Catatan Kecil : Agustus 2010

Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Agustus 2010

Hukum Qunut Shubuh

Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur`an maupun As-sunnah yang shahih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar, hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu tertolak.” Dan dalam riwayat Muslim, “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) tertolak.”
Hal ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama , qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih, dan Imam Syafi ’iy.
Pendapat kedua , qunut shubuh tidak disyariatkan karena sudah mansukh ‘ terhapus hukumnya’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury, dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga , q unut pada shalat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah yang boleh dilakukan pada shalat shubuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy, dan ahli fiqih dari para ulama Ahlul Hadits.
• Dalil Pendapat Pertama
Dalil terkuat yang dipakai oleh para ulama, yang menganggap qunut subuh itu sunnah, adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 3/110 no. 4964, Ahmad 3/162, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 220, Al-Hakim dalam Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Rayah2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugra ` 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no. 639, Ad-Daraquthny dalam Sunan -nya 2/39, Al-Maqdasy dalamAl-Mukhtarah 6/129-130 no. 2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 689-690 dan Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no. 753, dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/255 dan Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Razy, dari Ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishahihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashatul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata, “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedangkan rawi yang meriwayatkannya dari Ar-Rabi’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Razy mutakallamun fihi (dikritik)?” Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i, “Laisa bil qawy (bukan orang yang kuat).” Berkata Abu Zur’ah, “Yahimu katsiran (Banyak salahnya).” Berkata Al-Fallas, “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya).” Berkata pula Ibnu Hibban, “Dia bercerita dari rawi-rawi yang (membuat) masyhur hal-hal yang mungkar.”
Ibnul Qayyim, dalam Zadul Ma’ad jilid I hal. 276, setelah menukil suatu keterangan dari gurunya, Ibnu Taimiyah, tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Razy, berkata, “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Razy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya.”
Bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-Razy ini, akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah jarh mufassar ‘ kritikan yang jelas menerangkan penyebab kelemahan seorang rawi’. Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata, “Shaduqun sayyi`ul hifzh khusushan ‘anil Mughirah ‘ jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah’.”
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab:
Pertama , makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdoa untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdoa (kejelekan atas suatu kaum).” Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua , adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Razy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan kelemahan dan ketidaktetapan Abu Ja’far Ar-Razy dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/104 no. 7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh Imam Al Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan lain yang menguatkan hadits tersebut, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut.
Jalan Pertama , dari jalan Al-Hasan Al-Bashry, dari Anas bin Malik, beliau berkata,
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (perawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah dengan mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al-Hasan oleh dua rawi,
Pertama , ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al-Baihaqy 2/202, Al-Khatib dalam Al-Qunut dan dari jalan Al-Khatib, Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no. 693, dan Adz-Dzahaby dalamTadzkirah Al-Huffazh 2/494. Dia adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan, dalam periwayatan hadits, dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits ‘ ditinggalkan haditsnya’.
Kedua , Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dan Al-Baihaqy. Dia dianggap matrukul hadits oleh banyak imam (baca Tahdzibut Tahdzib ).
Catatan
Berkata Al-Hasan bin Sufyan dalam Musnad -nya, “Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihran, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf, dari Al-Hasan, dari Anas, beliau berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka beliau terus-menerus qunut pada shalat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau.” .”
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418, karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf, tetapi dari ‘Amru bin ‘Ubaid sebagaimana dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar -dan beliau(?) ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua , dari jalan Khalid bin Da’laj, dari Qatadah, dari Anas bin Malik,
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan di belakang ‘Umar lalu beliau qunut, dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut.”
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Razy, tetapi Ibnu Turkumany, dalam Al-Jauhar An-Naqy , menyalahkan hal tersebut dengan berkata, “Butuh dilihat keadaan Khalid, apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daraquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’in berkata (di kesempatan lain), ‘ Laisa bi syay`in ‘ tidak dianggap’,’ dan An-Nasa`i berkata, ‘ Laisa bi tsiqah ‘ bukan tsiqah’.’ Dan tidak seorang pun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengategorikannya ke dalam rawi-rawi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya, ‘ Terus-menerus beliau qunut pada shalat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia,’ tidak terdapat dalam hadits Khalid. Yang ada hanyalah ‘ Beliau (Nabi) ‘alaihis salam qunut,’ dan ini adalah perkara yang ma’ruf ‘ dikenal ‘ . Dan yang aneh hanyalah (perkataan) ‘ terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia’. Maka, terlepas dari anggapan dia yang cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid(pendukung)?”
Jalan ketiga , dari jalan Ahmad bin Muhammad, dari Dinar bin ‘Abdillah, dari Anas bin Malik,
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal.”
Dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Qunut , dan dari jalan Al-Khatib, Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no. 695.
Ahmad bin Muhammad, yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil, adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Adapun tentang Dinar bin ‘Abdillah, berkata Ibnu ‘Ady, “Mungkarul hadits ‘ mungkar haditsnya ’ .” Berkata pula Ibnu Hibban, “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya.”
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian, anggaplah dalil mereka itu shahih bisa dipakai berhujjah, tetap tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut, secara bahasa, mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi, dan Ibnul Arabi:
1. Doa.
2. Khusyu’.
3. Ibadah.
4. Taat.
5. Menjalankan ketaatan.
6. Penetapan ibadah kepada Allah.
7. Diam.
8. Shalat.
9. Berdiri.
10. Lamanya berdiri.
11. Terus menerus dalam ketaatan.
Selain itu ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022,Mufradat Al-Qur`an hal. 428 karya Al-Ashbahany, dan lain-lain.
Maka jelaslah kelemahan dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
• Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika selesai membaca (surah pada rakaat kedua) dalam shalat Fajr kemudian bertakbir lalu mengangkat kepalanya (i’tidal), berkata, ‘ Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,’ lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri, ‘Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan, dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian sampai kepada kami kabar bahwa beliau meninggalkan doa tersebut tatkala telah turun ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal,
Pertama , ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam Tafsir -nya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghaib.
Kedua , diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata,
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
“Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan (menunjukkan) untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.’ Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Zhuhur, ‘Isya`, dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir.”
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telahmansukh, tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
• Dalil Pendapat Ketiga
Pertama, hadits Sa’ad bin Thariq bin Asyam Al-Asyja’i,
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
“Saya bertanya kepada ayahku, ‘ Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullahshallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?’ Maka dia menjawab, ‘ Wahai anakku, (qunut Shubuh) adalah perkara baru (bid’ah).’.” Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no. 1080 dan dalam Al-Kubra no. 667, Ibnu Majah no. 1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thayalisy no. 1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/101 no. 6961, Ath-Thahawy 1/249, Ath-Thabarany 8/8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiqno. 677-678, dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal . Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil no. 435 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain .
Kedua, hadits Ibnu ‘Umar,
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
“Dari Abu Mijlaz, beliau berkata, ‘ Saya shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar lalu beliau tidak qunut.’ Maka saya berkata, ‘ Apakah lanjut usia yang menahanmu (melakukan qunut)?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘ Saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku.’.” Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy 1\246, Al-Baihaqy 2\213, dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2\137. Al-Haitsamy berkata, “Rawi-rawinyatsiqah.”
Ketiga , tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyariatkannya mengkhususkan qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus.
Keempat , qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal di kalangan shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar pada hadits di atas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Al-Fatawa , berkata, “Dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung (menganggap) hal tersebut termasuk perkara-perkara baru yang bid’ah.”
Kelima , berbagai nukilan orang-orang, yang berpendapat disyariatkannya qunut shubuh, dari beberapa shahabat bahwa mereka melakukan qunut, terbagi dua:
• Ada yang shahih tetapi tidak ada sisi pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
• Ada yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka melakukan qunut shubuh, tetapi nukilan tersebut lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam , setelah mengetahui penjelasan di atas, maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa qunut shubuh, dengan membaca doa qunut “Allahummahdina fi man hadait …,” sampai akhir doa kemudian diaminkan oleh para makmum, disyari’atkan secara terus-menerus. Andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya shalat, karena qunut adalah ibadah, yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak shahabat. Tetapi kenyataannya, qunut hanya dinukil dalam hadits yang lemah. Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad .
Kesimpulan
Jelaslah, dari uraian di atas, lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga, sehingga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus (selain qunut nazilah) adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.
Silakan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 4/200-201, Al-Mughny 2/575-576, Al-Inshaf 2/173, Syarh Ma’an i Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshah 1/323, Al-Majmu’3/483-485, Hasyiyah Ar-Radd Al Murbi’ 2/197-198, Nailul Authar 2/155-158 (cet. Darul Kalim Ath-Thayyib), Majmu’ Al Fatawa 22/104-111, dan Zadul Ma’ad 1/271-285.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Penentuan Awal Hijriyah Bersama Pemerintah

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata.

Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti ?

Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.

Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.

Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)

Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)

Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.

Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah. Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).

Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .

Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)

Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)

Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”

Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.”

Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan diantara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.

Diantara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan diantaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.

Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.

Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Ta’ala bersama jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)

Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:
”Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?”
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. Maka dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia. Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat : berdasarkan sabda Nabi
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. “(Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)

At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (At-Tirmidzi mengatakan bahwa (hadits ini) hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)

Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaitkan hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185)

Allah Ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal diantara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain.

Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak belakangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).

Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya diantara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10 orang tapi tidak dikenal diantara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi n:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya: “Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama Al-Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) diantara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-118)

Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (15/202-208): Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka melakukan puasa yang nampaknya tanggal 9 padahal hakekatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwasanya beliau berkata:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)

Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:

إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”

Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta’ala menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah: 189)

Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur diantara manusia maka berarti bulan belum masuk.

Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Dan berpuasa pada hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan diantara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah awal Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban [1].

Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:
Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah -buatnya- serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini -yang tidak diketahui manusia (secara umum)- atau hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak boleh berbuka dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat diantara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar Radiyallahu ‘anhu melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka: “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.” [2]
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (qurban) (dengan sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa padanya. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)

Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam masalah para imam:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.

Wallahu a'lam.

Footnote :
1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2. Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu ‘anhu dan Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar Radiyallahu ‘anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, judul asli Penentuan Awal Bulan Hijriyah, dari Majalah As Syariah Edisi Khusus Ramadhan, url sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293)

Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah Ta'ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.

Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).

Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.

Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.

Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu 'alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta'ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da'imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا

"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu 'alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam juga bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)

Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.

Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dengan lafadz:

فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:

فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:

فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.

Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Meneropong Ilmu Hisab. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294)

Menggunakan Metode Hisab dalam Penentuan Ramadhan

Dari penjelasan yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :

1. Ru’yatul Hilal (melihat hilal),

2. Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,

3. Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat.

Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :

“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :

‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

Sementara orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.

Bisa saja Al-Hilal terlihat oleh sebagian orang pada tingkat 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous (بطليموس)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (كوشيار الديلمي ) dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?

Sebabnya : karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.

Aku telah memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat dipastikan berdasarkan ilmu hisab. … –sekian– [1]

Seluruh anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` nomor 2, yang ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut secara ringkas :

و أما ما يتعلق بإثبات الأهلة بالحساب فقد أجمع أعضاء الهيئة على عدم اعتباره، و بالله التوفيق. هـ القرار

Sementara permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal pada setiap bulan berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota Majelis Hai`ah bersepakat tentang tidak bolehnya. ([2])

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di atas, beliau berkata :

“Ash-Shaum tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan ketentuan hisab (falaki) walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul hilal.” ( [3])

Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi :

1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .البقرة: ١٨٥

Artinya :

Karena itu barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al-Baqarah : 185].

Dalam ayat ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr (Al-Hilal)

2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan ru’yatul hilal, seperi hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]

Artinya :

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R. Al-Bukhari]([4])

Demikian juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ : (( لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ )) [متفق عليه]

Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang Ramadhan, kemudian beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [5])

Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.

3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.

4. Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.

5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar v menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :

‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”

Beliau berkata :

“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :

(( فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ))

“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”

Tidaklah beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.

Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan sebagian kecil ahli fiqh terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hafizh–

Itulah beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.

Footnote :

[1] Al-Fatawa XXV/207-208.

[2] Taudhihul Ahkam III/134-135.

[3] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314.

[4] Al-Bukhari (hadits no. 1909

[5] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no. 1080.

(Dikutip dari tulisan "Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Untuk Menentukan Masuk dan Keluarnya Bulan Ramadhan". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=225)

Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi oleh Mendung

Telah diketahui bahwa jika hilal terhalangi oleh awan, kabut atau semisalnya setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 29 dari bulan Sya’ban, maka digenapkanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan pendapat yang paling benar adalah tidak bolehnya shiyam/puasa pada keesokan harinya.

Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])

Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

…. وَلاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوهُ ثُمَّ صُومُوا حَتىَّ تَرَوهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غُمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوا، وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ [رواه أبو داود و الترمذي والنسائي، قال الألباني : صحيح]

Artinya:

“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])

Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

…ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

Artinya :

“… kemudian beliau bershaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung (atau yang semisalnya) maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian bershaum (setelahnya) ([3])

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ‘ulama, sebagaimana perkataan At-Tirmidzi rahimahullah: “sesungguhnya beramal dengan cara seperti ini (menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) adalah amalan para Shahabat dan Tabi’i) .

Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarhul Mumti’ (ketika membantah pendapat wajibnya ash-shaum dalam keadaan hilal terhalangi oleh mendung atau semisalnya) dan beliau berkata :

” Wajibnya Ash-shaum dalam keadaan seperti itu adalah dengan alasan ihtiyath (hati-hati) atau berdasarkan dugaan belaka bukan di atas suatu keyakinan dan kepastian, hanya dikarenakan adanya kemungkinan munculnya hilal, hanya saja tidak terlihat karena terhalang oleh mendung atau semisalnya.

Mereka juga berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar” :

فَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ c إِذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلاَ قَتَرَةٍ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةُ أَصْبَحَ صَائِماً [رواه أبو داود وصححه الألباني]

Artinya :

“Dahulu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma jika bulan Sya’ban sudah masuk hari ke-29 maka beliau berusaha melihat hilal. Bila tampak maka beliau shaum dan jika tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan atau semisalnya maka beliau belum menjalankan shaum. Apabila tidak tampak dikarenakan terhalangi oleh awan atau semisalnya maka keesokan harinya beliau melakukan shaum.” ([4])

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah) menjawabnya dari beberapa sisi, sebagai berikut :

1. Al Ihtiyath (berhati-hati) hanyalah dilakukan dalam perkara yang hukum asalnya wajib, adapun bila hukum asalnya tidak wajib, maka tidak berlaku sikap al-ihtiyath padanya. ([5])

2. Al-Imam Ahmad rahimahullah ([6]) dan selainnya menyatakan bahwa sesuatu yang berlandaskan sikap al-ihtiyath bukan hal yang bersifat lazim (wajib) hukumnya, tetapi dalam rangka wara’ atau sesuatu yang hukumnya bersifat mustahab. Sebab jika seseorang bershaum dalam rangka ber-ihtiyath dan mewajibkan dirinya untuk itu, justru telah keluar dari sikap al-ihtiyath itu sendiri, karena hal itu menjadikan orang yang tidak bershaum terkenai dosa. Seharusnya dengan sikap al-ihtiyath tersebut orang lain tidak terjatuh dalam dosa karena meninggalkannya.

Adapun riwayat Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma di atas tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hujjah bagi mereka yang mewajibkan shaum pada hari ke-30 Sya’ban yang pada malam harinya terhalangi oleh mendung. Karena Ibnu ‘Umar melakukannya hanya dalam rangka menjalankan suatu perkara yang bersifat mustahab bukan wajib. Bila beliau melakukannya karena wajib, niscaya akan memerintahkan orang lain, dan ternyata keluarga beliau sendiri pun tidak beliau perintahkan untuk bershaum pada hari itu. ([7])

Footnote :
[1] Taudhiul Ahkam jilid 3 hal. 131-132.

[2] Lihat Shahih Sunan Abi Dawud : Kitabush Shiyam hadits no. 2327; dan Al-Irwa` jilid 4 hal. 5.

[3] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no. 2322, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2325.

[4] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no.2317. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 903. Lihat pula Shahih Sunan Abi Dawud no.2320.

[5] Maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya kewajiban ash-shaum kecuali telah terlihat al-hilal. Apabila al-hilal telah terlihat, baru berubah hukum asal tersebut : yang sebelumnya tidak wajib bershaum berubah menjadi wajib.

[6] Perhatian! : Telah dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya shiyam pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.” Syaikhul Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya Al-Imam Ahmad“. Dalam kitab Al-Furu‘ : “Saya tidak mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan : “Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau haram.“ (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal. 132-133).

Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah.

[7] Lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim yang sangat berfaidah tentang masalah ini dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 2 hal.74 dan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa‘ jilid 4 hal. 10.

(Dikutip dari artikel berjudul "Hukum Ash-Shaum Pada Hari Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi Oleh Mendung Atau Semisalnya". Url sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=224)

Memulai Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal

Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan, karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah 29 hari atau 30 hari.

Hal ini sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, diantaranya :

1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :

كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)

Artinya :

“Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan ([1]) melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” ([2])

2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :

أَحْصُوا هِلاَلَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ (رواه الترمذي، و الحاكم)

Artinya :

“Hitunglah hilal (bulan) Sya’ban untuk (mempersiapkan) bulan Ramadhan.” [HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim] ([3])

Wajib atas kaum muslimin untuk melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut :

1. hadits riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (وَعَقَدَ اْلإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ)، وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ ) - [متفق عليه]

Artinya :

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung ([4]). Ketahuilah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian (sambil berisyarat dengan sepuluh jarinya - pen), sekian, dan sekian (dengan menekuk ibu jari tangannya pada kali yang ketiga) Dan jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian, sekian, dan sekian (yakni genap 30 hari).” [Muttafaq ‘alaih].([5])

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ummatnya untuk memulai shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal. Bila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ [متفق عليه]

Artinya :

“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” [HR.Bukhari]([6])

Adapun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ [متفق عليه]

Artinya :

“Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan) dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika terhalangi, ‘perkirakanlah’ “ [Muttafaq ‘alaihi]([7]),

Maka lafadh ( فَاقْدِرُوا لَهُ ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’, telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari”([8]) atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. ([9])

Bukanlah makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah (ضَيِّقُوا ), “persingkat (bulan Sya’ban menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :

أَوْلَى مَا فُسِّرَ الْحَدِيْثُ بالْحَدِيْثِ

Artinya :

“sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan hadits yang lain.“([10])

Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maaziri :

“Jumhur ulama mengartikan makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah dengan melengkapi hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan : ‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan mereka.” ([11])

Footnote :
[1] Lihat ‘Aunul Ma’bud Kitabush Shiyaam, bab 6, hadits no. 2322, makna lafadz (يَتَحَفَّظُ )

[2] HR. Abu Dawud. 2325 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, dan dalam Misykatul Mashabih 1980 [12],

[3] Sunan At-Tirmidzi Abwaabush Shaum bab 4 hadits no. 682 dan Al-Mustadrak hadits no. 1548

[4] Disebut Ummiy karena tidak bisa menulis dan menghitung (hisab). Dan yang dimaksud dengan hisab adalah ilmu perbintangan (lihat Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no. 1913).

[5] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1913 , Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 15-[1080].

[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1909

[7] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1906, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 3 - [1080]

[8] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1907

[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909

[10] Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1906

[11] Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi v Kitabush Shiyam hadits no. 3 - [1080].

(Dikutip dari tulisan "Wajibnya Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=223)

Penentuan Hilal Awal Bulan Ramadhan dan Syawal

1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri

Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara :
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)

Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.

Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata :
“Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)

Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.

2. Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya

Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : ‘kapan kamu melihat Hilal?’ Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.

Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa...
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.

Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.

Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal....

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan : “... Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397)


3. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?

Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :

Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.

Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.

Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.

Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”

Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)

Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)

Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”

Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)

Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.

Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)

Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?

Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.

Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”

Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).

Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”

Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.

Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)

Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)

Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).

4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang

Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).

Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.

Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133)

Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.

Catatan :
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).