Catatan Kecil : Nur Iskandar Pidato Menghebohkan

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 November 2007

Nur Iskandar Pidato Menghebohkan

Peristiwa yang menghebohkan telah terjadi akibat pidato KH Noer Muhammad Iskandar SQ, pendukung utama Gus Dur/ Presiden Abdurrahman Wahid yang bisa dimaknakan sebagai menghalakan darah Amien Rais, Akbar Tanjung dan konco-konconya. Ucapan KH Noer Muhammad Iskandar bisa menjadi berita heboh, karena memang menyangkut nyawa tokoh sesama Islam. Betapa tidak. Pidato Noer Iskandar itu sampai melontarkan perkataan:

“Lho, kalau Anda mati lawan Samandiyah-Samandiyah (maksudnya memlesetkan Muhammadiyah jadi Samandiyah, pen) itu, Anda mati lawan Amien Rais dan Konco-konconya, Anda mati lawan Akbar Tanjung dan konco-konconya, Anda masih mendapat kredit point, masuk surga karena Anda membela ulama,” kata Noer Iskandar dalam pidato pada acara yang disebut halal bi halal (acara ini di Islam tidak ada sumbernya, pen) di Desa Karang Tanjung, Kebumen, 12 Januari 2001, di hadapan warga NU.

Untuk lebih lengkapnya di sini dikutip sebagian isi ceramah Noer Iskandar SQ itu, sebagaimana dimuat di Majalah Media Dakwah terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di Jakarta, sebagai berikut:



“...Wis (sudah) tidak usah khawatir di dunia ini (sambil membaca ayat Al-Qur’an كم من فئة قليلة غلبت فئة كثيرة بإذن الله ). Tidak selalu yang besar menang dari yang kecil, banyak yang kecil yang menang dari yang besar. Yang lemah menang dari yang besar, mengapa? Yang lemah mendapatkan pertolongan Allah SWT. Dan itu dipidatokan oleh Gus Dur di Sidang Tahunan MPR: “Saya saking cinta saya sama keadilan, sampai saya mewiridkan surat An-Nisaa’ ayat 135 delapan belas kali sehari semalam,” kata Gus Dur.

Baru sekarang ada Presiden laporan akhir tahun, laporan wiridan. Kalau enggak, Gus Dur, nggak ada itu.... Anehnya itu semua aggota MPR iya- iya saja digoblokin.

Apa yang terjadi saudara dengan wiridan itu? Ternyata, in the last minute, menit-menit terakhir, ketika kepala Komisi A, B, C, akan memutuskan ditolaknya laporan Gus Dur, Sidang Tahunan menjadi Sidang Istimewa, yang berarti Gus Dur berhenti dari presiden satu tahun, tiba-tiba semua pimpinan komisi semua ketakutan. Semua pikirannya sama. Kalau laporan ini kita tolak, Sidang Tahunan menjadi Sidang Istimewa, Gus Dur berhenti jadi presiden, orang NU Kebumen ngamuk, semua kita (DPR-MPR) ditelanjangi terus kaya’ (seperti) apa.

Itu terjadi saudara-saudara, strategi Allah, makanya betul apa yang difirmankan Allah.... Kalau rekayasa Allah datang, rekayasa manapun tidak akan ada yang mampu menandinginya. Amien... Ya Robbal ‘aalamien. Apalagi Gus Dur ini ulama, Gus Dur ini pertaruhan ulama. Bukan persoalan Gus Dur-nya, Gus Dur jatuh pertanda ulama jatuh. Karena itu apapun yang terjadi, kita tetap membela Gus Dur dalam rangka membela ulama di Republik Indonesia ini. Lho, kalau Anda mati lawan Samandiyah-Samandiyah itu, Anda mati lawan Amien Rais dan konco-konconya, Anda mati lawan Akbar Tanjung dan konco-konconya, Anda mati mendapat kredit point masuk surga, karena Anda membela ulama.

Tapi Golkar membela korupsi, neraka Golkar ha... eue (ungkapan spontan dan kaset terputus dan terganggu)... (mengutip ayat Al-Qur’an). Ini artinya apa, Nabi seolah-olah, menyatakan memproklamirkan seolah-olah yang aku wariskan di dunia ini kepada para ulama, hanya satu al akhlak al karimah. Nopo si (apakah ada) akhlak nganti (sampai) nipu, masya Allah, Nabi ditipu. Saking saene (karena baiknya), jangankan terhadap orang yang berbuat baik, enten tiang sing pualing (ada orang yang paling) benci dumateng (kepada) Nabi, golongan Kafir Arab Qurais, disingkat Gokkarqur. Sangking bencine (karena bencinya) kepada Nabi, Kalau Nabi lewat di depan rumah sahabat Nabi, “diidoni raine” (diludahi mukanya) cuh, cuh, sesekali ludahnya bau jengkol.

Nabi marah ? enggak! Malah suatu ketika yang biasa ngeludahin (meludahi) tidak nampak di tempat itu, justru Nabi tungguin (tunggui), sampai ada sahabat lewat bertanya, “Ya Muhammad, nungguin (menunggui) siapa?”

Nabi menjawab, “Nungguin (menunggui) langganan”.

“Langganan apa?”

“Langganan ludah. Tiap pagi, Fulan bin Fulan itu”,

“Itu kan tokoh preman di kampung ini Pak, sekarang sedang sakit keras dia. Semua orang kampung di sini berdo’a, supaya mampus dia, Pak. Do’ain (do’akan) supaya dia cepat mati, lengkap kalau mati”.

Nabi mendengar orang yang suka ngeludahin sakit keras, sakit, tidak jadi pergi. Balik dia, perintahkan isterinya, “Tolong deh bungkuskan semua kue yang ada”, (kemudian) ditenteng sendiri oleh Nabi.

Diketuk pintunya, tuk...tuk...tuk, “Masuk”. Di dalam yang punya rumah menggigil, buka pintunya sama Nabi pelan-pelan. Begitu terbuka matanya terkejut, “Ya, Muhammad, engkau datang ke tempat ini, pasti engkau akan menggunakan kesempatan, kau akan balas aku, ya Muhammad.”

Dicium sama Nabi keningnya dan berkata: “Engkau jangan salah sangka, sedikitpun tidak ada dalam hatiku, justeru aku datang untuk mendo’akan kau supaya cepat sembuh, supaya sempat meludahin saya lagi”.

“Kok begitu, ya Muhammad?”

“Iya, karena setiap ludah yang menempel di mukaku, Allah akan ampunkan dosaku. Sejumlah ludah yang menempel di ludahku (di mukaku?, pen) Allah akan angkat derajatku.”

Marahkah Gus Dur dihujat dan difitnah macam-macam? Tidak, tidak marah.

Ada seorang Kyai sepuh (tua) dari Jawa Tengah ini, malahan datang ke sana (Jakarta), saya menjadi saksi, kepergok. Gus, tidak terima saya rasanya kaya’ (seperti) begini, bukan kau, tapi ulama sakit. Wis aku mujahadah (bersungguh-sungguh usaha secara lahir dan batin), asal sampean (Anda) ... tak wacakne Allah karo ping telu (saya bacakan Allah dengan tiga kali). Akbar Tanjung, Amien Rais, Fuad Bawazier, lengah... (tidak jelas suaranya).

Masya Allah. Saya bilang, persilahkan tuan-tuan, antek-antek Akbar Tanjung dan antek-antek Amien Rais, hujat terus dan fitnah terus, semakin dihujat semakin tinggi derajat Gus Dur, kalaupun malah jadi presiden yang kedua kalinya. Amien ya Robbal ‘alamien... (tidak jelas kasetnya)...

Hai orang Karang Tanjung semuanya, ketika nanti penghuni neraka jahannam itu dibakar oleh Malaikat Malik, yang dibakar bukan kaki dan tangannya, jidatnya duluan. Dibakar di wajan. Ingkang asmane (yang namanya) jahannam...terik, menjerit, mengaduh mereka, adu, adu, du, duh, kembalikan kembali kami di Karang Tanjung. Ya Allah supaya kami bisa memperbaiki dan bisa taat kepadaMu. Dijawab sama Malaikat, “Sudah digusur, monyong, brengsek lhu, ngomong saja, masuk ke neraka sana.... dalam sebuah tafsir: Ya Allah, kami patuh kepada ulama dan umara’ kami, tapi sayang ulama dan umara’ kami tidak mau tahu tentang pendidikan agama, tidak mau tahu tentang da’wah. Jadi sebenarnya Pak Camat, Pak Wedono, Pak Kiyai bukan tugas yang utama, tidak hanya ngurusin KTP, tidak hanya ngurusin wisik rakyat, tapi juga ngurusin akhlak dan jiwa.....”[1]

Majalah Media Dakwah pada akhir tulisannya memberi komentar: “Ceramah Noer Iskandar ini tak lebih justru berisi hujatan-hujatan keji. Na’udzubillahi min dzaalik.”

Demikianlah kutipan dari ceramah Noer Muhammad Iskandar yang dimuat Majalah Media Dakwah dengan judul Noer Iskandar SQ dan Kiyai Penganjur Kemusyrikan.

Menyimak pidato Noer Iskandar SQ itu, secara keseluruhan bisa diambil beberapa butir arah pembicaraan:

1. Menganggap tindakan Gus Dur benar bahkan hebat.

2. Menganggap DPR-MPR bisa digoblokin oleh Gus Dur

3. Menganggap DPR dan MPR takut dengan amukan orang NU walaupun hanya NU Karang Tanjung Kebumen.

4. Menganggap amalan Gus Dur mencintai keadilan cukup dengan mewiridkan ayat tentang keadilan, itu benar (menurut Islam).

5. Menganggap Gus Dur itu wajib dibela, karena wakil ulama, siapa membelanya dan mati maka dapat kredit point masuk surga.

6. Menganggap Amien Rais dan Akbar Tanjung beserta konco-konconya itu mesti dilawan, dan melawannya itu (secara tersirat) sama dengan melawan orang kafir, maka matinya masuk surga. Ini bisa diartikan, KH Noer Muhammad Iskandar SQ itu memprovokasi untuk melawan bahkan membunuh Amien Rais dan Akbar Tanjung serta teman-temannya. Provokasi untuk membunuh itu bisa difahami dari kata-kata Noer Iskandar: “Anda mati lawan Amien Rais dan konco-konconya....” Padahal, Amien Rais dan konco-konconya itu bukan orang kafir. Orang kafir pun tidak boleh dibunuh, kecuali memang kafir harbi (yang memusuhi Islam) atau karena hukum lain, misalnya karena dia membunuh. Sedangkan dalam Al-Qur’an ditegaskan:

ومن يقتل مؤمنا

عذابا عظيما. (النساء: 93).



“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS an-Nisa’/ 4: 93).

Al-Qur’an menegaskan, membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya masuk neraka jahannam, kekal di dalamnya. Namun Kiyai Noer Iskandar justru menjanjikan surga. Yang punya surga yaitu Allah SWT saja mengancam dengan balasan neraka, malah yang tidak punya surga menjanjikan surga. Betapa beraninya orang NU ini.

Di samping itu, kalau cara membunuhnya itu ramai-ramai seperti yang diprovokasikan itu, maka ada ancaman pula dari Rasulullah saw:

لو أن أهل السماء وأهل الأرض اشتركوا في دم مؤمن لكبهم الله في النار. (رواه الترمذي عن أبي هريرة).



“Seandainya penduduk langit dan bumi bersekutu dalam (menumpahkan) darah seorang mukmin, maka pasti Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).[2]

Di samping akan mendapatkan siksa di neraka, masih pula persekongkolan pembunuhan itu harus dihukum bunuh secara massal.

أن عمر رضي الله عنه قتل سبعة في غلام قتل بصنعاء وقال: لو تمالأ عليه أهل الصنعاء لقتلتهم.

“Bahwa sesungguhnya Umar ra pernah membunuh tujuh orang karena seorang anak yang dibunuh di Shan’a dan ia (Umar) berkata: Kalau penduduk Shan’a saling membantu dalam kasus pembunuhan ini tentu mereka kubunuh semuanya.”

Ibnu Katsir berkata: Tidak diketahui ada orang yang menentang putusan Umar tersebut, di masanya, dan yang demikian itu (menjadi) semacam ijma’ (Sahabat).[3]

Apa yang terjadi di Indonesia? Justru penguasa, Presiden Gus Dur/ Abdurrahman Wahid berbalikan dengan Umar bin Khatthab itu, malahan Gus Dur bersekongkol dengan provokator KH Noer Muhammad Iskandar SQ yang menghalalkan darah Amien Rais dan lainnya itu. Tidak terdengar adanya ungkapan Gus Dur yang menyesalkan provokasi Nur Iskandar sama sekali. Maka Gus Dur pun sebenarnya terkena ucapan Umar bin Khatthab itu.

7. Menganggap Gus Dur dan pendukungnya (tentunya NU-PKB) itu ibarat Nabi dan para sahabatnya. Sedang lawannya itu adalah kafir Quraisy, maka melawannya akan mendapatkan kredit point masuk surga.

8. Membuat-buat cerita tentang Riwayat Nabi saw yang tampak konyolnya, karena orang yang diceritakan sering meludahi Nabi saw ludahnya bau jengkol. Padahal, di Arab tidak ada jengkol, atau jengkol itu bukan makanan kesukaan di sana sama sekali.

Seluruh pidato itu intinya adalah mengkultuskan Gus Dur, sambil memperalat Islam dengan diplintir-plintir semaunya.

Seandainya Kiyai yang pernah heboh karena skandalnya dengan seorang janda ini sekadar mengkultuskan Gus Dur belaka, maka dosanya hanyalah satu, tentang pengkultusan itu. Dan itu sudah cukup sangat besar. Namun bukan hanya itu. Masih pula ia mengqiyaskan, hingga tergambarkan bahwa Gus Dur itu kesabarannya bagaikan kesabaran Nabi saw tidak pernah marah. Maka siapa yang membelanya, diposisikan sebagai membela Nabi atau ulama sehingga masuk surga. Dan lawannya dianggap bagaikan golongan kafir Quraisy yang tempatnya di neraka. Ini sangkutannya banyak sekali. Ya pengkultusan, ya pemlintiran Islam, ya permusuhan terjhadap lawan politik dengan mengibaratkannya sebagai posisi orang kafir.

Semuanya itu masih ditambahi dengan legitimasi pengamalan Islam cara Gus Dur yang ia puji-puji. Hingga tak pernah ada kalau presidennya bukan Gus Dur. Laporan tahunan tapi laporannya tentang wiridan. Dari segi penerapan saja, laporan wiridan disampaikan kepada sidang tahunan MPR (kalau wiridannya itu sendiri benar secara Islam, misalnya) itupun tidak ada kebaikannya. Kata pepatah Arab, tidak ada kebaikannya, meletakkan kebaikan tidak pada tempatnya. Itupun kalau wiridannya baik dan benar menurut Islam. Mengenai wiridannya itu sendiri, ada persoalan serius. Dengan mengumumkan cintanya kepada keadilan lalu mewiridkan ayat tentang keadilan tiap hari, itu dari mana tuntunannya? Kalau saking cintanya kepada keadilan, lalu Gus Dur menekuni pencarian di mana saja adanya ketidakadilan lalu dicari jalan keluarnya agar jadi adil, itu baru namanya cinta keadilan benar-benar. Sehingga, yang pantas dibanggakan oleh Noer Iskandar, mestinya dalam bentuk begini: Gus Dur saking cintanya kepada keadilan, maka dia berkeliling ke panti-panti asuhan Muslim yang anak-anaknya kini makin kurus, terlantar, kurang terurus karena kurang dana, akibat dana tiap bulan yang dulunya sebelum Gus Dur memerintah selalu diperoleh dana itu, tetapi karena Depsos( Departemen Sosialnya) dibubarkan Gus Dur, kemudian dana itu tidak pernah ada lagi, maka panti-panti asuhan Muslim sekarang kelabakan kekurangan dana. Sementara itu panti-panti orang orang palangis dan salibis tetap mendapatkan dana dari mana-mana yang hubungannya dengan kristenisasi internasional, Indonesia diincar sebagai negara terbesar penduduk Islamnya. Maka, (misalnya sampai) Gus Dur keliling ke panti-panti asuhan Muslim sebagai ganti dosa-dosa yang telah dibuatnya yang mengakibatkan macetnya dana itu lalu mengucurkan dana dengan lebih besar dan lebih stabil, itulah yang bisa dibanggakan Kiyai Noer Iskandar. Seharusnya itu yang bisa dibanggakan. Tetapi, karena memang hal itu sama sekali tidak dilakukan, dan yang dilakukan –katanya adalah wiridan ayat tentang keadilan, maka ini sama dengan membuat syari’at atau mengumumkan sunnah baru, yaitu orang yang cinta keadilan cukup mewiridkan ayat tentang keadilan. Ini bisa dimaknakan, orang yang cinta anak yatim dan faqir miskin, bukannya menyantuni mereka, tetapi cukup mewiridkan ayat tentang anak yatim, faqir, dan miskin. Pemujian terhadap tingkah Gus Dur yang sebenarnya serba salah itu bukan sekadar salah biasa, namun sama dengan melegitimasi/ mengesahkan penyelewengan dan pemlintiran Islam.

Antara kiyai yang didukung dan yang mendukung dalam kasus ini memang sama-sama mempermainakn agama secara rusak-rusakan. Mudah-mudahan Allah memberikan keadilan kepada mereka.

Mengarah Pengkafiran dan Neraka sebagai Senjata

Dalam pidato yang sangat sarat dengan tema agama tapi untuk tujuan politik itu, Golkar diposisikan sebagai kelompok yang didekatkan kepada model kafir Quraisy, hingga orang kafir Quraisy dia singkat menjadi Gokkarqur, golongan kafir Quraisy. Dalam istilah Islam yang umum, orang kafir Quraisy tidak pernah disebut pakai Golongan segala, cukup Kafir Quraisy atau orang kafir Quraisy, maksudnya adalah orang kafir dari suku Quraisy. Tetapi penyingkatan yang Noer Iskandar lakukan dengan menjulukinya sebagai Gokkarqur itu tidak lain tujuannya adalah untuk “mengkafir Quraisykan” Golkar. Apalagi secara terus terang Noer Iskandar menyebut Golkar membela korupsi, neraka... Di situ dikontraskan dengan orang NU membela ulama, surga... sehingga posisinya, seolah Gus Dur yang kesabarannya seperti Nabi saw itu adalah di pihak Islam, dipimpin oleh orang yang seperti Nabi, sedang lawannya adalah golongan yang seperti kafir Quraisy. Maka apabila melawan golongan yang statusnya bagai kafir Quraisy itu matinya mendapatkan kredit point masuk surga.

Pemujian itu adalah tipuan terang-terangan. Mana bisa Gus Dur dianggap tidak pernah marah, hingga digambarkan bagai kesabaran dan mulianya akhlaq Nabi saw yang diludahi namun tetap berbuat baik pada pelakunya. Gus Dur justru jauh dari akhlaq Islam. Bukan sekadar marah, tetapi sampai menghina anggota DPR sebagai anak-anak TK (Taman kanak-Kanak). Juga main tuduh kepada Ummat Islam, katanya yang jadi biang kerusuhan Maluku itu ummat Islam. Di samping itu, menurut keputusan sidang DPR, mulut Gus Dur dinilai oleh Pansus (panitia khusus) DPR tidak konsisten alias bohong dalam memberi keterangan tentang dana dari Sultan Brunei Darus Salam, Hasanal Bolkiah. Lakonnya, juga lakon orang elit NU banyak yang tidak istiqomah pula.



Lakon tak Istiqomah, Ucapannya Mengeluh

Lakon tak istiqomah sangat nyata di kalangan NU, baik yang tua maupun yang muda. Namun, antara ucapan dan lakon, sering-sering berbeda. Ucapannya berupa keluhan. Misalnya, KH Yusuf Hasyim mengatakan, di masa Orde Baru, kaum Nahdliyin/ NU ditindas. Keluhan itu mari dibuktikan. Demikian pula Noer Iskandar sampai sehabis-habisnya mengecam Golkar (tulisan ini sama sekali bukan karena membela Golkar, tetapi hanya untuk membuktikan antara ucapan dan kenyataan) seperti tersebut di atas, padahal dia sendiri yang sampai mengatakan untuk mengharapkan Presiden Soeharto pemimpin Orde Baru ke pesantrennya, maka dia adakan istighotsah (arti asalnya minta tolong atau berdo’a. Nabi pernah istighotsah, minta tolong kepada Allah SWT waktu perang Badr, namun sendirian. Tidak mengadakan upacara istighotsah. Sedang Istighotsah model NU atau model shufi/ orang tasawuf itu berupa upacara dengan do’a-do’a dan shalawat yang belum tentu shahih/ benar secara syar’i, sedang mengadakan upacaranya itu sendiri tidak ada contohnya dari Nabi saw. Hingga upacara istighotsah itu hanyalah bikinan manusia. Dalam hal beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah, kalau dibikin satu tatacara yang asalnya tidak ada tuntunan upacara seperti itu, maka hukumnya bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat. Upacara bid’ah itu sering ditambah kesalahan lain lagi, misalnya dilakukan di jalanan atau tempat umum sehingga mengganggu kepentingan umum. Itu salahnya dua, sudah bid’ah, masih mengganggu lagi. Dan apabila tujuannya salah pula, misalnya hanya untuk mendukung pimpinannya, misalnya mendukung Gus Dur yang landasannya hanya karena ashobiyah/ fanatik golongan, maka salah lagi. Hingga bertumpuk-tumpuk salahnya. Tambahan lagi, menipu pula kepada orang-orang kecil, dikerahkan untuk kepentingan si penggede itu sendiri, maka salah lagi.). Demikian pula, Noer Iskandar lah yang mengarak sekian ulama untuk ramai-ramai ke rumah Soeharto untuk menyerahkan sumbangan berupa emas sekian kilogram, katanya untuk menanggulangi krisis moneter menjelang kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenan 1998.

Semua yang dilakukan itu sia-sia, mubadzir, dan masih pula menodai atau paling kurang menyelewengkan kemurnian agama. Jadi bukan hanya merugikan ummat, namun merugikan pula bagi da’wah tegaknya agama Islam. Anehnya, mereka itu mengaku mengikuti jejak-jejak Imam Madzhab. Padahal, Imam madzhab sama sekali tidak ada satupun yang memberi petunjuk seperti itu. Di akherat nanti insya Allah para Imam Madzhab bisa dijadikan saksi atas kebohongan-kebohongan dan aneka penyimpangan yang dilakukan pengaku-ngaku bermadzhabkan kepada Imam Madzhab itu. Dari pendiri jam’iyah, pengurus, penerus dan orang-orang yang bertanggung jawab atas lestarinya penyelewengan yang didukung oleh jam’iyah dan pengurusnya, maka akan dihadapkan kepada mahkamah Allah. Mereka akan dituntut pula oleh Imam Madzhab yang mereka jadikan tameng.

Di dunia mereka sudah tidak terhormat karena aneka lakon yang mengatasnamakan agama namun menyimpang dari aturan agama yang benar, sedang di akherat insya Allah masih akan dituntut untuk mempertanggung jawabkan aneka penyimpangan yang menyangkut agama. Padahal, menyimpangkan atau bahkan mengatas namakan agama namun sebenarnya punya tujuan lain dan tak sesuai dengan Islam, itu hukumannya jauh lebih berat ketimbang sekadar lalai dari suruhan agama namun masih tetap mengakui benarnya suruhan itu, tanpa menyelewengkannya, tanpa menungganginya dan sebagainya. Dalam kasus ini, penyimpangan, penyelewengan, bahkan penunggangan agama untuk kepentingan ashobiyah, bukan kepentingan untuk meninggikan kalimah Allah itu justru diorganisir dan digerakkan oleh para elitnya secara sistematis. Sehingga agama itu sendiri dikorbankan untuk kepentingan ashobiyah. Ini lebih buruk pula dibanding ashobiyah itu sendiri. Padahal, ashobiyah itu sendiri (tanpa menunggangi Islam) pun sudah merupakan keburukan yang sangat diberantas oleh Islam, karena termasuk faham dan perangkat utama jahiliyah. Maka pantaslah kalau dari kelompok ashobiyah ini sampai ada Kiyai yang memprovokasi untuk membunuh tokoh mukmin. Karena memang ayat-ayat Al-Qur’an, dan hadits-hadits Nabi saw tidak digubris lagi oleh Kiyai ashobiyah. Ajaran ashobiyahnya baik itu bid’ah-bid’ah maupun sampai dengan khurofat dan aneka penyelewengan, lebih dipentingkan daripada Al-Qur’an. Hingga dalam berfatwa resmi lewat muktamar pun pegangan mereka bukan Al-Qur’an ataupun Al-Hadits, namun cukup kitab-kitab yang mereka anggap mu’tabaroh, mereka akui. Ibarat orang Yahudi, mereka membuang Taurat kitab suci, wahyu dari Allah SWT, diganti dengan kitab Talmud, susunan rahib-rahib dan ulama-ulama mereka. Padahal para penyusun kitab terutama Imam Madzhab semuanya melarang taqlid kepada mereka, dan harus mengikuti Rasulullah saw, namun larangan itu tak didengar, bahkan sumber yang mereka ambil pun bukan langsung dari Imam Madzhab itu, tetapi sudah generasi yang tingkatnya jauh di belakangnya. Sehingga tak mengherankan kalau mereka itu menjadi sangat jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, walau mungkin inginnya menjalankan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena sistemnya yang dipakai bukanlah manhaj Islam yang telah diterapkan oleh para ulama’ salafus shalih, namun manhaj Yahudi yang pilih Talmud daripada kitab suci aslinya. Maka tak mengherankan bila sikap-sikap mereka pun banyak yang mirip Yahudi, dan kedekatan mereka terhadap Yahudi pun sering lebih dekat ketimbang kepada Islam yang menegakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mestinya mereka mengkaji kembali kesalahan-kesalahan yang berlarut-larut sampai jauh ini. Suara orang lain pun kalau itu benar, tidak ada salahnya untuk diperhatikan. ‘Afwan.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Media Dakwah, edisi 320, Dzulqa’idah 1421/ Februari 2001, halaman 18-19.

[2] Muhammad Ali As-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam minal Qur’an, terjemahan Mu’amal hamidy dan Drs Imron A Manan, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Buku I, PT Bina Ilmu, Surabaya, cetakan pertama, 1983, halaman 137, mengutip Tafsir Al-Qurthubi 2:233).

[3] Tafsir Ibnu Katsir, 1:210, dikutip Ash-Shabuni, ibid, halaman 136.

Tidak ada komentar: