...(Lubabul Ma’ani 93-94).

Itulah contoh do’a-do’a istighotsah yang lazim dibaca dalam upacara-upacara manakiban atau khaul dan sebagainya yang isinya memanggil roh-roh di alam Barzakh untuk dimintai pertolongan berhasilnya maksud-maksud dan hajat-hajat. Dan itu pulalah do’a-do’a yang dipanjatkan kepada makhluk yang sudah menjadi mayat.

Di dalam kitab Al-Ibda’ dinyatakan:

“Permintaan pertolongan kepada makhluk dalam hal-hal yang di luar kemampuan manusia adalah tidak boleh, karena permintaan semacam itu berarti do’a, sedang do’a adalah ibadah, bahkan sari ibadah, padahal selain Allah tidak berhak diibadahi.” (Al-Ibda’, Syekh Ali Mahfuzh, hal 270).

Maksud dari pendapat di atas, bahwa permintaan pertolongan akan hal-hal di luar batas pemilikan dan kekuasaan berarti do’a, sedangkan do’a adalah ibadah, bahkan sari patinya ibadah, padahal selain Allah tidak berhak diibadahi atau dipanjati do’a maka segala istighotsah seperti itu kepada makhluk hidup atau mati, adalah berarti ibadah kepada makhluk, sedang ibadah kepada makhluk adalah sesat atau kufur.

Maka jelaslah acara manakiban dengan do’a-do’a istighotsahnya kepada arwah yang dipandang suci adalah sesat.”[7]

Allah SWT melarang istighotsah/ do’a kepada selain Allah:

ولا تدع

من الظالمين. (يونس : 106).



“Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu; jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, adalah termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik).” (Yunus: 106).

Ayat-ayat lain berkenaan dengan itu di antaranya QS Yunus 107, QS Al-Ankabut: 17, QS Al-Ahqaf: 5-6, dan QS An-Naml: 62.

Ada pula hadits yang menegaskan masalah ini:

روى الطبراني بإسناده: أنه كان زمن النبي ص م منافق يؤذي المؤمنين فقال بعضهم: قوموا بنا نستغيث برسول الله ص م من هذا المنافق. فقال النبي ص م : إنه لا يستغاث بي وإنما يستغاث بالله.


Thabrani meriwayatkan di dalam Kitab Isnadnya bahwa pada zaman Nabi saw terdapat seorang munafik yang selalu menyakiti orang mukmin. Maka di antara orang mukmin itu berkata: “Marilah kita minta dihilangkan kesukaran kita dari kelakuan munafik ini kepada Nabi saw. Kemudian Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya tidak boleh itighotsah kepadaku, tetapi istighotsah itu seharusnya hanya kepada Allah saja.” (HR At-Thabrani, lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimi, halaman 81).
Selain masalah istighotsah, dalam Fatwa Mu’tamar NU itu ada masalah pula tentang mencari berkah dengan menghadiri kubur-kubur para wali. Masalah ini bertentangan dengan hadits nabi SAW:

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام ومسجد الرسول ص م و مسجد الأقصى.

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw beliau bersabda: “Janganlah diikatkan kendaraan-kendaraan melainkan ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Rasul saw, dan Masjid Al-Aqsha.” (Hadits shahih riwayat Al-Bukhari 2/56, Muslim 4/102, 126, Abu Dawud nomor 2033, Ahmad 2/501, Darimi 1/330, Ibnu Majah nomor 1409 dan An-Nasaa’i).

Ustadz Abdul Hakim Abdat menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut:

a. Janganlah diberhentikan kendaraan di satu tempat dengan maksud untuk mencari berkat dan keutamaannya kecuali kepada tiga masjid yang tersebut di atas. (Disebutnya kendaraan karena biasanya orang yang mengadakan perjalanan/ safar itu dengan menaiki kendaraan).

b. Janganlah mengadakan perjalanan/ safar ke suatu tempat dengan maksud mencari berkah dan keutamaannya di situ kecuali kepada tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul saw, dan Masjid al-Aqsha.

Di dalam salah satu lafadz Imam Muslim (4/126) disebutkan sebagai berikut:

إنما يسافر إلى ثلاثة مساجد: مسحد الكعبة ومسجدي ومسجد ايلياء.

“Hanyasanya (dibolehkan) safar ( ke suatu tempat untuk mencari berkah dan keutamaannya) kepada tiga masjid: Masjid Ka’bah, Masjidku, dan Masjid Iyliaa (Masjidil Aqsha).” (HR Muslim).

Mengenai hadits tersebut Ustadz ini menjelaskan:

Nabi saw telah MENGHARAMKAN umatnya mengadakan safar atau ziarah atau memilih/ mengkhususkan tempat dengan maksud TABARRUK dan IBADAH, bahwa tempat itu lebih utama dari tempat-tempat lainnya seperti: Masjid-masjid (kecuali tiga masjid di atas), tempat-tempat bersejarah (Gunung Thur, Goa Ash-habul Kahfi, Goa Hira’, Goa Tsur) atau ziarah ke kuburan para nabi dan orang-orang sholih buat tabarruk (mencari berkah) sehingga diadakan safar atau dipilih secara khusus ke tempat-tempat tersebut (tusyaddur rihalu).
Misalnya, orang yang berziarah ke Masjid Demak di Jawa dengan maksud ibadah dan mencari berkah lantaran Masjid Demak itu dibangun oleh ‘para wali’, maka yang demikian itu terkena larangan Nabi saw di atas. Karena tidak ada perbedaan antara Masjid Demak dengan masjid Ar-Rahman atau masjid mana saja, tentang mendapatkan keutamaan shalat di tiap-tiap masjid. Karena kita dilarang memilih suatu masjid untuk mencari kelebihan dari yang lain kecuali kepada tiga masjid yang Nabi saw bolehkan di atas.
Dari sini kita dapat mengerti dengan sebaik-baiknya pemahaman bahwa mencari berkah di masjid tertentu --kecuali tiga masjid yang disebutkan Rasulullah saw mengenai keutamaannya-- maka bagaimana dengan TEMPAT YANG BERNAMA KUBUR!??? Apakah kubur lebih utama daripada masjid? Jawablah wahai orang-orang yang berakal!
Dikecualikan dari larangan Nabi saw ialah bagi penuntut-penuntut ilmu atau pedagang-pedagang, safar ke suatu tempat (bukan kuburan). Karena niat mereka bukan untuk tabarruk, atau mengkhususkan tempat-tempat itu untuk beribadah lantaran ada keutamaannya, akan tetapi untuk menunaikan hajat mereka, termasuk juga penuntut ilmu ialah penyelidik-penyelidik sejarah.[8]
Demikianlah, bisa kita bandingkan, antara fatwa hasil keputusan Mu’tamar NU yang menseyogyakan cari berkah ke kubur-kubur para wali dan larangan dari Nabi saw tentang bepergian mencari berkah kecuali ke tiga Masjid (Masjidil Haram Makkah, Masjid Nabawi Madinah, Masjidil Aqsha di Palestina).

Penggalakan pembacaan Manaqib dan mencari-cari berkah ke kubur-kubur para wali ternyata merupakan salah satu keputusan Mu’tamar NU, tepatnya Mu’tamar ke-12, di Malang Jawa Timur, 12 Rabi’uts Tsani 1356H/ 25 Maret 1927. Maka tidak mengherankan, acara-acara yang sangat rawan kemusyrikan itu sangat memasyarakat di kalangan Nahdliyin, karena memang sudah menjadi keputusan Mu’tamar NU sejak zaman penjajahan Belanda. Bisa dibayangkan, betapa senangnya kafirin Belanda dengan adat yang bisa merusak aqidah Islam dan mengalihkan semangat jihad itu ke arah yang mubadzir, menguras harta, dan mengancam aqidah pula. Missi penjajah Belanda yang diantaranya diarsiteki oleh van der Plash benar-benar sukses dalam hal ini. Sementara itu missi Islam, da’wah Islam mendapatkan tantangan berat. Sedang dari segi kemajuan dunia, ummat Islam pun menjadi terpuruk, hartanya terkuras ke hal-hal yang sia-sia, bahkan merusak aqidah pula.

Setelah missi penjajah itu sukses, lalu di masa penjajah telah minggat terusir dari Indonesia, ummat Islam awam masih tertimpa-timpa derita pula, yaitu disemangati ke arah fanatik ashobiyah dan kultus dengan aneka cara secara berlama-lama dan sistematis. Akibatnya, ummat Islam awam itu membela kiyainya, tokohnya atau bahkan jam’iyahnya melebihi membela Islam itu sendiri. Hingga merusak masjid pun tak dianggap “berdosa”, karena demi membela kiyainya, tokohnya, ataupun jam’iyahnya.

Di saat semuanya itu telah terjadi selama ini, kalau kita sadari, tahu-tahu kita telah jauh dari jalan Islam yang benar, dan tahu-tahu kita hidup hanya jadi kuda tunggangan syetan-syetan elit untuk kepentingan mereka. Betapa ruginya kita.

والعصر ....

الصبر.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr 1-3).

Selama ini sifat kesabaran telah kita buang, kita ganti dengan kemarahan dan kekerasan. Maka orang akan bisa menyayangkan, kenapa hal ini terjadi. Kenapa dalam data penelitian tersebut di atas, ternyata elit-elit jam’iyah lah yang melakukan kemarahan, emosional, dan dendam. Kemarahan pun tidak ada hasilnya. Justru kemarahan itu telah dicatat orang, dicatat malaikat, akan dipertanggung jawabkan di sisi Allah SWT karena telah mampu menggerakkan massa sampai merusak. Benar-benar dalam keadaan merugi, menurut Al-Qur’an. Maka jalan keluarnya adalah harus kembali untuk menjadi orang yang beriman, beramal shalih, nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan menetapi kesabaran.

Dalam beramal shalih itu agar diterima Allah SWT syaratnya adalah:

1. Iman

2. Ikhlas

3. Ittiba’ur Rasul (mengikuti tuntunan Rasulullah saw).

Iman menjadi syarat untuk diterimanya amal itu seperti ditegaskan oleh Allah SWT:

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة. (النحل: 97).



“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, laki-laki atau perempuan, sedang ia seorang mu’min, maka Kami akan memberinya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97).

Ikhlas menjadi syarat diterimanya amal, karena Allah SWT berfirman:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5).

Nabi saw bersabda:

إن الله عز وجل لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصا وابتغي به وجهه (رواه النسائي وصححه الالباني).



“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima suatu amal kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharap wajah-Nya.” (Diriwayatkan oleh Imam An-Nasaa’i dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihnya nomor 56).

Ittiba’ur Rasul saw menjadi syarat diterimanya amal, karena Allah SWT berfirman:

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله.



“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihimu.” (Ali Imran: 31).

Nabi saw bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد.



“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim).

Jadi dalam beramal, kita mesti memiliki syarat, yatiu beriman, ikhlas karena Allah SWT saja, dan ittiba’ur Rasul yaitu mengikuti sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Tarekat-tarekat, dzikir-dzikir bikinan, shalawat-shalawat bikinan, istighotsah kubro dan sebagainya itu sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah saw. Maka, berarti kita telah menafikan (meniadakan) satu syarat yaitu ittiba’ur Rasul. Akibatnya, kita hanya menjadi pengikut para elit walau nama elit itu ulama; bukan mengikuti Rasulullah saw. Ulama hanya berhak mewarisi. Tidak berhak mencipta ibadah-ibadah. Kalau kita tetap mempertahankan dukungan kepada elit-elit itu, yang dalam hal ini tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw, maka termasuk orang-orang yang rugi, menurut Al-Qur’an. Sedang diri kita masing-masing akan dipertanggung jawabkan sendiri-sendiri, bukan tenggung jawab jam’iyah ataupun kelompok. Mari kita selamatkan diri kita masing-masing.




--------------------------------------------------------------------------------

[1] Media Dakwah, Dzulhijjah 1421H/ Maret 2001, halaman 52.

[2] Ibid, halaman 52.

[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, 1980, halaman 253.

[4] Drs Shodiq SE, kamus Istilah Agama, CV Sienttarama, Jakarta, cetakan II, 1988, halaman 346-347.

[5] A. Hassan, Soal –Jawab Berbagai Masalah Agama, 1, Persatuan, Bangil, 1985, halaman 433-437.

[6] Kumpulan Masalah-masalah Diniyah dalam Mu’tamar NU ke 1 s/d 15, 1926-1940, PBNU, CV Toha Putra Semarang, juz I, halaman 72-73.

[7] Drs Imron AM, Kitab Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam, Yayasan Al-Muslimun, Bangil, cetakan I, 1990, halaman 46-47.

[8] Abdul Hakim bin Amir Abdat, 25 Masalah Penting dalam Islam, Yayasan Al-Anshor, Jakarta, cetakan pertama, 1417H/ 1997M, halaman 115-116.

Tidak ada komentar: