Catatan Kecil : Oktober 2007

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 Oktober 2007

NU, Ketidak Jelasannya Tampak Jelas

Bila Kiyai Menjadi Tuhan
Membedah Faham Keagamaan NU & Islam Tradisional.


NU, Ketidak Jelasannya Tampak Jelas

--------------------------------------------------------------------------------

Apabila disebut kaum Nahdliyin atau warga NU (Nahdlatul Ulama) seolah yang tergambar adalah orang Jawa Timur. Padahal tidak demikian. Artinya, tidak semua orang Jawa Timur itu kaum Nahdliyin. Demikian pula kaum Nahdliyin tidak hanya di Jawa Timur. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, dan lainnya pun ada kaum Nahdliyin. Namun berhubung yang banyak itu di Jawa Timur, sedang berdirinya NU 1926 pun di sana, maka seolah kaum Nahdliyin itu identik dengan orang Jawa Timur. Dan memang kerusuhan terbesar yang terjadi Februari 2001 oleh para pendukung Presiden Gus Dur –Abdurrahman Wahid (tokoh NU dan PKB— Partai Kebangkitan Bangsa, partai buatan Pengurus Besar NU) adalah di Jawa Timur.

Satu kelompok besar biasanya punya kebiasaan tertentu, ciri-ciri tertentu, dan polah tingkah tertentu. Demikian pula kaum Nahdliyin atau warga NU yang merupakan golongan besar di Indonesia ini. Mereka punya polah gawe tersendiri pula.

Tradisi dan kebiasaan itu hampir merata. Kesukaannya sama antara yang di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta maupun lainnya. Misalnya dalam hal suka tahlilan selamatan memperingati orang mati, model animisme (kepercayaan orang musyrik) namun pakai bacaan-bacaan ayat-ayat dan do’a-do’a.

Dalam hal kepercayaan Animisme mengenai orang mati, Prof Hamka mengemukakan sebagai berikut:

“...menurut kepercayaan datuk-nenek-moyang kita zaman purbakala, apabila seorang mati, datanglah roh orang yang mati itu ke dunia kembali, lalu dia mengganggu ke sana ke mari, sehingga ada orang yang sakit. Oleh sebab itu dianjurkan supaya kalau orang telah mati, hendaklah keluarga berkumpul-kumpul beramai-ramai di rumah orang yang kematian itu sejak hari pertama, hari ketiga, hari keempat sampai hari ketujuh. Kemudian dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke empat puluh. Setelah itu dia akan datang lagi mengganggu pada hari yang ke seratus, dan paling akhir sekali dia akan datang kembali pada hari yang ke seribu. Sebab itu hendaklah orang beramai-ramai di rumah itu di hari-hari tersebut. Sebab roh itu takut datang kalau ada ramai-ramai! Maka setelah nenek-moyang kita memeluk Agama Islam belumlah hilang sama sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di rumah orang kematian di hari-hari yang tersebut itu, sebagai warisan zaman purbakala. Cuma diganti mantra-mantra cara lama dengan membaca al-Qur’an, terutama Surat Yasin.”[1] Padahal, mengikuti atau melanjutkan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, apalagi masalah itu dari adat kepercayaan orang musyrikin, maka sangat dilarang. Sedang tatacaranya itu sendiripun, misalnya bukan karena mewarisi kaum musyrikin, tetap dilarang, karena ada riwayat:

قال جرير رضي الله عنه: كنا نرى الإجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه لغيرهم من النياحة. (أحمد ).

“Jarir RA berkata: ‘Kita berpendapat bahwa kumpul-kumpul ke kekeluarga orang mati dan membuat makanan untuk disajikan kepada para tamu setelah dikuburnya mayit, itu hukumnya termasuk meratapi mayit.” (Riwayat Ahmad).

Meratapi mayit itu jelas dilarang dalam Islam.

Hal tersebut mengenai kesukaan yang sama antar para kaum Nahdliyin di berbagai tempat. Lantas dalam hal ketidak sukaannya terhadap hal-hal tertentu pun tampaknya sama. Misalnya ketidak sukaannya terhadap Muslimin yang dulu disebut pembaharu yang memberantas upacara tidak syar’i misalnya tahlilan selamatan/ peringatan orang mati dan sebagainya. Deliar Noer (pakar politik di Indonesia) mencatat beberapa peristiwa sebagai berikut:

Perbedaan pendapat antara kalangan tradisi (NU dan semacamnya, pen) dan kalangan pembaharu (Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dsb, pen) ini kadang-kadang meletus menjadi tuduhan kafir-mengkafirkan terhadap sesama mereka, sampai-sampai perkelahian fisik pun juga terjadi. Umpamanya; di Ciledug, Cirebon, tanggal 29 Juli 1932, Verslag Openbaar Debat Talqin (Bandung; Persatuan Islam, 1933, selanjutnya disebut Verslag Talqin); di Gebang Cirebon, Mei 1936 (Verslag Debat Taqlied, hal 7).[2]

Selanjutnya Deliar Noer memberikan catatan kaki: Kadang-kadang Nahdlatul Ulama dituduh sebagai organisasi yang didirikan Belanda, sekurang-kurangnya sebagai organisasi yang disokong Belanda dalam melawan golongan pembaharu (anti bid’ah, khurafat, takhayul, dan kemusyrikan, pen). Lihat umpamanya Oemar Amin Hoesin, “Sedjarah Perkembangan Politik Moderen di Indonesia, “ Hikmah, tahun VIII, No. Lebaran 20/21 (1955). Hoesin menyebut kahadiran Charles van der Plas pada Kongres al-Islam di Cirebon tahun 1922 sebagai bukti tuduhan tersebut. Penulis buku ini (Deliar Noer, pen) berpendapat bahwa kehadiran seorang pejabat seperti itu pada suatu kongres, Islam atau bukan Islam, merupakan suatu hal yang biasa semenjak masa permulaan Sarekat Islam. Tentang tuduhan ini, lihat juga Hindia Baru, 19 Februari 1926.

Selanjutnya Deliar Noer mengemukakan: Tentang peranan van der Plas di Indonesia, George McT Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, N.Y. Cornell Universsity Press, 1952), hlm 370, catatan 72, mengatakan:

Dr van der Plas telah menjadi figur yang setengah merupakan dongeng di Indonesia, dengan fantasi serta kenyataan sama-sama banyak tersangkut pada namanya. Yang pasti ialah bahwa ia termasuk orang istimewa. Banyak pemimpin utama Indonesia, walaupun melihat van der Plas sebagai inkarnasi setan, percaya bahwa ia banyak mengetahui tentang orang Indonesia lebih dari Belanda manapun juga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dan mereka kagum tentang kesanggupan van der Plas ini. Bila pemerintah Belanda memperlihatkan sesuatu yang mencerminkan kepandaiannya yang licik, terdapat kecenderungan pada intelektual Indonesia untuk berkata: “Ha, ini pekerjaan van der Plas”.

Bintang Islam, 1926, Tahun IV No.20, hal 324 menyebut Nahdlatul Ulama dengan nama Syarikat Biru, suatu penamaan yang mengingatkan seseorang pada sarikat Hedjo, suatu organisasi gelap yang mendapat sokongan PEB (Politiek Economische Bond –partai yang dibentuk orang-orang Belanda Januari 1919 yang mempunyai pendirian bahwa Politik Etis “terlalu maju” buat Indonesia. PEB ini kerjasama dengan Sindikat Gula --Suiker Syndicaat yang mengawasi produksi dan ekspor gula di Indonesia, dalam memusuhi Sarekat Islam) untuk mengacaukan kalangan pembaharu dan nasionalis lain. Akan sangat penting untuk mencatat di sini bahwa NU tidak pernah mengalami kesukaran sehubungan dengan kegiatan organisasi seperti Sarikat Hedjo. Memang golongan tradisi lebih dapat ditolerir oleh kepala-kepala anak negeri (di Jawa) yang memang disokong oleh kalangan penghulu.[3]

Meskipun demikian, gejala kini ada pula hal-hal yang tidak disukai oleh sebagian warga NU yang “nyempal” dari polah tingkah orang NU. Hanya saja suara penyempal itu sering kalah, karena kalah dalam hal braok dan bedigasannya (lantangnya bersuara dan polah tingkahnya). Di sini tidak dilihat benar atau salahnya menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh kebanyakan warga NU bahkan para kiyainya atau ulamanya, tetapi hanya dilihat dari banyak tidaknya pendukung atau kuat tidaknya pengaruh pelaku.

Contoh paling nyata adalah kasus pengadaan do’a bersama antar berbagai agama yang ditokohi oleh ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) Hasyim Muzadi pengganti Gus Dur. Tokoh lain yang menggalakkan adanya do’a bersama antar agama dan bahkan benar-benar melaksanakannya lebih dulu, di antaranya adalah Dr Said Agil Siradj tokoh NU yang konon suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja, dan isteri Gus Dur, Ny Sinta Nuriyah. Sampai-sampai perempuan setengah umur yang sudah tidak bisa berjalan itu pun, dengan digledek pakai kursi roda, Ny Sinta Nuriyah mengadakan atau hadir dalam acara do’a bersama antar agama di kuburan Pondok Rangon Jakarta Timur, 1996, bersama orang-orang aneka macam agama yang kebanyakan dari golongan kekiri-kirian. Itu berarti telah lebih dulu ketimbang Hasyim Muzadi yang menyelenggarakan acara do’a bersama antar agama secara besar-besaran dengan nama Indonesia Berdo’a, di Senayan Jakarta, Agustus 2000, setelah Gus Dur jadi Presiden dan masyarakat (mayoritas non NU dan non Palangis) tampaknya tidak puas dengan kepemimpinan Gus Dur yang kurang bermanfaat atau malah banyak mudharatnya.

Dalam arus kuat di kalangan NU yang hingar bingar dengan menggalakkan upacara do’a bersama antar agama itu ada juga kiyai-kiyai NU yang anti. Mereka ini suka menyebut diri sebagai NU yang tidak pro (alias anti) Gus Dur dan Agil Siradj. Di antaranya Kiyai Bashori Alwi dari Malang Jawa Timur dan kawan-kawannya serta santri-santrinya. Itu salah satu contoh “penyempal” dari hingar bingar polah tingkah orang NU. Padahal yang “menyempal” ini, yaitu yang anti mengadakan do’a bersama antar berbagai macam agama itu justru yang masih konsisten dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebenarnya. Hanya saja dalam hal yang sudah mendarah daging di kalangan orang NU, misalnya kebiasaan tahlilan memperingati orang meninggal, tidak terdengar adanya orang NU yang “menyempal” alias anti terhadap acara yang jelas bid’ah dan meniru orang musyrikin animisme itu. Kalau seseorang tidak mau upacara-upacara tahlilan memperingati orang mati model animisme itu maka biasanya di masyarakat NU langsung dicap/ dikecam sebagai orang Kramandiyah atau Kamandiyah yang maksudnya adalah Muhammadiyah, atau bahkan dicap sebagai bukan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di situlah kemudian dihembuskan di masyarakat bahwa yang Ahli Sunnah wal Jama’ah itu adalah orang NU, yang oleh mereka kemudian sering disingkat menjadi Aswaja. Padahal, secara lafdhiyah maupun maknawiyah, yang namanya Ahli Sunnah wal Jama’ah itu adalah yang konsisten dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang menambah-nambah ajaran Islam dengan tradisi animisme ataupun amalan-amalan bid’ah lainnya. Sedang yang suka menambah-nambah itu dalam istilah aqidah disebut ahlul ahwa’ wal bida’. Artinya ahli hawa nafsu dan bid’ah. Disebut demikian karena tidak menepati apa yang diajarkan oleh wahyu, tetapi mengikuti hawa nafsu, dan menciptakan atau melakukan hal-hal baru dalam hal beribadah atau taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Meskipun demikian, jangan coba-coba langsung mengatakan kepada orang-orang yang senang mengadakan selamatan memperingati kematian dengan ungkapan ahlul ahwa’ wal bida’ atau ahli bid’ah. Karena, mereka dalam mempertahankan kebid’ahannya itu kadang lebih gigih dibanding mempertahankan Islam itu sendiri. Dalam kehidupan nyata pun tampak sekali, misalnya ummat Islam di Ambon diserang dan dibantai oleh orang-orang Nasrani, namun pihak ahlul ahwa’ wal bida’ itu tampaknya tidak ada pembelaannya sama sekali terhadap Muslimin atau sarana-sarana Islam seperti masjid-masjid yang dibakar dan dirusak. Kecuali yang memang orang sana (tempat kejadian itu sendiri), walaupun misalnya mereka termasuk ahlul ahwa’ wal bida’ namun karena langsung mendapatkan serangan dari non Islam, maka tentu saja mempertahankan diri sebagaimana siapa saja yang kena serangan mesti melakukannya. Namun yang di tempat lain, di luar tempat kejadian, bahkan di pusat, justru kaum ahlul ahwa’ wal bida’ itu lebih sangat sayang terhadap gereja-gereja, hingga mereka dikerahkan untuk menjadi centeng tukang pukul di gereja-gereja. Akibatnya, ketika ada peristiwa ledakan bom di berbagai kota di dekat-dekat gereja pada malan natalan 2000, khabarnya ada satu orang dari Anshor atau Banser (Barisan Anshor Serba Guna), organisasi pemuda di bawah NU, yang mati kena bom karena jadi centeng (penjaga)di gereja Eben Heizer Mojokerto Jawa Timur. Beritanya sebagai berikut:

Bom meledak di 22 gereja di 10 kota se-Indonesia terjadi pada Malam Natal 2000, Ahad malam 24 Desember 2000 sekitar pukul 21.

Menurut Republika, pada waktu itu, secara serentak bom meledak di 22 gereja pada 10 kota. Hampir semuanya adalah gereja Katolik. Chandra Tirta Wijaya (16) yang meninggal Sabtu 6/1 2001 adalah korban ke-20 yang meninggal, termasuk seorang anggota Banser yang demi solidaritas keagamaannya ikut menjaga Gereja Eben Heizer, Mojokerto, Jawa Timur. (Tajuk Republika, “Korban itu pun meninggal”, Senin 8 Januari 2001, halaman 6).

Kota-kota yang dikhabarkan diguncang bom di dekat gereja-gereja adalah Jakarta, Bandung, Medan, Mojokerto, dan Mataram NTB.

Demikianlah sikap keberagamaan orang-orang NU dan organisasi-organisasi di bawahnya. Sehingga kadang umat Islam justru dianggap oleh ahlul ahwa’ wal bida’ ini sebagai suatu ancaman. Maka kelompok ahlul ahwa’ wal bida’ itu pernah ditawar pula oleh pihak Nasrani untuk maju bersama dengan kaum Nasrani dalam menghadapi Muslimin di Ambon, dalam bahasa untuk mengamankan. Penawaran itu tentu saja melalui berbagai pertimbangan. Di samping sikap keberagamaan mereka sudah diketahui demikian, sikap politiknya pun sudah diketahui pula. Di antara yang mencolok mata adalah di zaman pemerintahan Soekarno, digencarkan istilah Nasakom (Nasional – Agama- dan Komunis). Yang namanya Agama di situ adalah orang-orang NU. Sehingga ada lagu wajib yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah, judulnya “Nasakom Bersatu”, yang di antara baitnya berbunyi:

“Nasakom bersatu

hancurkan kepala batu...”

Maksudnya, orang-orang Nasionalis (kaum sekuler anti syari’at Islam), Agama --yaitu orang-orang NU, dan Komunis – orang-orang PKI anti Tuhan --semuanya (3 komponen) itu bersatu, lalu mereka berkomando untuk menghancurkan kepala batu. Yang dimaksud kepala batu adalah orang-orang Islam Masyumi.

Sikap bergabung dengan orang-orang anti syari’at Islam dan bahkan dengan komunis anti Tuhan itu sudah diketahui oleh umum, makanya kaum Nasrani pun berani menawar mereka untuk kerjasama melawan Muslimin Ambon. Belakangan, Februari 2001M, para ahlul ahwa’ wal bida’ itu diduga bekerja sama dengan anak cucu PKI mengadakan kerusuhan besar-besaran di Jawa Timur dengan menghancurkan masjid, madrasah, panti asuhan terutama milik Muhammadiyah dan menebangi ratusan pohon pinggir jalan, lalu dihadangkan di jalan raya, agar semua kendaraan tidak bisa lewat. Tingkah merusak dan menghalangi kepentingan umum itu mereka lakukan hanya karena ashobiyah/ fanatik buta mendukung presiden Gus Dur yang sedang digoyang DPR dari kursi kepresidenannya.

Dalam sejarah Islam, hanya orang-orang Yahudi dan munafiqin serta orang-orang yang lemah imannya/ ragu-ragu dan tidak mau berhijrah saja yang mau bergabung dengan kaum kafir dalam berperang menghadapi ummat Islam. Dalam Al-Qur’an dikisahkan, orang-orang yang tak mau berhijrah dan kemudian dipaksa oleh orang kafir Makkah untuk bergabung dalam menghadapi Muslimin, kemudian mereka mati, maka mereka masuk neraka, walaupun alasan mereka karena dilemahkan oleh kaum kafir Makkah.

Allah SWT berfirman:

إن الذين توفهم........

...... ولا يهتدون سبيلا. ( النساء: 97-98).

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: `Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)`. Para malaikat berkata: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di negeri itu? Orang-orang itu tempatnya ialah neraka jahannam , dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An-Nisaa: 97).

Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). (QS An-Nisaa’: 98).

Ada beberapa riwayat berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, di antaranya sebagai berikut:

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa di antara pasukan musyrikin terdapat Kaum Muslimin Mekah (yang masih lemah imannya) yang turut berperang menentang Rasulullah saw sehingga ada yang terbunuh karena panah atau pedang pasukan Rasulullah. Maka turunlah ayat ini (S4:97) sebagai penjelasan hukum bagi Muslimin yang lemah imannya, yang menganiaya dirinya sendiri (mampu membela Islam tetapi tidak melakukannya). (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas).

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama orang-orang yang menambah jumlah musyrikin itu antara lain Qais bin Walid bin Mughirah, Abu Qais bin Al-Faqih bin Mughirah, Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Umayah bin Sufyan, dan ‘Ali bin Umayah bin Khalaf. Dan selanjutnya dikemukakan bahwa peristiwanya terjadi pada peperangan Badr, di saat mereka melihat jumlah Kaum Muslimin sangat sedikit, timbullah rasa keragu-raguan pada mereka dan berkata: “Tertipu mereka dengan Agamanya”. Orang tersebut di atas mati terbunuh di perang Badr itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih).

Keterangan: Menurut Ibnu Abi Hatim, di antara orang-orang tersebut dalam hadits di atas termasuk juga al-Harts bin Zam’ah bin al-Aswad dan al-‘Ash bin Munabbih bin al-Hajjaj.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika segolongan orang-orang Mekah telah masuk Islam dan Rasulullah hijrah, mereka enggan ikut dan takut berhijrah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (S 4:97,98) sebagai ancaman hukuman bagi yang enggan dan takut memisahkan diri dari kaum yang memusuhi agama, kecuali orang yang tidak berdaya. (Diriwayatkan oleh at-Thabarani yang bersumber dari Ibnu Abbas).[4]

Peringatan ayat Al-Qur’an sedemikian tegas, namun hal yang harus dijauhi benar-benar itu oleh sebagian kelompok justru dijadikan model yang digalakkan dalam golongannya, yaitu berkasih-kasihan dengan musuh-musuh Islam, bekerjasama, dan saling tahu menahu dalam hal menghadapi Muslimin yang dianggap bukan golongannya. Bahkan Muslimin yang ingin menegakkan Islam secara murni kadang direncanakan untuk dijadikan sasaran pengganyangan atau sebagai musuh bersama. Jadi tidak cukup hanya mengadakan do’a bersama antar berbagai agama (yang hal itu merupakan bid’ah dholalah alias sesat)[5], namun kemungkinan sekali akan mempraktekkan teori menjadikan Muslimin yang konsekuen dengan Islam sebagai musuh bersama.

Lakonnya tidak jelas sambil berkilah

Kembali kepada NU, dalam hal-hal yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan lagak lagu NU, biasanya para kiyai NU bukan sekadar menyetujui ataupun mengamini tradisi yang berkembang di NU, namun justru mereka bertandang menjadi pelopor, walaupun tradisi itu tidak terdapat dalam ajaran Islam. Mereka kadang mencari-cari kilah untuk mendalili lakon dan lagak lagu NU itu. Hal itu tampaknya sudah menjadi khitthah (garis) dalam NU sejak awal mula. Buktinya? Ada seorang kiyai di Magelang bertanya kepada Kiyai Ali Yafie (waktu masih berkecimpung dalam PBNU, 1987) dalam konferensi ulama NU di Pesantren Watu Congol Muntilan Magelang Jawa Tengah. Kiyai Magelang itu bertanya kepada Kiyai Ali Yafie, kenapa dulu Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri NU, kakek Gus Dur) melarang murid-muridnya membaca kitab Subulus Salam (Syarah/ penjelasan Kitab Bulughul Maram –kitab hadits disusun dengan pengelompokan urutan secara hukum-hukum fiqh)?

Kiyai Ali Yafie menjawab, karena Kitab Subulus Salam itu dikarang oleh As-Shon’ani, orang Syi’ah.

Jawaban Kiyai Ali yafie itu sendiri belum bisa dipertanggung jawabkan. Dan andaikan itu benar pun, hampir tidak ada dalam kitab itu ajaran yang mempropagandakan Syi’ah. Seandainya masalahnya karena Syi’ah pun, bagi NU tidak ada masalah. Karena kedua-duanya (NU dan Syi’ah sama-sama doyan tasawuf, sama-sama doyan klenik yang dibungkus seolah Islami. Sedangkan tentang Syi’ah, di Indonesia saat tahun 1940-an belum terdengar gencar, baru setelah revolusi Iran 1979 lah terdengar gencarnya, karena penguasa Iran, Khomeini adalah tokoh Syi’ah, maka orang-orang yang tidak mantap kesunniannya seperti Jalaluddin Rachmat orang Bandung lalu coba-coba mencari proyek baru dalam hal sekte. Mula-mula Jalal malu-malu, sampai-sampai dia katakan dirinya Susi, Sunnah-Syi’ah, akhirnya dia mendirikan Ijabi, tahun 2000, nama ormas berkedok Ahlul Bait, yang hakekatnya adalah Syi’ah, dengan menjajakan tasawuf yang digemari oleh kalangan NU.

Yang jelas, pelarangan membaca kitab syarah (penjelasan) hadits Bulughul Maram oleh pendiri NU itu masih menjadi teka-teki bagi murid Syeikh Hasyim Asy’ari itu sendiri sampai sekarang. Sejalan dengan itu, sampai tahun 1970-an, podok Pesantren Krapyak Yogyakarta pimpinan Kiyai Ali Maksum tokoh NU, tempat mondok Masdar F Mas’udi --kini tokoh NU yang menginginkan ibadah haji itu wuqufnya di Arafah dan mabitnya di Mina jangan hanya di bulan Dzul Hijjah--, konon dulu masih melarang santrinya membaca koran. Anehnya, di Yogyakarta pula sejak 1995-an muncul kelompok anak-anak NU yang justru gandrung (sangat cinta, untuk tidak disebut ngebet) membaca buku-buku kekiri-kirian misalnya buku Hasan Hanafi tokoh alyasarul Islami (kiri islam) yang banyak dikecam oleh ulama Islamiyun (ulama yang bukan sekuler, bukan kekiri-kirian, dan fahamnya teguh terhadap Islam) di Mesir. Bahkan anak-anak muda NU di Yogyakarta itu menyebarkan faham kekiri-kirian lewat buku-buku terjemahan yang mereka terbitkan. Sampai buku yang menghantam Imam Syafi’i pun mereka edarkan, padahal di tempat dibuatnya buku itu di Mesir, pembuatnya justru sangat dikecam oleh ulama Islamiyun.

Setahu saya, dulu tokoh penyebaran literatur kekiri-kirian di Yogyakarta ini sering mengaji kitab-kitab ke Pak Tholchah Mansur, dosen IAIN Yogya yang mengadakan pengajian kitab-kitab Riyadhus Sholihin dan semacamnya, kitab Sunnah yang sama sekali jauh dari arah kekiri-kirian. Tetapi kenapa tahu-tahu 20 tahun kemudian menjadi pelopor menyebarkan faham kiri. Apakah karena mereka dikader secara khusus oleh tokoh NU-nya yaitu Gus Dur yang memang anak asuh guru kesayangannya, Ibu Rubi’ah yang orang Gerwani (orang komunis perempuan) dan memang kemudian Gus Dur tampak ingin menghidupkan komunis kembali di Indonesia dengan bukti ingin mencabut TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang pelarangan Komunis di Indonesia, atau memang ada hal-hal lain? Tidak jelas pula.

Dari gambaran itu, di kalangan NU serba ada hal-hal yang tidak jelas. Kiyai Fulan A melarang santrinya membaca kitab Subulus Salam tanpa alasan yang jelas. Kiyai Fulan B melarang santrinya membaca koran tanpa alasan yang jelas. Kiyai Fulan muda menjejali generasi muda NU dengan faham-faham kekiri-kirian tanpa alasan yang jelas pula. Nyonya Fulanah mengajak jama’ahnya untuk berdo’a bersama antar berbagai macam agama di kuburan tanpa hujjah (dalil/ argumentasi) yang jelas. Kiyai Fulan C mengajak do’a bersama antar berbagai macam agama dengan mengatas namakan Indonesia tanpa hujjah yang nggenah. Memang dari beberapa contoh itu sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah hal-hal yang tidak jelas.

Apanya yang tidak jelas?

Yang tidak jelas adalah cara mereka berbuat, berlagak lagu, berpola pikir, dan bermetode dalam beragama. Karena sudah menyangkut masalah cara beragama, maka penyalahan (kritik tajam) yang dilakukan orang terhadap lakon orang dalam menjalankan agama –yang salah— itu adalah sah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw menyuruh sahabatnya untuk mengulangi shalatnya, karena shalatnya kurang benar. Atau ada pula yang disuruh mengulangi wudhunya, atau Nabi saw menyuruh mengulangi wudhu cucunya dengan cara mengajarkan urutan-urutan praktek wudhu satu persatu dengan maksud agar orang dewasa tahu cara-cara wudhu yang benar. Itu ditampilkan dalam Hadits-hadits, di antaranya di Hadits Al-Bukhari. Atau hal-hal lain berupa sikap Nabi Muhammad saw meluruskan, memberikan teguran, bahkan sampai marah-marah, seperti terhadap sahabat yang membunuh musuh dalam perang jihad melawan orang kafir yang sudah mengucap لااله إلا الله. .

Islam membolehkan peneguran-peneguran seperti itu. Karena Islam adalah agama nasehat. Dan nasehat itu ada pula yang sampai bentuknya marah-marah, apabila memang sikap yang pas adalah marah-marah. Namun tentu saja harus proporsional. Bahkan Islam akan menegakkan hukuman pula terhadap siapa yang melanggar, yang kadar pelanggarannya sampai pada batas dikenakan hukuman. Hingga Nabi Muhammad saw pun bersumpah, seandainya puterinya, Fathimah binti Muhammad, mencuri maka pasti beliau potong tangannya.

والذي نفسي بيده لو سرقت فاطمة بنت محمد لقطعت يدها.

“Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya.” (HR Muslim).

Itu semua adalah mendudukkan masalah pada tempatnya. Bukan hantam kromo, asal ngamuk, asal marah, dan asal main rusak, main bakar, main tebang kayu seenaknya, main kroyok, main paksa dan sebagainya seperti yang diduga dilakukan oleh orang-orang Nahdliyin di Jawa Timur Februari 2001 hanya demi membela Gus Dur agar tidak diturunkan dari jabatan presiden, sekalipun DPR yang mengangkatnya/ memilihnya sebagai presiden itu sudah memutuskan bahwa Presiden Gus Dur diduga terlibat dalam kasus pengucuran dana Yanatera Bulog (yayasan dana kesejahteraan karyawan Badan Urusan Logistik) Rp35 miliar, dan mulut Gus Dur dinilai tidak konsisten dalam memberikan keterangan tentang sumbangan dari Sultan Brunei Darus Salam, Sultan Hasanal Bolkiah 2 juta dolar Amerika.

Asal marah atau asal ucap pun dilakonkan oleh Presiden Gus Dur beserta para pendukungnya, dengan cara mengancam akan membubarkan DPR. Ini ibarat pepatah: air susu dibalas dengan air tuba. Tidak pantas, orang yang diangkat oleh DPR menjadi presiden, lalu ketika sudah jadi presiden malah mau membubarkan DPR yang mengangkatnya itu. Tidak pantas pula seandainya ada anak yang dilahirkan oleh ibu, lalu ketika si anak merasa dirinya punya pendukung, sedang ibunya menasihati dan minta pertanggungan jawab perbuatan si anak yang diduga terlibat kasus duit dan mulutnya bohong, malah si anak mengancam untuk mengusir sang ibu dari rumah sang ibu itu sendiri.

Barangkali para pendukung Gus Dur balik berkata: Itu juga sama. Amin Rais dan konco-konconya itu adalah orang yang memprakarsai dipilihnya Gus Dur untuk jadi presiden. Kenapa sekarang justru mereka yang paling getol untuk menurunkan Gus Dur?

Untuk menjawab hal itu, cukup dengan kata-kata ringan. Yang namanya nikah saja yang kaitannya harus memakai syarat dan rukun secara cermat agar sah, namun kalau memang kemudian ada hal-hal yang gawat, maka diperbolehkan untuk thalaq. Bahkan, isteri yang sebenarnya tidak punya hak menthalaq pun diberi hak untuk minta dithalaq atau istilahnya gugatan cerai apabila ada masalah yang sesuai syara’ untuk adanya gugatan cerai. Apalagi ini mayoritas pemilih Gus Dur dulu yaitu anggota DPR sudah nyata menginginkan cepatnya Gus Dur turun dari jabatan presiden. Maka sebenarnya, ibarat suami mau menthalaq isteri, tidak ada kekuatan hukum bagi si isteri untuk mengatakan “bagaimanapun saya tidak mau dicerai”, apabila memang prosedurnya sah.

Dalam kasus ini ada hadits Nabi saw tentang status pemimpin yang sudah tidak disenangi oleh orang-orang yang dipimpin.

ثلاثة لا ترفع صلاتهم فوق رؤوسهم شبرا، رجل أم قوما وهم له كارهون، وامرأة باتت وزوجها عليها ساخط، وأخوان متصارمان. (ابن ماجة باسناد حسن).

“Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat sejengkalpun di atas kepalanya. Yaitu laki-laki yang mengimami (memimpin) suatu kaum, sedang mereka membencinya. Perempuan yang tidur malam sedang suaminya dalam keadaan marah kepadanya. Dua saudara yang saling memutuskan hubungan kekeluargaan.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Barangkali para pendukung Gus Dur masih mempersoalkan, kalau kebenciannya itu hanya karena golongan?

Memang pertanyaan itu benar. Tetapi, dalam kasus Gus Dur, dalam kenyataannya justru yang memprakarsai untuk dipilihnya Gus Dur itu adalah kelompok Amien Rais dkk, bukan kelompok PKB. Dengan demikian, tidak bisa dituduhkan bahwa keinginan menurunkan Gus Dur itu hanya karena benci lantaran golongan. Tetapi justru di situ ketidak senangan itu timbul karena lakon Gus Dur sendiri yang menimbulkan ketidak simpatian. Sedangkan sebaliknya, PKB dan NU bukannya melihat lakonnya, tetapi mereka mendukung itu hanya karena golongan. Kenapa? Karena Gus Dur adalah dulunya ketua umum PBNU, dan juga deklarator PKB, partai telor ayam, di samping partai tai ayam (menurut perkataan Gus Dur, yaitu PKU –Partai Kebangkitan Umat dan PNU –Partai Nahdlatul Umat) yang ketiga-tiganya berarti keluar dari pantat NU, menurut analog yang dikemukakan Gus Dur.

Kalau dulu kaum NO (Nahdlatoel Oelama, ini benar-banar U model lama yaitu Oe ) untuk mempertahankan apa yang disebut bid’ah oleh kaum pembaharu dengan jalan main tegang bahkan bentrok bahkan kafir mengkafirkan, maka kini dalam mempertahankan Gus Dur dengan model ashobiyahnya maka sampai merusak bangunan-bangunan, bahkan masjid, panti asuhan, madrasah, dan menebangi ratusan pohon diambrukkan ke sepanjang jalan. Meskipun demikian, mereka tetap tidak terus terang mengakui tindak pengrusakannya itu, sebagaimana mereka tidak mengakui pula bahwa didirikannya NO (kini NU) itu untuk mengganjal gerakan pemberantasan Bid’ah, khurafat, takhayul, dan kemusyrikan yang dilancarkan oleh Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan lainnya. Demikian pula gencarnya sorotan bahwa NO (NU) itu organisasi yang didukung Belanda bahkan BEF dalam bekerjasama untuk menghadapi kaum pembaharu dulu nyaring terdengar, sebagaimana kenyataan sekarang para tokoh NU berkasih sayang dengan Yahudi, Nasrani, bahkan anak cucu PKI yang memang ajarannya anti Tuhan demi menghadapi musuh, yang menurut Gus Dur musuh terbesarnya itu adalah Islam kanan. Di zaman Orde Lama, saat Presiden Soekarno pro PKI maka NU bergabung dalam Nasakom, Nasional, Agama (NU), dan Komunis. Zaman Orde Baru, ketika Presiden Soeharto memaksakan asas tunggal pancasila, NU ambil muka untuk jadi barisan terdepan dalam rangka pemaksaan itu. Dari berbagai data dan fakta ini berarti sikap ketidak jelasan NU dari dulu sampai kini sudah cukup jelas.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] H Rusydi, Afif (editor), Hamka Membahas Soal-Soal Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 394.

[2] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 254 dan catatan kakinya.

[3] Deliar Noer, ibid, halaman 255.

[4] KHO Shaleh, HAA dahlan, dan Drs MD dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, CV Diponegoro Bandung, cetakan ke-7, 1986, halaman 152-153.

[5] Tentang sesatnya do’a bersama antar agama ini baca buku Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf, Pluralisme, dan Pemurtadan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2001.