Catatan Kecil

Total Tayangan Halaman

Kamis, 20 Januari 2011

Siapakah Wahhabi?

Dakwah salafiyyah yang berusaha mengajak umat ini kepada tauhid dan sunnah dicap sebagai Wahhabiyah. Julukan seperti ini diberikan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan dakwah kepada tauhidullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya dengan maksud untuk menjauhkan umat darinya.

Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi

Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu[1]. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?

Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Di Najd dan sekitarnya:

o Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-haq.

o Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.

o Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal. 90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)

2. Di dunia secara umum:

Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid)

Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) -sebelum keruntuhannya-. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.[2] Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)

Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat.

Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu.

Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi

1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi[3], ingkar terhadap Hadits nabi[4], merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.

Bantahan:

o Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

o Beliau berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat -semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau-, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

o Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)

o Adapun tentang syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata -dalam suratnya kepada penduduk Qashim-: “Aku beriman dengan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)

2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait

Bantahan:

o Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)

o Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.

3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.

Bantahan:

o Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah[5]. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.

Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan -dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah-: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”

Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bukan ajaran Khawarij.

o Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya[6].

o Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadapq kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata -dalam suratnya untuk penduduk Qashim-: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah subhanahu wata’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.

4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.[7]

Bantahan:

o Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)

5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.[8]

Bantahan:

o Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan -dalamq suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi-: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku -alhamdulillah- adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)

o Beliau juga berkata -dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani-:”Perhatikanlah -semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatimu- apa yang ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal -semoga Allah subhanahu wata’ala meridhai mereka-, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)

o Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah subhanahu wata’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah subhanahu wata’ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah subhanahu wata’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)

6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)

Bantahan:

o Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.” (Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)

7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan![9]

Jawaban:

o Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atauq pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.

o Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,[10] di antaranya adalah:

Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman[11] dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.[12]

Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.[13]

Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.[14] Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,[15] Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,[16] Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,[17] Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.

Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.[18]

Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.

8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.

Jawaban:

Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah subhanahu wata’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata -dalam suratnya kepada penduduk Qashim-: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah subhanahu wata’ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah subhanahu wata’ala.”[19]

Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya -sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah-.[20] Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.

Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)

Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:

o Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi

o Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.

o Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.

o Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.

o ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.

o Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.

Di Jazirah Arabia[21]

Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.

Di Dunia Islam[22]

Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah subhanahu wata’ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.

Pujian Ulama Dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau

Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.[23]

1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).

Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:

Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana

Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya

2. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:

Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan

Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia

Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama

Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai

3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir). Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”

5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau -ketika dicap sebagai Wahhabi- berkata:

Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi

Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi

Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku

Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi

6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”

7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.

8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala-, yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”

9. Ulama Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini.

Penutup

Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Diambil dari: http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=337
[1] Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.

[2] Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid.

[3] Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

[4] Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.

[5] Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah.

[6] Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.

[7] Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.

[8] Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.

[9] Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.

[10] Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.

[11] Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.

[12] Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.

[13] Hafizh negeri Hijaz di masanya.

[14] Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.

[15] Ulama besar Madinah di masanya.

[16] Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.

[17] Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.

[18] Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.

[19] Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119

[20] Ibid, hal. 76.

[21] Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145.

[22] Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149.

[23] Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.

Kamis, 30 September 2010

Dosa Meninggalkan Shalat Lebih Besar dari Dosa Zina

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.



Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.



Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya



Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)



Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)



Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)



Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?



Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?



Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).



Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.



Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.



Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.



Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)



Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.



Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an



Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,



فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا



“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)



Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)



Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.



Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,



إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا



”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.



Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,



فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ



“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,



إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ



“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)



Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits



Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.



Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ



“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).



Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ



“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).



Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ



”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.



Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir



Umar mengatakan,



لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ



”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”



Dari jalan yang lain, Umar berkata,



ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ



“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.



Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,



كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ



“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)



Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.



Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)



Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat



[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.



[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.



[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)



[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.



[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,



وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)



“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)



Penutup



Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“



Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12)



Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).



Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“



Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)



Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

Jumat, 27 Agustus 2010

Hukum Qunut Shubuh

Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur`an maupun As-sunnah yang shahih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar, hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu tertolak.” Dan dalam riwayat Muslim, “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) tertolak.”
Hal ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama , qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih, dan Imam Syafi ’iy.
Pendapat kedua , qunut shubuh tidak disyariatkan karena sudah mansukh ‘ terhapus hukumnya’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury, dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga , q unut pada shalat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah yang boleh dilakukan pada shalat shubuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy, dan ahli fiqih dari para ulama Ahlul Hadits.
• Dalil Pendapat Pertama
Dalil terkuat yang dipakai oleh para ulama, yang menganggap qunut subuh itu sunnah, adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 3/110 no. 4964, Ahmad 3/162, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 220, Al-Hakim dalam Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Rayah2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugra ` 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no. 639, Ad-Daraquthny dalam Sunan -nya 2/39, Al-Maqdasy dalamAl-Mukhtarah 6/129-130 no. 2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 689-690 dan Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no. 753, dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/255 dan Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Razy, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishahihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashatul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata, “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedangkan rawi yang meriwayatkannya dari Ar-Rabi’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Razy mutakallamun fihi (dikritik)?” Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i, “Laisa bil qawy (bukan orang yang kuat).” Berkata Abu Zur’ah, “Yahimu katsiran (Banyak salahnya).” Berkata Al-Fallas, “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya).” Berkata pula Ibnu Hibban, “Dia bercerita dari rawi-rawi yang (membuat) masyhur hal-hal yang mungkar.”
Ibnul Qayyim, dalam Zadul Ma’ad jilid I hal. 276, setelah menukil suatu keterangan dari gurunya, Ibnu Taimiyah, tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Razy, berkata, “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Razy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya.”
Bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-Razy ini, akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah jarh mufassar ‘ kritikan yang jelas menerangkan penyebab kelemahan seorang rawi’. Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata, “Shaduqun sayyi`ul hifzh khusushan ‘anil Mughirah ‘ jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah’.”
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab:
Pertama , makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdoa untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdoa (kejelekan atas suatu kaum).” Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua , adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Razy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan kelemahan dan ketidaktetapan Abu Ja’far Ar-Razy dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/104 no. 7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh Imam Al Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan lain yang menguatkan hadits tersebut, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut.
Jalan Pertama , dari jalan Al-Hasan Al-Bashry, dari Anas bin Malik, beliau berkata,
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (perawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah dengan mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al-Hasan oleh dua rawi,
Pertama , ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al-Baihaqy 2/202, Al-Khatib dalam Al-Qunut dan dari jalan Al-Khatib, Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no. 693, dan Adz-Dzahaby dalamTadzkirah Al-Huffazh 2/494. Dia adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan, dalam periwayatan hadits, dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits ‘ ditinggalkan haditsnya’.
Kedua , Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dan Al-Baihaqy. Dia dianggap matrukul hadits oleh banyak imam (baca Tahdzibut Tahdzib ).
Catatan
Berkata Al-Hasan bin Sufyan dalam Musnad -nya, “Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihran, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf, dari Al-Hasan, dari Anas, beliau berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka beliau terus-menerus qunut pada shalat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau.” .”
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418, karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf, tetapi dari ‘Amru bin ‘Ubaid sebagaimana dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar -dan beliau(?) ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua , dari jalan Khalid bin Da’laj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik,
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan di belakang ‘Umar lalu beliau qunut, dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut.”
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Razy, tetapi Ibnu Turkumany, dalam Al-Jauhar An-Naqy , menyalahkan hal tersebut dengan berkata, “Butuh dilihat keadaan Khalid, apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daraquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’in berkata (di kesempatan lain), ‘ Laisa bi syay`in ‘ tidak dianggap’,’ dan An-Nasa`i berkata, ‘ Laisa bi tsiqah ‘ bukan tsiqah’.’ Dan tidak seorang pun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengategorikannya ke dalam rawi-rawi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya, ‘ Terus-menerus beliau qunut pada shalat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia,’ tidak terdapat dalam hadits Khalid. Yang ada hanyalah ‘ Beliau (Nabi) ‘alaihis salam qunut,’ dan ini adalah perkara yang ma’ruf ‘ dikenal ‘ . Dan yang aneh hanyalah (perkataan) ‘ terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia’. Maka, terlepas dari anggapan dia yang cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid(pendukung)?”
Jalan ketiga , dari jalan Ahmad bin Muhammad, dari Dinar bin ‘Abdillah, dari Anas bin Malik,
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal.”
Dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Qunut , dan dari jalan Al-Khatib, Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no. 695.
Ahmad bin Muhammad, yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil, adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Adapun tentang Dinar bin ‘Abdillah, berkata Ibnu ‘Ady, “Mungkarul hadits ‘ mungkar haditsnya ’ .” Berkata pula Ibnu Hibban, “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya.”
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian, anggaplah dalil mereka itu shahih bisa dipakai berhujjah, tetap tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut, secara bahasa, mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi, dan Ibnul Arabi:
1. Doa.
2. Khusyu’.
3. Ibadah.
4. Taat.
5. Menjalankan ketaatan.
6. Penetapan ibadah kepada Allah.
7. Diam.
8. Shalat.
9. Berdiri.
10. Lamanya berdiri.
11. Terus menerus dalam ketaatan.
Selain itu ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022,Mufradat Al-Qur`an hal. 428 karya Al-Ashbahany, dan lain-lain.
Maka jelaslah kelemahan dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
• Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika selesai membaca (surah pada rakaat kedua) dalam shalat Fajr kemudian bertakbir lalu mengangkat kepalanya (i’tidal), berkata, ‘ Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,’ lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri, ‘Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan, dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian sampai kepada kami kabar bahwa beliau meninggalkan doa tersebut tatkala telah turun ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal,
Pertama , ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam Tafsir -nya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghaib.
Kedua , diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata,
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
“Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan (menunjukkan) untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.’ Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Zhuhur, ‘Isya`, dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir.”
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telahmansukh, tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
• Dalil Pendapat Ketiga
Pertama, hadits Sa’ad bin Thariq bin Asyam Al-Asyja’i,
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
“Saya bertanya kepada ayahku, ‘ Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullahshallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?’ Maka dia menjawab, ‘ Wahai anakku, (qunut Shubuh) adalah perkara baru (bid’ah).’.” Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no. 1080 dan dalam Al-Kubra no. 667, Ibnu Majah no. 1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thayalisy no. 1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/101 no. 6961, Ath-Thahawy 1/249, Ath-Thabarany 8/8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiqno. 677-678, dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal . Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil no. 435 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain .
Kedua, hadits Ibnu ‘Umar,
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
“Dari Abu Mijlaz, beliau berkata, ‘ Saya shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar lalu beliau tidak qunut.’ Maka saya berkata, ‘ Apakah lanjut usia yang menahanmu (melakukan qunut)?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘ Saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku.’.” Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy 1\246, Al-Baihaqy 2\213, dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2\137. Al-Haitsamy berkata, “Rawi-rawinyatsiqah.”
Ketiga , tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyariatkannya mengkhususkan qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus.
Keempat , qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal di kalangan shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar pada hadits di atas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Al-Fatawa , berkata, “Dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung (menganggap) hal tersebut termasuk perkara-perkara baru yang bid’ah.”
Kelima , berbagai nukilan orang-orang, yang berpendapat disyariatkannya qunut shubuh, dari beberapa shahabat bahwa mereka melakukan qunut, terbagi dua:
• Ada yang shahih tetapi tidak ada sisi pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
• Ada yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka melakukan qunut shubuh, tetapi nukilan tersebut lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam , setelah mengetahui penjelasan di atas, maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa qunut shubuh, dengan membaca doa qunut “Allahummahdina fi man hadait …,” sampai akhir doa kemudian diaminkan oleh para makmum, disyari’atkan secara terus-menerus. Andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya shalat, karena qunut adalah ibadah, yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak shahabat. Tetapi kenyataannya, qunut hanya dinukil dalam hadits yang lemah. Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad .
Kesimpulan
Jelaslah, dari uraian di atas, lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga, sehingga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus (selain qunut nazilah) adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.
Silakan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 4/200-201, Al-Mughny 2/575-576, Al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’an i Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshah 1/323, Al-Majmu’3/483-485, Hasyiyah Ar-Radd Al Murbi’ 2/197-198, Nailul Authar 2/155-158 (cet. Darul Kalim Ath-Thayyib), Majmu’ Al Fatawa 22/104-111, dan Zadul Ma’ad 1/271-285.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Penentuan Awal Hijriyah Bersama Pemerintah

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata.

Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti ?

Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.

Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.

Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)

Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)

Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.

Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah. Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).

Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .

Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)

Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)

Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”

Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.”

Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan diantara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.

Diantara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan diantaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.

Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.

Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Ta’ala bersama jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)

Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:
”Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?”
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. Maka dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia. Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat : berdasarkan sabda Nabi
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. “(Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)

At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (At-Tirmidzi mengatakan bahwa (hadits ini) hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)

Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaitkan hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185)

Allah Ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal diantara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain.

Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak belakangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).

Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya diantara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10 orang tapi tidak dikenal diantara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi n:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya: “Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama Al-Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) diantara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-118)

Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (15/202-208): Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka melakukan puasa yang nampaknya tanggal 9 padahal hakekatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwasanya beliau berkata:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)

Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:

إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”

Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta’ala menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah: 189)

Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur diantara manusia maka berarti bulan belum masuk.

Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Dan berpuasa pada hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan diantara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah awal Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban [1].

Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:
Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah -buatnya- serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini -yang tidak diketahui manusia (secara umum)- atau hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak boleh berbuka dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat diantara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar Radiyallahu ‘anhu melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka: “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.” [2]
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (qurban) (dengan sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa padanya. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)

Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam masalah para imam:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.

Wallahu a'lam.

Footnote :
1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2. Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu ‘anhu dan Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar Radiyallahu ‘anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, judul asli Penentuan Awal Bulan Hijriyah, dari Majalah As Syariah Edisi Khusus Ramadhan, url sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293)

Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah Ta'ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.

Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).

Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.

Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.

Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu 'alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta'ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da'imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا

"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu 'alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam juga bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)

Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.

Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dengan lafadz:

فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:

فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:

فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.

Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Meneropong Ilmu Hisab. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294)