Catatan Kecil : Ruwatan dan Do'a Antar Agama, Merusak Agama

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Ruwatan dan Do'a Antar Agama, Merusak Agama

Terus terang ketika ada berita bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan diruwat, saya langsung teringat zaman PKI (Partai Komunis Indonesia) sebelum peristiwa pemberontakan G30S/PKI 1965. Karena setahu saya adanya ruwatan itu hanya di daerah-daerah PKI atau kalangan orang abangan (Islam tak shalat) di Jawa. Sedang desa-desa yang masyarakatnya Islam tidak pernah melaksanakan ruwatan. Meskipun tidak otomatis ruwatan itu identik dengan PKI, namun timbul pertanyaan, apakah Gus Dur mewarisi ajaran ruwatan itu dari gurunya, Ibu Rubiyah yang memang Gerwani/PKI perempuan? Wallahu a'lam. (Tentang guru Gus Dur di antaranya orang Gerwani itu lihat buku “Bahaya Pemikirian Gus Dur II, Menyakiti Hati Umat”, Pustaka Al-Kautsar, 2000).

Ruwatan itu sendiri tidak terdengar di masyarakat sejak dilarangnya PKI tahun 1965. Namun mulai terdengar lagi sejak 1990-an, setelah dukun-dukun berani muncul terang-terangan bahkan praktek di mall-mall atau pusat-pusat perbelanjaan dan membuat paguyuban yang mereka sebut PPI (Paguyuban Paranormal Indonesia).

Konon anggota paguyuban "wali syetan" (istilah hadits Nabi Muhammad SAW untuk dukun) itu 60.000 dukun. Meskipun demikian, istilah ruwatan tidak begitu terdengar luas, dan baru sangat terdengar ketika ada khabar bahwa Gus Dur, Presiden Indonesia ke-4 yang bekas ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, satu organisasi yang berdiri sejak zaman Belanda 1926) akan diruwat, dan kemudian dia benar-benar hadir dalam acara ruwatan di UGM (Universitas Gajah Mada) Yogya,18/8 2000.

Apa itu ruwatan?

Ruwatan adalah satu upacara kepercayaan yang diyakini sebagai membuang sial yang disebut sukerto alias penderitaan. Istilah ruwatan, artinya membebaskan ancaman dari marabahaya yang datangnya dari Batoro Kolo, raksasa pemakan manusia, anak raja para dewa yakni Batoro Guru. Batoro Kolo adalah raksasa buruk jelmaan dari mani Batoro Guru yang berceceran di laut, ketika gagal bersenggama dengan permaisurinya, Batari Uma, ketika bercumbu di langit sambil menikmati terang bulan, karena Batari Uma belum siap.

Karena Batoro Guru gagal mengendalikan diri "dengan sang waktu" (kolo) maka mani yang tercecer di laut dan menjadi raksasa buruk itu disebut Batoro Kolo, pemakan manusia. Lalu Batoro Guru berjanji akan memberi makan enak yaitu manusia yang dilahirkan dalam kondisi tertentu. Seperti kelahiran tanggal sekian yang menurut perhitungan klenik (tathoyyur) akan mengalami sukerto alias penderitaan.

Juga yang lahir dalam keadaan ontang-anting (tunggal), kembang sepasang (dua anak lelaki semua atau perempuan semua), sendang apit pancuran (pria, wanita, pria), pendowo limo (5 anak pria semua). Dll. (Lihat AM Saefuddin, “Ruwatan dalam Perspektif Islam”, Harian Terbit, Jum'at 11 Agustus 2000, hal 6).

Itulah orang-orang yang harus diruwat menurut kepercayaan daricerita wayang. Padahal, cerita wayang itu semodel juga dengan cerita tentang Pendeta Durno yang menyetubuhi kuda lantas lahirlah Aswotomo. Konon Durno diartikan mundur-mundur keno/kena, jadi dia naik kuda betina lantas mundur-mundur maka kenalah ke kemaluan kuda, akhirnya kuda itu melahirkan anak manusia. Hanya saja anak yang lahir dari kuda ini diceritakan tidak jadi raksasa dan tidak memakan manusia. Jadi, nilai cerita ruwatan itu sebenarnya juga hanya seperti nilai cerita yang dari segi mutunya saja sangat tidak bermutu, seperti anak lahir dari rahim kuda itu tadi. Upacara ruwatan itu bermacam-macam. Ada yang dengan mengubur seluruh tubuh orang/anak yang diruwat kecuali kepalanya, ada yang disembunyikan di tempat tertentu dsb.

Adapun Ruwatan yang dilakukan di depan Gedung Balairung Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Jum'at malam 18/8 2000 itu dihadiri Presiden Abdurrahman Wahid didampingi isterinya Ny Nuriyah dan putri sulungnya Alissa Qatrunnada Munawaroh. Selain itu tampak hadir pula Kapolri Jenderal Rusdihardjo (belakangan, 3 bulan kemudian Rusdihardjo dipecat dari jabatannya sebagai Kapolri oleh Gus Dur, konon karena ada berita bocor yang menyebutkan hasil penyidikan kasus Bruneigate yang diduga menyangkut Presiden Gus Dur), Rektor UGMIchlasul Amal, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sri Edi Swasono, dan Frans Seda.

Ruwatan itu dilaksanakan terhadap 11 orang akademisi disebut ruwatan bangsa, penyelenggaraannya diketuai Mayjen (purnawirawan) Hariyadi Darmawan. Mereka yang diruwat itu adalah Prof. Sayogya, Prof Kunto Wibisono, Dr Hariadi Darmawan, Tjuk Sukiadi, Prof Sri Edi Swasono, Ny Mubyarto, Bambang Ismawan, Nanik Zaenudin, Ken Sularto, Amir Sidharta, dan Wirawanto.

Sebelas orang yang diruwat itu bersarung putih. Kumis dan jenggotnya dicukur bersih, kemudian tubuhnya disiram dengan air kembang. (lihat Rakyat Merdeka, 19/8 2000).

Sementara itu di luar Gedung UGM telah berlangsung demonstrasi mahasiswa yang menentang ruwatan tersebut.

Itulah acara ruwatan untuk menghindari Batoro Kolo dengan upacara seperti itu dan wayangan. Biasanya wayangan itu untuk memuji-muji Batoro Kolo, agar terhanyut dengan pujian itu, dan lupa memangsa. Di UGM itu wayangan dengan lakon Murwokolo dan Sesaji Rojo Suryo oleh dalang Ki Timbul Hadiprayitno.

Kemusyrikan

Ruwatan itu ada yang menyebutnya adat, ada pula yang menilainya sebagai kepercayaan. Islam memandang, adat itu ada dua macam, adat yang mubah (boleh) dan adat yang haram. Sedang mengenai kepercayaan, itu sudah langsung haram apabila bukan termasuk dalam Islam.

Adat yang boleh contohnya blangkon (tutup kepala) untuk orang Jawa. Itu tidak dilarang dalam Islam. Tetapi kemben, pakaian wanita yang hanya sampai dada bawah leher, itu haram, karena tidak menutup aurat. Tetapi kalau dilengkapi dengan kerudung, menutup seluruh tubuh dan juga menutup rambut kepala, maka tidak haram lagi, jadi boleh. Hanya saja namanya bukan kembenan lagi

Adat yang boleh, seperti blangkon tersebut pun, kalau di samping sebagai adat masih pula diyakini bahwa akan terkena bahaya apabila tidak memakai blangkon (yang kaitannya dengan kekuatan ghaib) maka sudah menyangkut keyakinan/ kepercayaan, hingga hukumnya dilarang atau haram, karena tidak sesuai dengan Islam. Keyakinan yang dibolehkan hanyalah yang diajarkan oleh Islam.

Demikian pula ruwatan, sekalipun ada yang mengatakan bahwa itu merupakan adat, namun karena menyangkut hal ghaib, berkaitan dengan nasib sial, bahaya dan sebagainya; maka jelas merupakan keyakinan batil, karena Islam tidak mengajarkan seperti itu.

Sedang keyakinan adanya bala' akibat kondisi dilahirkannya seseorang itupun sudah merupakan pelanggaran dalam hal keyakinan, yang dalam Islam terhitung syirik, menyekutukan Allah SWT, sedang orangnya disebut musyrik, pelaku durhaka terbesar dosanya. Tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya keyakinan itu, namun justru ketegasan bahwa meyakini nasib sial dengan alamat-alamat seperti itu adalah termasuk tathoyyur, yang hukumnya syirik, menyekutukan Allah SWT; dosa terbesar.

Tathoyyur atau Thiyaroh adalah merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

Abu Dawud meriwayatkan hadits marfu' dari Ibnu Mas'ud ra: "At-thiyarotu syirkun, at-thiyarotu syirkun wamaa minnaa illa, walaakinnallooha yudzhibuhu bittawakkuli."

"Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya." (Hadits Riwayat Abu Daud).

Hadits ini diriwayatkan juga oleh At-Tirmidzi dengan dinyatakan shahih, dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan dari Ibnu Mas'ud. (Lihat Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi, terjemahan Muhammad Yusuf Harun, cetakan I, 1416H/ 1995, halaman 150).

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu 'Amr bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka dia telah berbuat syirik." Para sahabat bertanya: "Lalu apakah sebagai tebusannya?" Beliau menjawab: "Supaya mengucapkan: Allahumma laa khoiro illaa khoiruka walaa thoiro illaa thoiruka walaa ilaaha ghoiruka.”

Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tiada sembahan yang haq selain Engkau." (HR Ahmad). (Syaikh Muhammad At-Tamimi, Kitab Tauhid, hal 151).

Sedangkan meminta perlindungan kepada Betoro Kolo agar tidak dimangsa dengan upacara ruwatan dan wayangan itu termasuk kemusyrikan yang dilarang dalam Al-Qur'an:

"Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu,jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)." (Yunus/ 10:106).

Dhalim di ayat ini diartikan musyrik, karena kemusyrikan itu adalah sebesar-besar kedhaliman. (Lihat Al-Ustadz Dr Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Wajiiz, Darul Fikr, Dimasyq -Suriyah, cetakan I, 1415H, halaman 221)

“Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya..." ( Yunus: 107).

Setelah kita membicarakan tentang ruwatan ,maka sebelum kita membicarakan tentang do'a antar agama perlu kita tengok bagaimana keadaan masyarakat Indonesia dalam hal kepercayaan mereka mengenai hal-hal yang menyangkut kemusyrikan. Berikut ini kita simak berita singkatnya:

Hasil Riset: Sebagian Besar Masyarakat Indonesia Percaya Jimat dan Perdukunan

Riset dan survey tentang Akhlaq (Moral) Iman kepada Tuhan versus Kepercayaan kepada Kekuasaan Ghaib selain Tuhan, dilakukan oleh Yayasan Nusantara, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan rakyat. Hasilnya disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memang mengalami permasalahan yang sangat mendasar yaitu terjerumus dalam immoralitas.

Survei dilakukan pada 20 Juni hingga 20 Juli 2000, dengan melibatkan 500 responden yang dipilih acak dari seluruh Indonesia melalui telepon. Salahsatu temuan dari hasil survei itu adalah 100 persen anak bangsa Indonesia sesungguhnya anak bangsa yang religius dan mengikuti suatu ajaran agama tertentu.

Dari survei terlihat bahwa responden memang percaya kepada hal-hal yang bersifat gaib. Tercatat sebagian besar responden yaitu 64 persen mengaku percaya dan mempunyai hubungan atau pernah punya hubungan dengan praktek perdukunan, santet, klenik, pelet atau susuk. Sedangkan yang tak pernah punya hubungan dengan hal-hak demikian sebanyak 21,6 persen,

Dan yang percaya namun tidak mau telibat dalam praktek tersebut mencapai 14,4 persen.

Yang memprihatinkan lagi, sebagian besar dari responden nyatanya sangat percaya dengan perdukunan, pergi ke kubur-kubur dan tempat yang dikeramatkan, ke peramal dan meyakini kebenaran horoskop.

Sebanyak 50,2 persen dari 500 responden mengaku bahwa hal-hal demikian mereka jadikan landasan berfikir, bertindak dan menentukan sikap dalam kegiatan sehari-hari.
Responden yang juga percaya dan yakin namun tidak memiliki keinginan untuk terlibat sebagai pelaku sebanyak 4,8 persen
Sedangkan yang sama sekali tidak percaya dengan hal-hal demikian sebanyak 45 persen.

Dari survei ini juga terungkap bahwa masyarakat Indonesia sangat mempercayai jimat atau benda yang disakralkan. Dari 500 responden sebanyak 63 persen menyatakan percaya bahwa jimat-jimat atau benda-benda yang disakralkan lainnya benar-benar memiliki khasiat kegaiban dan manfaat tertentu.

Sedangkan yang ragu mencapai 5,8 persen.
Yang tidak percaya sebanyak 33,6 persen.

Dari penjelasan survei di atas terlihat bahwa masyarakat Indonesia memang mulai kehilangan kepercayaan dan semakin jauh dari Tuhan. Yang muncul justru sifat syirik dengan menjadikan jimat-jimat sebagai 'Tuhan". Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim yang sesungguhnya merupakan bangsa religius. (mag). (Republika, Jum'at 4 Agustus 2000, halaman 16).

Demikianlah gambaran masyarakat Indonesia secara sekilas mengenai kepercayaan yang menyangkut kemusyrikan. Selanjutnya mari kita bahas tentang do'a antar agama.

Do'a Antar Agama Merusak Agama

Di samping ada ruwatan, ada pula gejala "baru" berupa acara do'a bersama antar berbagai agama dan keyakinan. Bahkan ada upacara "Indonesia Berdoa" yang diselenggarakan di Senayan Jakarta, Agustus 2000, terdiri dari berbagai macam agama, diprakarsai oleh KH Hasyim Muzadi ketua umum PBNU. Sebelum ada upacara "Indonesia Berdo'a" antar berbagai agama dan keyakinan, sudah dikenal umum bahwa Dr Said Aqiel Siradj dari NU (Nahdlatul Ulama) dan Istri Gusdur (Siti Nuriyah) melakukan do'a bersama orang-orang dari bermacam-macam agama itu.

Bolehkah itu dilakukan menurut syari'at Islam, mari kita kaji.

Pengertian dan fungsi do'a

Do'a adalah permintaan hamba kepada Allah SWT, dan itu merupakan suatu ibadah. Allah SWT berfirman:

"Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan bagimu." (QS 40 Al-Mu'min: 60).

Penegasan Nabi SAW, do'a itu ibadah:

"Ad-Du'aau huwal 'ibaadatu," tsumma qoola: Qoola Robbukum "Ud'uunii astajib lakum".

"Do'a itu ialah ibadah," kemudian Nabi SAW membaca firman Allah: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu." (HR Abu Dawud).

Adab berdo'a

Ada ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang memberikan tuntunan adab berdo'a.

1. Merendahkan diri dan bersuara lembut. Allah SWT berfirman:

"Serulah Tuhan kamu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut, karena sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas." (QS Al-A'raaf: 55).

Allah SWT memuji hamba-Nya, Nabi Zakaria, dengan firman-Nya:

“Tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut." (QS 19 Maryam: 3).

2. Menghindari bersuara keras dalam berdzikir dan berdo'a.

"Ayyuhan naasu irba'uu 'alaa anfusikum fainnakum laa tad'uuna ashomma walaa ghooiban innakum tad'uuna samii'an qoriiban wahuwa ma'akum."

"Wahai ummat manusia, kasihanilah dirimu dan rendahkanlah suaramu, kamu tidak menyeru Tuhan yang tuli atau yang gaib (jauh), sesungguhnya kamu menyeru Tuhan yang Pendengar, dekat, dan Dia menyertai kamu." (Hadits Muttafaq 'alaih). (Tentang Dia menyertai kamu, itu baca buku ini pada bab yang membahas "ma'iyah Allah", kebesertaan Allah, yang maknanya Allah bersemayam di atas 'arsy, menyertai kita namun bukan berarti Dia berada di bumi).

3. Disertai iman dan amal shaleh

"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan, dan Dia mengabulkan (do'a) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang shalih dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka adzab yang sangat keras." (QS 42 As-Syuura: 25, 26).

4. Makanan, minuman, dan pakaiannya dari hasil yang halal.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu'min dengan apa-apa yang diperintahkan oleh para rasul. Maka Dia berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mukminuun: 51).

Dan Dia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu. (Al-Baqarah: 172).

Kemudian Nabi menyebutkan seorang laki-laki yang telah berkelana jauh dengan rambutnya yang kusut masai dan pakaian yang penuh debu, ia menengadahkan tangannya ke langit sambil berdo'a; Ya Allah, Ya Allah, sedang makanannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan dibesarkan dengan makanan haram, bagaimana Allah mengabulkan do'anya itu? (HR Muslim nomor 2301).

5. Keyakinannya tanpa ragu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Laa yaquulanna ahadukum: Alloohummaghfir lii in syi'ta, Alloohummarhamnii in syi'ta, liya'zamal mas'alata fainnahu laa mukriha lahu."

"Janganlah salah seorang dari kamu mengatakan: "Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau menghendaki, ya Allah rahmatilah aku jika Engkau menghendaki", tetapi hendaklah berkeinginan kuat dalam permohonannya itu karena sesungguhnya Allah tiada sesuatu pun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu." (HR Abu Daud).

6. Tidak membangkit-bangkit (bahasa Jawa: mengundat-undat) Allah ketika do'a belum terkabul.

Rasulullah saw bersabda:

"Yustajaabu li ahadikum maalam yu'ajjil yaquulu: qod da'autu Robbii falam yastajib lii."

"Do'a seseorang akan dikabulkan (oleh Allah) selama orang itu tidak tergesa-gesa (ingin dikabulkan), yaitu dengan mengatakan: "Saya telah berdo'a tetapi do'a itu belum juga dikabulkan Tuhan untukku"." (Muttafaq 'alaih).

7. Jangan mendo'akan jelek kepada diri sendiri, anak-anak, dan harta, sekalipun sedang marah, karena Rasulullah saw mengkhawatirkan do'a itu bertepatan dengan waktu Allah menerima atau mengabulkan do'a dari hambaNya. Nabi saw bersabda:

"Laa tad'uu 'alaa anfusikum walaa tad'uu 'alaa aulaadikum, walaa tad'uu 'alaa amwaalikum, laa tuwaafiquu minalloohi sa-'atan yas'alu fiihaa 'ithooan fayastajiibu lakum."

"Janganlah kamu mendo'akan buruk (celaka dsb, pen) terhadap dirimu, jangan kamu mendo'akan buruk terhadap anak-anakmu, dan jangan kamu mendo'akan buruk terhadap harta bendamu! Jangan sampai nanti do'amu itu bertepatan dengan suatu saat dimana Allah sedang memenuhi permohonan, hingga do'a burukmu itu benar-benar terkabul." (HR Muslim).

Masalah do'a antar agama

Dalam Al-Quran dan Hadits, do'a bersama antara mu'minin (Nabi dan ummat Islam) di satu pihak, dan Ahli Kitab ataupun musyrikin di lain pihak; justru merupakan do'a ancaman, saling melaknat untuk adu kebenaran, yang disebut mubahalah.

Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat, berdo'a kepada Allah dengan bersungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 1 hal 628).

Perintah do'a itu kalau ditujukan kepada Ahli Kitab justru berupa ancaman, bahkan mubahalah.

Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar." (QS 62 Al-Jumu'ah: 6).

"Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta."(tm) (QS 3 Ali Imran: 61).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, suruhan Allah kepada Yahudi agar minta mati di Surat Al-Jumu'ah 62, Al-Baqarah 94, itu juga mubahalah; kalau memang orang Yahudi itu menganggap (diri mereka berada) dalam hidayah Allah, sedang Muhammad itu dianggap dalam kesesatan, maka mintakan mati atas yang sesat dari kedua golongan itu, kalau memang Yahudi menganggap diri mereka benar. Ternyata Yahudi tak berani.

Demikian pula ancaman terhadap orang-orang musyrik di Surat Maryam ayat 75, agar musyrikin bermubahalah dengan Nabi SAW sekeluarganya.

Dari Ibnu Abbas: Abu Jahal la'natullah berkata, bila aku melihat Muhammad di sisi Ka'bah pasti sungguh aku datangi dia sehingga aku injak lehernya. Ibnu Abbas berkata, bersabda Rasulullah SAW:

"Kalau ia (Abu Jahal) berbuat, pasti malaikat akan mengambilnya (mengadzabnya) terang-terangan, dan seandainya orang-orang Yahudi mengharapkan mati pasti mereka mati dan mereka melihat tempat-tempat mereka berupa neraka." Dan seandainya mereka yang (ditantang) bermubahalah dengan Rasulullah SAW itu keluar, pasti mereka pulang (dalam keadaan) tidak menemukan keluarganya dan tidak pula hartanya. (HR Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan An-Nasai, Tafsir Ibnu Katsir 4: hal 438).

Kesimpulan

Do'a bersama antara Ummat Islam dan kaum ahli kitab, kafirin/musyrikin yang dibolehkan hanyalah mubahalah, saling melaknat bagi yang dusta. Sudah jelas, do'a adalah ibadah. Sedang dalam kaidah, ibadah itu tidak dibolehkan kecuali kalau ada contoh dari Nabi SAW atau ada dalil yang membolehkannya. Dalam hal do'a bersama antara Muslimin dan non Muslim, adanya hanyalah tentang mubahalah. Jadi, kalau mau diadakan do'a bersama antara umat Islam dan non Muslim, seharusnya yang sifatnya seperti itu, yakni mubahalah, sesuai aturan Al-Quran dan Hadits.

Adapun orang yang mengadakan (terutama yang memprakarsai) do'a bersama antara Muslim dan non Muslim seperti yang terjadi sekarang, berarti dia membuat syari'at baru, sekaligus melanggar aturan syari'ah yang sudah ada, dan itulah perusak agama. Sedang penyelenggaraan ruwatan adalah mengadakan kemusyrikan, dosa terbesar. Itu bukannya membuang sial tetapi justru mendatangkan adzab, baik di dunia maupun di akherat. Wallahu a'lam bis shawaab.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Organisasi-organisasi muslim yang bringas didukung oleh oknum-oknum kepolisian & aparat keamanan pemerintah.

Sudah sering terjadi pengerusakan rumah-rumah ibadah umat lain, sweeping, fatwa-fatwa dan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh organisasi muslim terhadap umat agama lain. Sedangkan sebagian dari para preman ini adalah anggota polisi dan aparat keamanan lainnya yang berpakaian sipil. Pemerintah juga bersikap seolah-oleh memberi semangat kepada preman-preman ini sehingga mereka merasa berada di atas hukum apapun yang berlaku di negara Indonesia.

Juga anggota polisi pada umumnya hanya menonton para preman yang melakukan pengerusakan & sweeping. Anggota polisi malah melindungi oknum-oknum yang berkelakuan bringas itu.

Sedangkan polisi dan aparat keamanan pemerintah seharusnya melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan agama, kepercayaan, suku, dsb.

Kita yakin bahwa ada umat muslim yang tidak mentolerir dan tidak setuju dengan kelakuan polisi dan aparat keamanan yang secara terang-terangan memihak kepada golongan mayoritas.

Tetapi, pemerintah tidak menyadari bahwa walaupun polisi dan aparat keamanan mempunyai senjada api, rakyat jelata (masyarakat muslim yang kurang simpati terhadap polisi) mumpunyai senjata yang jauh lebih ampuh dari pada senjadi api. Sejata yang ampuh ini adalah agama.

Masyarakat muslim yang tidak simpati terhadap tindakan polisi yang memihak ini bisa mengeluarkan reaksi yaitu mereka bisa meninggalkan agama Islam. Mereka bisa mengalih ke agama lain. Kalau hal ini terjadi/sedang terjadi, maka senjadi api polisi itu tidak ada artinya.